'Prasasti Batik' Dari Watu Ijo
Untuk membuat patung dari watu ijo, demikian kata Hermanu, memang dibutuhkan tenaga, keuletan, dan tentu saja pengalaman membaca urat batu sehingga batunya mudah dipahat atau digerinda.
Wish You Were Here’ kaya Supar Mardiyanto
Sebongkah batu diletakkan di halaman Bentara Budaya Yogyakarta. Sejak 4 sampai 11 Desember 2012, bongkahan batu itu tidak dipindahkan dari tempat. Panas dan hujan silih berganti membelai tubuhnya.
Tentu, bongkahan batu itu bukan sekadar batu, melainkan satu karya patung yang diberi judul ‘Prasasti Batik”. Pada batu itu tertoreh ornamen motif batik, sehingga diberi judul seperti itu. Dan karena prasasti, lokasi yang dipilih untuk memajangnya di ruang terbuka: di halaman Bentara Budaya Yogyakarta. Jadi, siapa saja yang hendak masuk ke ruang pamer Bentara Budaya, pasti akan melewati bongkahan batu karya pematung Basrisal Albara itu.
‘Seni patung yang berjudul ‘Prasasti Batik’ tersebut hanyalah salah satu dari sejumlah patung yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta dengan mengambil tema ‘Watu Ijo’. Tema ini diambil untuk menandai karya patung yang dibuat menggunakan watu ijo (batu hijau), yang diambil dari sebuah bukit yang dikenal dengan nama Gunung Berjo, di Desa Sidoluhur, Godean.
“Watu ijo memang sudah terkenal sejak zaman dahulu. Watu ijo ini sudah ditambang sejak zaman Belanda bahkan mungkin sudah dimanfaatkan sejak zaman Mataram. Konon kabarnya, watu gilang yang berada di Kotagede ibukota kerajaan Mataram, zaman Panembahan Senapati sekitar abad ke 16, berasal dari Gunung Berjo, Godean, sebab secara geografi letak Godean dan Kotagede masih relative dekat, lalu jenis batu granit yang mempunyai kekerasan tinggi memang hanya di Godean untuk daerah Mataram atau Daerah Istimewa Yogyakarta,” kata Hermanu, Kepala Bentara Budaya Yogyakarta.
Pameran patung ‘Watu Ijo’ ini memang menghadirkan beragam visual patung batu. Ada satu karya yang diberi judul ‘Yogya Istimewa’ karya Eko Wahyono, dalam bentuk segi tiga, meski ujungnya tidak tajam. Ada tekstur garis-garis dan bulatan, yang di tengahnya ada simbol Kraton Yogyakarta, dengan dua warna merah dan kuning. Simbol kraton itulah, yang agaknya untuk menandai judulnya: ‘Yogya Istimewa’.
‘Yogya Istimewa’ karya Eko Wahyono
Atau karya Supar Mardiyanto, yang berjudul ‘Wish You Were Here’ terbuat dari batu, logam, polyster dan fiberglas, dengan ukuran 65 x 25 x 65 cm. Bentuk dari patung ini berupa dua tangan yang sedang bersalaman. Dua ujung di masing-masing tangan berupa bulatan batu.
Seorang pematung senior, dan termasuk sebagai maestro, Edhi Sunarso, ikut menghadirkan karyanya diantara pematung muda lainnya. Ia memamerkan karya “Wajah Gadis’, yang terbuat dari batu andesit Berjo, dengan ukuran 55 x 30 x 30 cm, yang dibuat tahun 1953. Visual dari karya patung ini berupa wajah seorang gadis, yang ‘menyembul’ dari dalam batu. Atau setidaknya, ‘wajah gadis’ bertubuh batu.
Ada karya lain lagi, yang cukup menarik dan diberi judul ‘You and Me’ karya Sardjito, dengan ukuran 133 x 28 x 25 cm dibuat tahun 2012. Bahan yang dipakai batu andesit. Visual dari karya ini berupa dua jari, saling bertemu, saling menunjuk pada ujung kuku. Jari yang satu lebih besar dari jari yang satunya lagi, sehingga memberi kesan dua jari milik laki-laki dan perempuan. Rasanya, ‘ You and Me’ ini memberikan kisah dua sejoli.
Kisah mengenai watu ijo dari Gunung Berjo disampaikan oleh Hermanu, Kepala Bentara Budaya Yogyakarta, dengan menunjuk perupa Trubus sebagai orang yang mengawali. Menurut Hermanu, Trubus pada tahun 1958 bersama empat orang dari Gentan, Jalan Kaliurang, membuat sebuah patung gadis yang diberi judul Denok. Patung seukuran tubuh manusia dari batu hijau, yang dikerjakan di lereng sebelah timur Gunung Berjo, setelah selesai dibuat patung tersebut dikirim ke istana Presiden di Bogor.
“Sejak saat itu, mulailah para seniman patung memanfaatkan watu ijo tersebut sebagai bahan dasar patungnya, seperti Edhi Sunarso, Askabul, dan para mahasiswa ASRI waktu itu,” kata Hermanu.
Untuk membuat patung dari watu ijo, demikian kata Hermanu, memang dibutuhkan tenaga, keuletan, dan tentu saja pengalaman membaca urat batu sehingga batunya mudah dipahat atau digerinda.
Prasasti Batik, karya Basrisal Albara, dipajang di depan pintu masuk
Bentara Budaya Yogyakarta
Gelaran dengan tajuk ‘Watu Ijo’ tersebut diikuti oleh 20 pematung dari Yogya, dalam generasi berbeda, dari pematung senior seperti Edhi Sunarso sampai pematung yang lebih muda misalnya Edi Priyanto, Eko Mei Wulan, Ali Umar . Anggap saja, para pematung muda ‘meneruskan’ sejarah pendahulunya dan menjaga seni patung terus berkembang.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- MENGENANG DICK HARTOKO, MENGINGAT TANDA-TANDA ZAMAN(23/05)
- Mendengar Campursari, Mengingat Manthous(12/03)
- 1 Februari 2010, Suguhan - PEDASNYA 'MISTER SAMBAL'(01/02)
- 22 Juni 2010, Djogdja Tempo Doeloe - RUMAH SAKIT MATA DR. YAP TAHUN 1920-AN(22/06)
- PEMANCINGAN DI KOTA YOGYAKARTA(01/01)
- Serat Sesorahipun Tin Sastrawirya(27/06)
- GELAR SASTRA JAWA FKY XVI DI PENDAPA Tembi BERLANGSUNG MERIAH(01/01)
- 12 Maret 2011, Adat Istiadat - UPACARA GREBEG MAULUD KERATON YOGYAKARTA 2011(12/03)
- JENDERAL SOEDIRMAN DAN LETKOL. SOEHARTO TAHUN 1949(23/08)
- Realitas dan Imajinasi akan Kayu(04/12)