- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Berita-budaya»PENETAPAN DEMOKRATIS UNTUK KEISTIMEWAAN
25 Jul 2011 09:44:00Udara politik lokal di Yogya masih terus hangat, bukan soal pilkada untuk memilih Walikota Yogya September 2011 nanti, tetapi persoalan Keistimewaan Yogyakarta yang berlarut-larut. Pada tingkat lokal, Keistimewaan tidak mengalami masalah, setidaknya warga Yogya dengan sekuat tenaga mempertahankan Keistimewaan dengan status politik penetapan Sultan HB X dan Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Tetapi ketika muncul istilah ‘penetapan demokratis’ untuk gubernur dan wakil gubernur, menambah persoalan baru. Secara semantik, istilah itu sendiri sudah problematik. Menggabungkan dua kata yang masing-masing kata (sudah) memiliki makna berbeda, hanya untuk mencari makna lain, tetapi sebenarnya malah menghilangkan makna. Tidak ada istilah dalam politik penetapan demokratis, Pilihan istilah ini berangkat dari asumsi, bahwa penetapan bukan tindakan demokratis. Agar makna penetapan memiliki dimensi demokratis, maka kata itu ditaruh dibelakang kata penetapan. Yang terjadi malah sebaliknya, istilah itu tidak memiliki arti.
Namun kita sudah bisa membaca, bahwa yang dimaksud dengan istilah penetapan demokratis adalah melakukan pilihan gubernur dan masyarakat boleh mencari calonnya sendiri. Pertanyaan yang muncul, mengapa tidak sekalian menggunakan kata pilihan? Mengapa mesti perlu membuat istilah baru, yang maknanya amburadul?
Barangkali, pemerintah melihat, bahwa pilkada merupakan bentuk dari demokrasi. Suara terbanyak yang telah memilih adalah bentuk dari demokrasi itu. Berangkat dari pemikiran bahwa demokrasi dalam pemilihan dengan suara terbanyak, artinya penetapan bukanlah bentuk demokrasi. Padahal, semua suara, tanpa harus melakukan pemilihan, menghendaki penetapan, tetapi hal seperti itu tidak dianggap demokratis, karena tidak ada pilihan lain kecuali calon tunggal yang ditetapkan.
Dalam kata lain, kalau penetapan demokratis adalah bentuk lain dari pilkada, artinya pemerintah telah ‘mengelabuhi’ warga Yogya, yang seolah tidak mengerti makna demokrasi. Pilihan mayoritas meminta penetapan, bentuk lain dari ‘suara terbanyak’ menghendaki pilihannya untuk ditetapkan. Tetapi pemerintah pusat memiliki pandangan lain, bahwa yang namanya pemilihan, calonnya tidak tuggal. Maka, bagi pemerintah pusat penetapan bukan sebagai pemilihan dan tidak sesuatu asas demokrasi.
Dalam kebutuan diantara dua opsi: penetapan atau pemilihan. Dimunculkan wacana ‘baru’ yang seolah untuk mengakomodasi keduanya. Wacana itu menggunakan istilah penetapan demokrasi, yang dimaksudkan bukan penetapan, tetapi pilihan. Ini artinya, istilah yang dipakai tersebut berpihak pada opsi kedua, yakni pemilihan. Opsi ini merupakan pilihan pemerintah pusat. Ini artinya, pemerintah pusat, sebenarnya hanya peduli pada kemauan sendiri.
Yang tidak disinggung-singgung lagi dari istilah penetapan demokratis adalah, formula gubernur utama dan wakilnya. Padahal, antara dua formula itu, yakni penetapan demokratis dan gubernur utama, sama-sama kabur makna dan artinya. Yang satu dilupakan, digantikan yang lain, dan celakanya, masih tetap kabur makna dan artinya.
Pada konteks dua opsi yang sama-sama dipertahankan, ialah masyarakat Yogya menghedaki adanya penetapan. Pemerintah pusat meminta menggunakan pemilihan. Ketika dua opsi diletakkan pada konteks penetapan demokratis, yang tampak dari pemerintah pusat tidak menerima penetapan dan memilih adanya pemilihan. Masyarakat Yogya, meski tidak sebulat bulan, menghendaki penetapan, karena penetapan bentuk pilihan mayoritas warga Yogya atas pemimpinnya.
Yang membedakan dari keduanya, pada opsi penetapan tidak ada calon lain kecuali Sultan HB X dan Paku Alam IX. Pada opsi pemilihan atau penetapan demokratis, adaa calon lain kecuali calon dari Raja Kraton Yogyakarta dan Paku Alaman.
Pertanyaan lain yang muncul ialah, untuk apa pemerintah pusat memperlambat RUU Keistimewaan sehingga sampai sekarang belun tuntas? Mengapa pula, pemerintah psat merasa perlu intervensi menyangkut tata kultural dan politik Yogyajarta. Padahal, kelak pada perkembangan jaman yang menang tidak bisa dihalangi kehadirannya, apa yang sekarang dianggap masih relevan, kelak akan dipertanyakan lagi. Sedikit sabar sambil menciptakan kondisi agar warga Yogya mereson perkembangan jaman secara intens, akan mempengaruhi perkembangan berpikir dan akan memilih bentuk-bentuk perubahan yang sesuai dengan kultur masyarakatnya.
Untuk apa perlu merasa malu dan semubunyi pada demokrasi sehingga tidak mau mempersilahkan Yogya tetap sepeti sebelumnya, hanya saja penegakkan hukum sangat diperketat, agar public percaya, bahwa keyakinan yang telah dipegangnya selama ini kontradiktif dengan kemajuan zaman.
Anggap saja, formula ‘penetapan demokratis’ hanyalah sekedar untuk mencari inspirasi agar ditemukan formula lain yang tidak mempermalukan pemerintah pusat untuk mundur dan membiarkan Keistimewaan Yogya dikembalikan seperti sebelumnya, serta tidak memberi kesan kemenangan pada Sultan HB X bersama warga Yogya.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- 16 Oktober 2010, Denmas Bekel(16/10)
- 21 Februari 2011, Kuliner - GADO-GADO DI NDONGKELAN(21/02)
- Monumen Nasional. Monumen Keagungan Perjuangan Bangsa Indonesia (02/06)
- Denmas Bekel(16/02)
- Salatiga. Sketsa Kota Lama(21/09)
- Workshop Manajer Festival Memahami Persoalan Menggelar Festival(09/12)
- Bagong(27/04)
- 10 Mei 2010, Suguhan - NASI GORENG MAGELANGAN(10/05)
- Istana Bogor Punya 360 Patung(08/02)
- 18 Nopember 2010, Situs - KISAH JURUKUNCI 35 SEJARAHE CUNTHEL(18/11)