Judul : Tata Cara Paes lan Pranatacara Gagrag Ngayogyakarta
Penulis : Dwi Sunar Prasetyono
Penerbit : Absolut, 2003, Yogyakarta
Bahasa : Jawa
Jumlah halaman : 182
Ringkasan isi :
Pernikahan adalah sebuah peristiwa penting yang sakral bagi orang Jawa. Untuk menggambarkan hal tersebut sebuah pernikahan menurut adat Jawa melalui beberapa tahapan yang dianggap penting. Dan salah satunya adalah pernikahan menurut gaya Yogyakarta. Menurut gaya Yogyakarta ada tiga tahapan penting yaitu persiapan menjelang pernikahan, pada waktu nikah (akad nikah dan upacara panggih) dan sesudah menikah.
Persiapan menjelang pernikahan (setelah hari dan tanggal pernikahan disetujui) yaitu upacara pasang tarub, nyantri, siraman, ngerik, dan midadareni. Akad nikah merupakan pusat atau inti upacara pernikahan, sedangkan upacara lainnya merupakan bagian dari upacara ijab. Dengan terlaksananya akad nikah berarti keduanya sudah sah sebagai suami istri menurut hukum agama dan hukum negara.
Dalam berbagai peristiwa pernikahan upacara panggih (biasanya dilanjutkan resepsi) adalah upacara yang paling mendapatkan perhatian. Di sinilah para tamu undangan akan memperhatikan “penampilan” mempelai terutama tata rias dan busana. Busana dan tata rias pengantin gaya Yogyakarta ini juga merupakan simbol yang memiliki makna dan arti tersendiri, sehingga dibuat seindah dan seanggun mungkin. Dalam hal ini peranan juru rias sangat penting, ia diharapkan tidak hanya sekedar merias tetapi juga harus dapat menerangkan makna busana dan riasan tersebut.
Busana dan tata rias pengantin gaya Yogyakarta menurut wujudnya ada lima, yaitu :
- Busana Pengantin Paes Ageng atau Corak Kebesaran
- Busana Pengantin Paes Ageng Jangan Menir
- Busana Pengantin Ngayogya Putri
- Busana Pengantin Kesatriyan Ageng
- Busana Pengantin Kasatriyan
Corak Paes Ageng Kebesaran ini ada yang memberi nama Busana Basahan, Kebesaran Corak Basahan, Kampuh Ageng atau Basahan. Untuk saat ini lebih terkenal dengan nama Basahan. Corak ini biasanya dipakai saat upacara panggih dilanjutkan pesta resepsi. Busana yang dipakai dodot atau kampuh lengkap dengan hiasan yang pantas.
Corak Paes Ageng Jangan Menir dahulu dipakai untuk upacara boyongan pengantin dari rumah pengantin putri ke rumah pengantin laki-laki. Tetapi dalam perkembangannya corak ini dipakai untuk upacara panggih. Busana yang dipakai adalah blenggen tanpa dodot.
Corak busana Ngayogya Putri juga disebut “Busana Agustusan”. Dulunya merupakan busana putri Sultan yang dipakai pada waktu menghadap Gubernur pada bulan Agustus. Perubahan selanjutnya busana ini dipakai untuk upacara pernikahan. Corak ini pada mulanya adalah untuk “ngundhuh mantu” yang dilaksanakan setelah lima hari menikah.
Corak Kasatriyan Ageng pada mulanya hanya untuk acara-acara tertentu saja. Tetapi untuk saat ini juga dipakai pada acara pernikahan.
Corak Kasatriyan merupakan busana pengantin yang paling sederhana berupa kebaya panjang dan selop polos.
Dalam tata cara pernikahan menurut adat Jawa ada beberapa kebiasaan yang dilakukan menurut status pernikahan tersebut. Misalnya upacara bubak kawak untuk orang tua yang pertama kali menikahkan anaknya, upacara tumplak punjen untuk pernikahan anak bungsu, upacara langkahan apabila ada kakaknya yang belum menikah dan lain-lain.
Sesaji adalah hal yang tidak terlupakan bagi masyarakat Jawa, sehingga dalam upacara pernikahan inipun dari awal sampai akhir selalu ada sesaji. Semua itu penuh makna simbolik yang bertujuan untuk keselamatan dan kesejahteraan.
Teks : Kusalamani
Artikel Lainnya :
- Mereka Masih Selamat(15/04)
- MEMBUKA HATI, MEMBACA PUISI DI Tembi(14/11)
- JUDUL BUKU(06/01)
- 29 Maret 2010, Kabar Anyar - MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN BANTUL 2010(29/03)
- Kesadaran Budaya Tentang Ruang pada Masyarakat di Daerah Istimewa (18/11)
- Konser Ananda Sukarlan Membaca Cerpen Lewat Musik(11/01)
- Monggo Dhahar Gudeg Manggar(22/01)
- Hudson Pranajaya Pria Bersuara Wanita(23/07)
- 1 Nopember 2010, Klangenan - MEMBANGUN SOLIDARITAS SOSIAL DI NEGARA YANG BELUM SEJAHTERA(01/11)
- KRATON NGAYOGYAKARTA MANTU(14/10)