Realitas dan Imajinasi akan Kayu

Anusapati melakukan eksplorasi dengan obyek-obyek kayu di ranah abu-abu antara pengalaman fisik kini dengan kenangan yang tergugah olehnya. Peralatan kayu senantiasa hadir di lingkungan masa kanak-kanak Anusapati, hingga sekarang.

Anusapati, perupa, pengajar di ISI Yogya, pameran di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Yogyakarta, Foto: Sangkring
Kayu berikut ranting-ranting salah satu karya Anusapati

Anusapati, seorang pematung, memamerkan karya rupanya di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Yogyakarta, dan akan berakhir, Sabtu 8 Desember 2012. Karya-karyanya mengeksplorasi kayu, dalam ukuran besar ataupun kecil, atau juga karya seni rupa yang menggunakan kanvas dan menghadirkan bayang-bayang kayu warna hitam.

“Matereality” adalah tema yang diambil Anusapati. Tema ini untuk menandai kehadiran fisik berupa kayu, tetapi sekaligus menunjuk imajinasi, yang divisulkan dalam bayang-bayang karya, seolah untuk ‘memberi tahu’ pada publik, bahwa masa lalu Anusapati tidak bisa dipisahkan dari kayu.

Kayu, yang berasal dari pohon, merupakan bahan baku alami. Artinya, dengan pohon yang rindang, keteduhan akan bisa ditemukan, dengan demikian imajinasi terhadap kayu dari Anusapati, sebenarnya, bukan menyangkut material fisik, melainkan mengarah pada satu kondisi yang tidak gerah. Semilir angin dari pepohonan menandakan adanya kesuburan.

Anusapati memang tidak sedang melakukan kritik terhadap illegal logging, melainkan dia sedang berkarya dengan melakukan eksplorasi terhadap kayu, sehingga bagi Anusapati, kayu bukanlah sampah, tetapi merupakan bahan baku dari karya seni yang dia ciptakan.

Pada karyanya kita bisa mendapatkan bentangan kayu dalam ukuran besar, dan masih terlihat ranting-rantingya. Pada kayu dan ranting, tak secuil pun bisa ditemukan daun, dan kayu dalam ukuran besar itu digantung di ruang pameran Sangkring Art Space sehingga orang bisa mendekati dalam menikmati karya seni rupa Anusapati, atau bahkan berdiri di bawahnya. Namun, karya dalam ukuran besar tersebut akan terlihat artistik jika dilihat dari jarak tertentu. Karya itu betul-betul sebagai karya seni, bukan sekadar kayu tersangkut di atap rumah.

Rupanya, Anusapati tidak fanatik pada kayu, meski karyanya yang dipamerkan dengan tema “Matereality”, didominasi kayu, namun sebenarnya ada perpaduan dengan bahan lain, yaitu berupa perunggu, setidaknya bisa dilihat pada karya yang berjudul “Articulate”. Pada karya ini, Anusapati mengambil bahan dari ranting pohon, yang kemudian dia pasang di tembok, dan pada ujung dari ranting ini dipasangi perunggu. Sinar lampu yang menembak pada karya ini memproduksi bayangan kayu, sehingga memberi kesan ada ‘kayu dibalik kayu’.

Ranting-ranting yang dipadukan dengan perunggu dan dipasang pada ujung kayu, Foto: Sangkring
Articulate, judul dari karya Anusapi yang mengeksplorasi ranting-ranting

Pada karya yang lain, misalnya ‘The Shadow” dan dibuat dalam bentuk seri, sehingga ada ‘Shadow 1,2,3 sampai 10' dan seterusnya. Karya ini mengambil media kanvas, dan melukis tidak dengan cat, melainkan menggunakan arang. Kita tahu, arang berasl dari kayu yang dibakar. Karya hitam putih yang menyajikan imajinasi akan kayu, seperti mempertegas Anusapati akan kerindungannya terhadap keteduhan.

Dari karya Anusapati, yang mengeksplorasi kayu, setidaknya kita bisa tahu, bahwa persoalan lingkungan tidak bisa mengabaikan tanaman, dan pepohonan yang di negeri kita begitu melimpah, di masa depan kita akan sulit menemukan pohon, apalagi kita bisa tahu, bahwa penebangan hutan liar sudah ‘menghasilkan’ masalah masyarakat kita, bukan hanya masyarakat yang tinggal di hutan.

Melalui kayu, agaknya Anusapati ingin menunjukkan kehadiran fisik, yang bisa memberi kehangatan kultural, meski kita tahu, nunasa teduhnya bisa kendor, karena yang lebih diutamakan pada karya seni rupa adalah ‘ laku’’ Padahal, pada karya seni rupa, bukan semata-semata berapa biji karya seni rupa sudah mulai ‘laku’.

Anusapati adalah pematung yang berkarya dengan media kayu, kuningan dan perunggu serta gambar arang. Ia mendapat penghargaan patung terbaik pada tahun kelulusannya (1983) dari ASRI Yogyakarta, dan meraih gelar Master of Fine Arts dari Pratt Institute New York (1990). Ia kini mengajar gambar, seni patung serta seni experimental di ISI Yogyakarta.

Dalam penggalan teksnya, Kadek Khrisna Adidharma, kurator pameran ini, menuliskan; dalam arsitektur, Materiality merupakan konsep penggunaan bahan-bahan alami seperti kayu serta bahan-bahan visual seperti proyeksi atau bayang-bayang sebagai media bangunan. Anusapati melakukan eksplorasi dengan obyek-obyek kayu di ranah abu-abu antara pengalaman fisik kini dengan kenangan yang tergugah olehnya. Peralatan kayu senantiasa hadir di lingkungan masa kanak-kanak Anusapati, hingga sekarang.

“Anusapati membangunkan kembali bantalan-bantalan rel dari kayu jati, bengkirai dan ulin yang telah lama digunakan sebagai sarana transportasi mengangkut tebu. Ia mengangkat bantalan-bantalan kayu ini dari dalam tanah untuk mewujudkan pengalaman-pengalaman yang mengantar penyimak karya ke sejumlah perjalanan baru, salah satunya kembali kepada keteduhan dan permainan bayang-bayang yang hilang ketika pohon-pohon ini ditebang,” kata Kadek Khisrna Adidharma.

Bayang-bayang warna hitam di atas kanvas, karya Anusapati, Foto: Sangkring
Karya yang menggunakan media kanvas ini diberi judul ‘Shadow seri 1 sampai 10'

Dan akhirnya, dari eksplorasi kayu Anusapati, kita bisa melihat realitas fisik dan imajinasi akan kayu.

Ons Untoro

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta