Tari Kontemporer Seharusnya Berorientasi pada Tubuh
“Prasyarat utama tari kontemporer adalah menghadirkan tubuh yang cerdas,” tegas Dr. Bambang Pudjaswara dalam diskusi Obrolan Tari Tembi (OTT) di Tembi Rumah Budaya, 5/2/12.
Menurut Pudjaswara, pusat orientasi harus ada pada tubuh, bukan gerak. Dengan demikian koreografer harus melatih atau membuat tubuh yang cerdas, responsif dan sensitif terhadap waktu dan ruang, serta berekspresi lebih bebas. Tubuh harus menjadi representasi tari diri dari subyek.
Sementara, kata Pudjaswara, banyak penari yang menjadikan gerak sebagai pusat orientasi, bukan tubuh. Tubuh penari hanya menjadi media atau alat gerak, hanya alat untuk memproduksi gerak. Tubuh dituntut untuk membahasakan gerak sebagai tari. Gerak pun harus indah atau distilir sehingga menjadi beban bagi tubuh.
Dengan kata lain, jelas Pudjaswara, tubuh dipaksa untuk membuat bahasa (language) yang normatif --bukan tuturan (parole) yang lebih ekspresif-- dan harus distilir atau diperindah. Misalnya, motif dari gerak yang kecil sampai gerak yang besar dianggap sebagai rangkaian gerakan yang indah.
Padahal, Pudjaswara melihat, dalam banyak kasus seringkali tubuh belum siap mengartikulasikan gerak sehingga gerak menjadi bagian asing dari tubuh. Sering ditemui karya yang tidak menyatu dengan tubuhnya
Persoalan lain yang diangkat Pudjaswara adalah pentingnya mencari identitas tari kontemporer Indonesia. Selama ini imej tentang tari kontemporer adalah Barat, khususnya Amerika Serikat. Hal ini ditunjang oleh buku-buku teks yang dipakai perguruan tinggi tari di Indonesia. Ketika Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) berdiri pada tahun 1960an diktatdan buku yang banyak diterjemahkan dan dipelajari berasal dari koreografer dan penari Amerika Serikat. Semisal Isadora Duncan, Martha Graham dan Doris Humphrey, yang masih menjadi referensi utama sampai sekarang.
Jadi, kata Pudjaswara, buku-buku ini kemudian ditempatkan menjadi standar baku penciptaan tari. Padahal buku-buku tersebut hanya merupakan bagi-bagi pengalaman atau sharing dari penulisnya. Orang bisa hanya mengambil sebagian materi yang dianggap relevan.
Pudjaswara sekaligus menegaskan bahwa tari kontemporer tidak harus dari Barat tapi bisa berangkat dari tradisi masing-masing. Tradisi bukan sekadar dirawat (diuri-uri) tapi perlu pandangan-pandangan baru sehingga tak cuma menduplikasi yang sudah ada.
Diskusi ini juga disertai showcase tari oleh Mila Rosinta yang membawakan karya ciptaannya ‘Sang Kaca Rasa’ dan Cakil Widianarto yang membawakan ciptaannya ‘Anak Wayang’.
Diskusi ringan tapi bernas ini, sebagaimana judulnya, sebatas “melirik” tari kontemporer. “Kalau ‘melihat’ perlu diskusi yang panjang,” ujar Bambang Paningron, pemrakarsa dan koordinator acara.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Tembi Dance Company ini rencananya akan diadakan pada setiap awal bulan di Tembi Rumah Budaya dengan tema tari yang berbeda-beda. Diskusi selalu disertai showcase tari.
barata
Artikel Lainnya :
- 30 Juli 2010, Figur Wayang - Pandhawa Dadu(30/07)
- SEGA MEGANA, MENU YANG MUNCUL DARI TRADISI JAWA(22/06)
- Mengenal Batik dan Cara Mudah Membuat Batik(19/05)
- Memilih Hari dan Tanggal untuk Berpergian(12/01)
- Hari Baru(20/05)
- Seni Karawitan Jawa. Ungkapan Keindahan dalam Musik Gamelan(18/04)
- 6 April 2010, Ensiklopedi - DOLANAN ONCIT(06/04)
- Upacara Bendera dengan Busana dan Bahasa Jawa di Jogja(10/10)
- Membaca Puisi Membasuh Hati Di Tembi(09/02)
- PUDARNYA POPULARITAS BAHAN BAKU MAKANAN LOKAL(26/05)