Pentas Wayang Beber Damarwulan, Upaya Menyambung Mata Rantai yang Putus

Keberadaan wayang beber saat itu menjadi budayatandingan dengan budayayang hidup di kalangan kaum brahmana yaitu wayang kulit purwa yang bersumber pada cerita Ramayana dan Mahabarata.

Mahmudi, mahasiswa Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menggelar wayang beber, lakon Damarwulan, di ISI Yogyakarta, 5 Februari 2014, foto: Herjaka HS
Ki dalang Mahmudi membuka gulungan wayang beber
untuk dibeberkan ceritanya kepada penonton

Dalam Kitab Centhini dituliskan bahwa lukisan wayang beber dibuat pada tahun 1283 (Saka) atau 1361 (Masehi) atas perintah raja Majapahit Prabu Bratana atau Raden Jaka Susuruh, atau Raden Wijaya dalam versi sejarah. Pada waktu itu lukisan wayang beber masih hitam putih, digoreskan di atas kertas dalam posisi memanjang agar mudah untuk digulung. Baru pada 1378, Raden Sungging Prabangkara membuat lukisan wayang beber berwarna.

Bersamaan dengan pembuatan lukisan wayang beber itulah lahir pula cara berpikir untuk menarasikan karya lukis yang telah divisualisasikan ke dalam rangkaian gambar tersebut, lewat cerita atau lakon. Perpaduan antara unsur senirupa yakni lukisan wayang beber, dan senidrama dalam bentuk dalang yang menarasikan lukisan tersebut, dan didukung Oleh: senimusik untuk menghidupkan suasana, maka jadilah seni pertunjukan wayang beber.

Mahmudi, mahasiswa Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menggelar wayang beber, lakon Damarwulan, di ISI Yogyakarta, 5 Februari 2014, foto: Herjaka HS
Ki dalang menarasikan gambar dalam gulungan yang sudah dibuka

Pada masa abad XIII sampai abad XIV pertunjukan wayang beber yang mengisahkan cinta antara Raden Panji Asmarabangun putra raja Djenggala dengan Dewi Sekartaji putri raja Kediri sangat diminati masyarakat kalangan bawah. Keberadaan wayang beber saat itu menjadi budayatandingan dengan budayayang hidup di kalangan kaum brahmana yaitu wayang kulit purwa yang bersumber pada cerita Ramayana dan Mahabarata.

Kini setelah 700 tahun berlalu, pertunjukan wayang beber dapat dikatakan punah. Tinggal artefaknya saja yang ada di Dusun Karangtalun, Desa Kedompol, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, dengan cerita panji lakon “Djaka Kembang Kuning.” Dan juga di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di dusun ini ada 8 gulung wayang beber dari Pakubuwono II. Sebanyak 4 gulungan menceritakan kisah Panji, 2 gulungan cerita Jaka Tarub, 1 gulung mengenai Tumbal Syeh Bakir dan1 gulungan lagi tidak diketahui ceritanya. Ibarat mata rantai yang putus, keberadaan kesenian wayang beber sudah tidak dikenali lagi oleh masyarakat sekarang.

Mahmudi adalah mahasiswa Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakartayang pada kesempatan ujian akhir kuliahnya berupaya untuk menyambung mata rantai yang telah putus. Pada 5 Februari 2014, di pendapa Kyai Panjang Mas, kompleks Institut Seni Indonesia Yogyakarta, ia menggelar pentas wayang beber yang diberi tajuk “Wayang Beber Damarwulan.” Selain sebagai dalang yang berperan menarasikan serta mengajak teman-teman pengrawit untuk menghidupkan lukisan wayang beber yang ada, Mahmudi juga berperan sebagai perupa yang melukis sendiri wayang beber Damarwulan tersebut.

Di hadapan para dewan penguji dan penonton umum, Mahmudi berupaya mempertontonkan bahwa pertunjukan wayang beber masih cukup menarik untuk dilihat visualisasnya, dinikmati hiburannya, dan diresapkan tuntunannya.

Menurut Mahmudi, untuk merevitalisasi kesenian wayang beber ini ia mencoba menerapkan teori bahasa rupa tradisional dan teori alih wahana, untuk memadukan ketoprak dengan cerita Damarwulan ke dalam format wayang beber sehingga menjadi wayang beber versi baru yaitu “Wayang Beber Damarwulan” agar menarik dan dinikmati masyarakat.

Mahmudi, mahasiswa Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menggelar wayang beber, lakon Damarwulan, di ISI Yogyakarta, 5 Februari 2014, foto: Herjaka HS
Pesinden dan pengrawit mengiringi narasi sang dalang

Cerita Damarwulan yang dibeberkan berawal ketika Ratu Kencana Wungu raja Majapahit itu sedang cemas dan bingung sejak Rangga Lawe, senapati andalannya, gugur melawan Minakjinggo. Kecemasannya semakin bertambah saat utusan Minakjinggo datang untuk melamarnya. Lalu siapakah senopati yang mampu menandingi Minakjinggo? Sang Ratu Kencana Wungu memutuskan untuk bersamadi, memohon petunjuk dari dewa agar diberi jalan untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.

Dalam samadinya, Sang Ratu mendapatkan wangsit bahwa yang dapat menandingi Minakjingga adalah seorang pemuda tampan dari pertapaan Paluamba yang bernama Damarwulan. Pemuda tersebut saat ini telah berada di kepatihan Majapahit, menjadi abdi dalem “gamel” yang bertugas memelihara kuda.

Ada upaya dari Patih Logender dan kedua anaknya, Layang Seta dan Layang Kumitir, untuk menyembuyikan Damarwulan. Namun Ratu Kencana Wungu bersikeras bahwa wangsit yang diterimanya sangat jelas, saat ini Damarwulan berada di kepatihan. Maka kemudian Damarwulan pun dihadapakan kepada Sang Ratu dan diwisuda menjadi senapati untuk menandingi Minakjinggo.

Pergelaran Wayang Beber Damarwulan malam itu diakhiri dengan Minakjinggo gugur. Apakah nasib wayang beber “versi baru” ini akan hidup dan berkembang untuk kemudian muncul versi-versi yang lain, atau akan sama nasibnya dengan wayang beber “versi lama” , gugur seperti Minakjinggo?

Naskah dan foto :Herjaka HS



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta