Siswa-siswi IPEKA International School Berwisata Budaya di Tembi

Mereka menjadi paham arti sebuah proses pembelajaran dan pencapaian terhadap sesuatu. Bahwa hal yang tidak bersifat mesin dan rumus baku-mati dalam kehidupan ini ada demikian banyak dan luas. Bahwa produk kebudayaan lokal demikian beragam dan memberikan sentuhan estetis yang sungguh terasa indah di dalam hati.

Siswa/i IPEKA International School Jakarta bergembira ria menampilkan Tari Satria di Pendapa <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/siswa-siswi-ipeka-international-school-berwisata-budaya-di-tembi-5425.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, difoto: Selasa, 03 Desember 2013, foto: a.sartono
Siswa/i IPEKA International School Jakarta bergembira ria
menampilkan Tari Satria di Pendapa Tembi Rumah Budaya

Anak-anak produk kebudayaan modern yang hidup di kota-kota besar umumnya sudah berjarak begitu jauh dengan kultur atau budayatradisional. Kehidupan modern telah membuat mereka sibuk dan suntuk dalam dunia yang bagi mereka serba canggih, sangat terukur dalam segalanya, digitalized, robotik, dan sebagainya. Ketika mereka diterjunkan atau dilepaskan untuk berkegiatan dengan muatan budayatradisional, tampak bahwa mereka mengalami shock. Hal itu juga tampak dalam kunjungan siswa-siswi IPEKA International School Jakarta Barat di Tembi Rumah Budaya.

Wisata Budaya yang mereka jalani di Tembi Rumah Budaya sekalipun memberikan semacam shock culture, namun pada akhirnya mereka menikmatinya. Kelihatan betapa kikuknya mereka ketika mulai belajar menabuh gamelan. Namun berkat niat dan semangat mereka yang besar untuk menaklukkan tantangan bermain musik tradisional ini, toh mereka mampu melakukannya dengan baik. Bahkan ketika sebagian dari mereka diminta untuk menyanyikan lagi atau Tembang Sluku-sluku Bathok, mereka tertawa cekikikan geli.

Siswa/i IPEKA International School Jakarta mencoba menyanyikan tembang <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/siswa-siswi-ipeka-international-school-berwisata-budaya-di-tembi-5425.html'> Jawa</a>“Sluku-sluku Bathok”, kekikukan mereka menunjukkan bahwa mereka sungguh tidak mengenal tembang itu dan sangat asing mengenainya, difoto: Selasa, 03 Desember 2013, foto: a.sartono
Mereka menembang “Sluku-sluku Bathok”, kekikukan mereka menunjukkan
bahwa mereka sungguh tidak mengenal tembang itu

Bagi mereka bahasa Jawadalam tembang tersebut terasa lucu, aneh, dan mungkin juga dianggapnya sebagai udik. Sekalipun dalam pengucapannya masih belepotan nggak karuan, mereka pun akhirnya bisa juga menyanyikan tembang Sluku-sluku Bathok.

Lain lagi dengan paket berupa belajar membatik. Proses pembuatan batik bagi mereka membuat mereka demikian penasaran. Dengan memola (menggambar pola) di atas kain sekehendar mereka, mereka memulai proses membatik. Ketika proses batik untuk tingkat sederhana ini selesai mereka jalani, mereka pun merasakan kepuasan yang besar.

Dari sisi-sisi semacam itulah mereka dicoba jeda sejenak dari rutinitas hidup modern mereka. Mereka menjadi paham arti sebuah proses pembelajaran dan pencapaian terhadap sesuatu. Bahwa hal yang tidak bersifat mesin dan rumus baku-mati dalam kehidupan ini ada demikian banyak dan luas. Bahwa produk kebudayaan lokal demikian beragam dan memberikan sentuhan estetis yang sungguh terasa indah di dalam hati. Memberikan nuansa lain dari rutinitas keseharian manusia yang nyaris menjadi mekanis.

Belajar karawitan, mula-mula sulit, lama-lama terasa lancar dan menyenangkan, difoto: Selasa, 03 Desember 2013, foto: a.sartono
Belajar karawitan, mula-mula sulit, lama-lama lancar dan menyenangkan

Belajar menari pun ternyata tidak mudah sekalipun tari yang diajarkan merupakan tari kreasi. Betapa kaku gerak dari orang yang tidak biasa menari. Betapa kikuk dan kelihatan terbata-bata. Apa yang mereka alami dengan hal-hal demikian mau tidak mau membuat mereka harus mengakui, bahwa apa yang mereka pandang sebagai sepele, tidak berarti, atau bahkan udik dan terbelakang ternyata bukan hal yang sederhana seperti tampaknya. Ketika mereka diminta untuk menjalani prosesnya, mereka baru merasakan betapa tidak mudah namun betapa menantang.

Memasak lemet yang tampak sederhana pun ternyata membuat mereka harus gemrobyos penuh ketegangan. Memarut singkong atau kelapa ternyata bukan barang gampang. Mereka bisa merasakan sendiri betapa “nikmat”-nya jari yang terkena mata parut. Betapa sulitnya menggulung daun pisang untuk membungkus adonan lemet. Betapa tidak mudahnya mencapai rasa yang pas, mantap, berimbang, dan mengesankan bagi masakan ayam goreng.

Jerih payah yang dengan skala bermain dan bergembira ini mencapai puncak kegembiraannya saat presentasi malam harinya. Masing-masing peserta atau siswa harus mempresentasikan karya mereka selama setengah hari di Tembi. Kelompok karawitan menampilkan hasil belajar karawitannya. Demikian pun kelompok memasak, membatik, kerajinan, menari, dan menyanyi tembang dolanan Jawa. Alhasil malam presentasi itu menjadi semacam unjuk kebolehan mereka atas pencapaian pelatihan selama setengah hari di Tembi. Nyatanya semuanya bisa ! Nyatanya semuanya gembira.

Bangga memamerkan hasil masakan di Tembi, difoto: Selasa, 03 Desember 2013, foto: a.sartono
Bangga memamerkan hasil masakan tradisional di Tembi

Apa pun hasilnya yang jelas mereka bisa dan menikmati. Jelas pada sisi ini mereka sesungguhnya telah mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan yang berharga yang mungkin baru akan mereka sadari tidak dalam waktu dekat ini. Selamat !

Naskah & foto:A.Sartono



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta