Tembi

Berita-budaya»SUNGKEM, TERUS MENTRADISI

07 Sep 2011 07:25:00

SUNGKEM, TERUS MENTRADISIHari lebaran, bagi masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Jawa identik dengan tradisi sungkem atau ujung. Setelah sholat Idul Fitri, banyak warga, khususnya orang muda yang melakukan tradisi sungkem kepada orang tua atau sanak kerabat yang lebih tua. Bahkan hanya untuk melakukan tradisi sungkem, mereka yang berada di luar kota untuk merantau mencari nafkah, harus rela bersusah payah kembali ke kampung halaman hanya untuk melakukan tradisi sungkem.

Memang, tradisi sungkem bagi masyarakat Jawa dan masyarakat Indonesia pada umumnya, merupakan suatu kegiatan yang esensi sebagai makhluk sosial. Apalagi bagi adat ketimuran, menghargai orang tua adalah hal yang mutlak. Momen yang biasanya diambil untuk menebus kesalahan sesama manusia adalah hari Lebaran, di hari Idul Fitri, di kala hati kembali suci. Di bulan Syawal itu pula, biasanya masyarakat kita juga melakukan kegiatan halal bihalal, saling memaafkan satu sama lain. Hampir sebulan penuh, semua kalangan masyarakat melakukan kegiatan halal-bihalal.

Lebaran juga identik dengan tradisi membuat kupat. Dalam budaya Jawa, membuat kupat yang terbuat dari janur (daun kelapa muda berwarna kuning) sepertinya merupakan kSUNGKEM, TERUS MENTRADISIeharusan yang juga sudah mentradisi sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Maka tidak heran, hampir di seluruh pelosok masyarakat Jawa (dan juga di daerah lainnya), mudah ditemui adanya kupat di hari Lebaran. Menurut masyarakat Jawa, kupat hanyalah simbol dan merupakan jarwa dhosok dari “ngaku lepat”, yang artinya mengakui salah. Di hari Lebaran itulah, kupat sebagai simbol untuk saling memaafkan satu sama lain sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Walaupun sama-sama ditunjukkan dengan adanya tradisi kupat, namun dalam pelaksanaannya ada beberapa daerah yang berbeda. Misalkan, untuk daerah Yogyakarta dan lainnya, tradisi kupat biasanya dilaksanakan menjelang 1 Syawal. Namun untuk daerah Surakarta dan sekitarnya, tradisi kupat atau disebut pula Bakda Kupat dilaksanakan sepasar (lima hari) hingga seminggu setelah Lebaran. Atau biasa juga disebut Bakda Kecil. Sementara untuk pelengkap kupat, seperti biasanya yakni opor ayam, sambel krecek kentang, bubuk kedelai, dan sebagainya.

Hingga saat ini, tradisi sungkem di masyarakat Jawa dan Indonesia masih tetap eksis. Walaupun zaman sudah maju, komunikasi sudah lancar, banyak telepon genggam atau HP dan komunikasi canggih lSUNGKEM, TERUS MENTRADISIainnya, namun, tradisi sungkem dan mudik tetap menjadi pilihan utama. Banyak di antara mereka beranggapan bahwa sungkem langsung di hadapan orang tua lebih afdol dan baik daripada lewat komunikasi HP dan lainnya. Orang tua akan lebih merasa dihormati apabila anak langsung datang menghadap daripada diwakili oleh telpon, pesan singkat sms, dan sejenisnya.

Dengan sungkem langsung kepada orang tua atau sanak kerabat yang perlu dihormati, sekaligus momen penting untuk kembali menjenguk kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan. Tanpa momen Lebaran dan sungkem, biasanya sangat jarang para perantau bisa sempat kembali ke kampung halaman. Hanya sayang, kadang-kadang saja, pulang kampung di saat Lebaran tiba, dimaknai juga untuk unjuk kesuksesan selama di perantauan. Maka tidak heran, di saat pulang kampung, banyak mobil berbondong-bondong memenuhi kampung halaman sebagai tanda sukses di perantauan. Walaupun tidak jarang pula, terpaksa harus sewa mobil untuk menutupi kekurangberhasilan di tanah rantau.

Lepas dari itu semua, kembali ke asal mula, ke tanah kelahiran untuk berbakti dan sungkem kepada orang tua dan kerabat di hari Lebaran, memang masih terus akan mentradisi di masyarakat Jawa dan Indonesia, selama banyak perantau di kota-kota besar sebagai ladang mengais rejeki.

Teks : Suwandi




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta