Kebiasaan Bersyukur Masyarakat Kasongan

Seperti yang diteladankan Pandawa, mereka senantiasa bersyukur, baik dalam keadaan suka maupun duka, untung ataupun malang dan juga sehat atau sakit. Terlebih atas keselamatan dan keberhasilan membuka Wanamarta dan membangun keraton yang indah megah, dengan upacara “Sesaji Raja Suya”.

Pentas wayang syukuran Kasongan Art Festival, foto:Herjaka HS
Utusan Prabu Jarasanda menemui Puntadewa

Sesampai di batas kota kerajaan Magada, Kresna bersama Wrekudara dan Arjuna yang menyamar sebagai brahmana, berhenti. Kresna melarang keduanya melangkah lebih jauh. Pasalnya, jika mereka menginjakkan di pusat kraton Magada yang disebut Giribajra atau Bukit Petir, karena letaknya di atas bukit, maka tambur atau genderang besar di atas bukit itu akan berbunyi dengan sendirinya. Bunyi tambur itulah yang menjadi tanda bahwa ada orang asing atau musuh datang, maka prajurit jaga akan segera menangkap mereka.

Wrekudara dan Arjuna heran, begitu aneh tambur itu, seperti layaknya manusia, mempunyai jiwa. Kresna menggiyakan bahwa tambur itu dibuat dari kulit manusia, sehingga jiwa manusia tersebut selalu berteriak minta dibebaskan saat ada orang datang.

Siapa jiwa manusia yang tersiksa itu? Kresna menjelaskan bahwa dia adalah Prabu Brihadrata, raja kerajaan Magada yang dibunuh dan tubuhnya dikuliti oleh Jarasanda, sebagai pelampiasan dendam karena ayahnya telah membuang dirinya. Kulit itulah yang kemudian dibuat tambur untuk ditempatkan pada menara di puncak Giribajra.

Pentas wayang syukuran Kasongan Art Festival, foto:Herjaka HS
Ki Gondo Suharno bergurau dengan pesinden

Mendengar kisah itu, Wrekudara dan Arjuna yang semula hanya berniat membebaskan 97 raja yang ditawan, agar tidak dipotong kepalanya oleh Prabu Jarasanda sebagai korban ‘Sesaji Kalarudra.’ akhirnya berkeinginan pula untuk melenyapkan sifat bengis dan angkara-murka yang melekat pada diri Prabu Jarasanda.

Agar mereka bertiga dapat memasuki kotaraja Giribajra tanpa menimbulkan suara tambur, Kresna memerintahkan Arjuna memanah kulit tambur itu agar tidak berbunyi lagi dan sekaligus meruwat jiwa Prabu Brihadrata untuk kembali ke asal muasalnya.

Setelah kulit tambur itu musnah tanpa menimbulkan suara, Kresna, Wrekudara dan Arjuna berhasil menemui Prabu Jarasanda tanpa halangan. Dalam pertemuan itu antara Prabu Jarasanda dan Wrekudara sepakat mengadakan perang tanding secara ksatria. Pada akhir perang tanding yang berlangsung 27 hari tersebut, Wrekudara berhasil membunuh Jarasanda.

Sepeninggal Prabu Jarasanda, semua tawanan dibebaskan, termasuk kesembilan puluh tujuh raja. Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih, para raja tersebut dengan sukarela mendukung serta menghadiri upacara Sesaji Raja Suya yang digelar oleh Prabu Puntadewa.

Pentas wayang syukuran Kasongan Art Festival, foto:Herjaka HS
Pesinden Lisa (pegang mikrofon) punya suara yang "gede arum"

Berkaitan dengan upacara Sesaji Raja Suya, di pusat kerajinan gerabah Kasongan Bantul, pada 7 Desember 2013, diadakan upacara yang sama dalam kemasan pegelaran wayang kulit purwa, yang dibawakan oleh Ki Gondo Suharno SSn. Tidak jauh berbeda dengan yang digelar Prabu Puntadewa, pentas wayang ini dimaksudkan sebagai ekspresi rasa syukur masyarakat Kasongan, Sembungan, Kalipucang, dan sekitarnya atas anugerah alam yang diterimanya.

Menurut Timbul Raharjo, keberadaan barang senidi Kasongan khususnya gerabah tidak bisa lepas dari campur tangan alam yakni tanah liat. Oleh karenanya masyarakat diajak untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan sebagai bentuk rasa syukur.

Pagelaran wayang kulit tersebut menjadi puncak rasa syukur dan sekaligus menutup rangkaian kegiatan budayayang dikemas dalam Kasongan Art Festival 3 (KAF). Kegiatan KAF selama dua minggu, khususnya hari Sabtu dan Minggu meliputi: Gugur-gunung, penanaman 5.000 pohon, pentas jathilan, Hadroh, tari Ajining Bumi, orasi budaya, lomba membuat kreneng, musik perkusi anak, jatilan anak, goyang lempung, lomba lari estafet menggendong guci, lomba membuat gerabah kuda ala kasongan, jatilan dewasa, nikah bareng, dan workshop.

Ki Gondo Suharno (Harno) dalang muda lulusan ISI Yogyakarta, mendapat ‘sampur’ oleh masyarakat Kasongan untuk menyampaikan dan mengungkapkan rasa syukur melalui kisah “Sesaji Raja Suya.” Dengan didukung pengrawit muda yang tangkas, dan lima pesinden muda berbakat yaitu: Wuri, Lisa, Retno, Desti dan Natalia, Ki Harno tampil maksimal. Walaupun tanpa bintang tamu, guyonan antara dalang dan Wuri yang mahir bermain terompet dan juga Elisa, mahasiswi pedalangan ISI, serta pesinden lainnya dan pengrawit, cukup menghibur masyarakat.

Pentas wayang syukuran Kasongan Art Festival, foto:Herjaka HS
Penonton menyimak Ki Gondo

Selain menjadi tontontan yang menghibur, di tangan Ki Suharno, pegelaran malam itu juga menjadi tuntunan akan sebuah tatanan yang seharusnya menjadi pegangan pakeliran di tengah masyarakat saat ini.

Hal penting lainnya yang perlu diteladankan kepada masyarakat luas pada pegelaran wayang malam itu adalah, kebiasaan mengucap syukur. Seperti yang diteladankan Pandawa, mereka senantiasa bersyukur, baik dalam keadaan suka maupun duka, untung ataupun malang dan juga sehat atau sakit. Terlebih atas keselamatan dan keberhasilan membuka Wanamarta dan membangun keraton yang indah megah, dengan upacara “Sesaji Raja Suya”.

Rasa syukur hanya dapat dirasakan serta diungkapkan oleh seseorang atau sekelompok orang, manakala seseorang atau kelompok orang tersebut telah mampu menguasai atau menghilangkan perilaku yang mengandung energi negatif. Sama seperti yang dilakukan Pandawa. Sebelum mengucap syukur dengan menggelar Sesaji Raja Suya, Bima harus terlebih dahulu menyingkirkan energi negatif pada diri Prabu Jarasanda.

Kasongan Art Festival 3 menjadi penanda, bahwa masyarakat Kasongan dan sekitarnya telah bersatu padu, memerangi hal-hal negatif yang kontraproduktif, untuk mewujudkan masyarakat produktif, sejahtera dan penuh rasa syukur.

Naskah & foto:Herjaka HS



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta