Tembi

Berita-budaya»PEMENTASAN TEATER RYUZANJI HANAFUDA DENKI DI Tembi RUMAH BUDAYA

21 Jul 2011 08:56:00

PEMENTASAN TEATER RYUZANJI "HANAFUDA DENKI" DI Tembi RUMAH BUDAYATembi Rumah Budaya yang dalam hal ini dimotori oleh Tembi Dance Company melakukan melakukan apa yang dinamakan sebagai Apresiasi Tari Tembi 2011. ATT ini rencananya akan dilaksanakan setahun sekali. Tujuan utama dari aktivitas ini pertama, memfasilitasi kreativitas kaum muda yang menekuni dunia tari. Dunia yang bagi kebanyakan kaum muda sekarang adalah dunia yang sepi. Apalagi bagi mereka yang menekuni tari berbasis tradisi. Kedua, ATT diharapkan dapat menjadi ajang gaul dan saling belajar bagi kreator-kreator muda. Baik antarsesama mereka sendiri, dengan para senior di dunia tari maupun kreator tari dari mancanegara. Ketiga, Tembi Rumah Budaya, yang dalam kegiatan ini dimotori oleh Tembi Dance Company dapat menjadikan Tembi sebagai rumah yang hangat bagi para penggiat dan kreator tari.

Kegiatan perdana dari TDC dalam apa yang dinamakan ATT kaliPEMENTASAN TEATER RYUZANJI "HANAFUDA DENKI" DI Tembi RUMAH BUDAYAini menggandeng Teater Ryuzanji Company dari Tokyo, Jepang. Pementasan pertama dilakukan Jumat malam 15 Juli 2011 mulai jam 19.50-22.00 WIB di Pendapa Tembi Rumah Budaya. Pentas perdana ini menampilkan lakon ”Hanafuda Denki” karya Shuji Terayama. Musik pengiring pementasan dikerjakan oleh Makoto Honda. Sedangkan director oleh Saori Aoki. Koreografer dari lakon ini adalah Daigo Ishimaru. Sedangkan untuk alih bahasa ditangani oleh Urara N. Sebelumnya Ryuzanji Co. Juga telah melakukan pementasan di Studio Teater STSI Bandung, yakni pada tanggal 10 dan 12 Juli 2011.

Adegan pertama dari ”Hanafuda Denki” diawali dengan kemunculan dua ”sosok” arwah. Keduanya beraktivitas dalam keheningan di dunia kematian. Kegiatan mereka monoton dan tampak tidak risau akan waktu. Dunia kematian ini ditegaskan dengan dekorasi atau setting bagian belakang panggung yangPEMENTASAN TEATER RYUZANJI "HANAFUDA DENKI" DI Tembi RUMAH BUDAYAdiberi tabir kain hitam dan putih yang di depannya diberdirikan sebuah peti mati. Tabir hitam putih sebagai latar belakang utama setting panggung barangkali juga untuk menegaskan duna dunia: dunia hidup dan dunia mati, yakni sebuah tema utama yang ditampilkan dalam lakon Hanafuda Denki. Properti lain sebagai penegasan itu di antaranya adalah lampu (lampion) sebagai salah satu media doa kepada arwah yang diletakkan di salah satu sudut depan panggung.

Adegan kedua mengisahkan sebuah perusahaan pelayanan (urusan) kematian. Perusahaan ini dikepalai oleh Danjuro yang siap melayani orang mati atau bahkan rumus atau saran-saran menjadi mati kepada orang yang menghendaki mati. Ada rumusan mati tertawa, mati dilindas kereta, mati harakiri, mati menggantung, mati makan, mati minum, mati orgasme, mati sedih, dan sebagainya. Semua bisa dilayani asal ada uangnya.

Isi cerita dari lakon ini tampaknya bermain di dunia surealis atau bahkan mungkin absurd. Akan tetapi seperti jagad folklor Jepang, jagad kematian-kehidupan serta dewa-dewi alam sana dan alam sini tampaknya menjadi dunia yang ”nyata” dan bahkan biasa. Isi cerita bermain-main di antara dunia (hidup-mati) yang saling melewati, berkejaran, dan keluar masuk. Butuh konsentrasi penuh untuk memahaminya mengingat pementasan ini dilakukan dengan bahasa Jepang (sekalipun ada terjemahan yang disorotkan kePEMENTASAN TEATER RYUZANJI "HANAFUDA DENKI" DI Tembi RUMAH BUDAYAbackground layar di sisi belakang panggung).

Drama musikal, bergaya pop, dan komikal ini sesungguhnya di sana-sani penuh pertanyaan/perenungan filosofis tentang dunia mati dan dunia hidup. Keduanya sama pentingnya. Hidup akan kehilangan maknanya jika tidak ada mati. Demikian pun mati tidak akan ada maknanya jika tidak ada hidup. Akan tetapi semua makhluk hidup akan mati. Adakah yang pernah bisa mengingat bahwa ada orang yang tidak mati ?

Hampir semua anggota keluarga Danjuro telah mati. Sekalipun demikian ada satu anak Danjuro yang bernama Karuta yang disebut sebagai ”hidup”. Ia jatuh cinta pada Kitaro yang hidup di kuburPEMENTASAN TEATER RYUZANJI "HANAFUDA DENKI" DI Tembi RUMAH BUDAYAan. Kitaro berprofesi sebagai pencuri. Niat Karuta hendak menjadikan Kitaro sebagai suaminya tidak direstui oleh Danjuro. Danjuro pun meminta kepada arwah seorang pemuda yang mati terlindas kereta untuk menggoda Karuta dan menyeretnya kembali ke alam kematian. Usaha ini berhasil. Rencana pernikahan Karuta-Kitaro gagal.

Karuta mengatakan bahwa ia tidak mungkin menikah dengan Kitaro karena ada sebuah sungai yang memisahkan mereka (dunia mereka). Untuk dapat bersatu Kitaro harus masuk ke jagad kematian Karuta. Untuk itu Kitaro harus mati dulu. Sambil berkata demikian Karuta menusukkan sebilah pisau ke dada Kitaro. Kitaro pun mati. Kitaro dimasukkan ke dalam peti mati.

Tidak lama kemudian datanglah istri Danjuro yang bernama Ahoi. Ahoi mengetuk peti mati Kitaro dan mencoba mengajak berkencan pada Kitaro. Saat peti mati dibuka Kitaro marah besar karena sesungguhnya ia tidak ingin mati. Lebih sial lagi di dunia kematian ia bertubuh sebagai perempuan. Ahoi tidak percaya bahwa Kitaro jadi perempuan di alam kematian, Kitaro pun menunjukkan dada perempuannya yang telanjang.

Semua arwah di jagad kematian marah kepada Danjuro karena ia menyebabkan Kitaro mati. Datangnya arwah Kitaro di jagad kematian menyebabkan banyak arwah kehilangan harta bendanya (karena Kitaro berprofesi sebagai pencuri). Bahkan kemudian Danjuro pun kehilangan cincin pusakPEMENTASAN TEATER RYUZANJI "HANAFUDA DENKI" DI Tembi RUMAH BUDAYAa peninggalan ibunya dan ia pun ditertawakan semua arwah. Akhirnya justru Kitaro lah yang menguasai dunia arwah dan Danjuro dimasukkan ke dalam peti mati.

Mencermati pementasan Hanafuda Denki seperti bolak-balik melewati sebuah tangga yang menghubungkan jagad kematian dan kehidupan. Peran yang dengan cair serta seenaknya ganti-berganti (kasus Kitaro pria-Kitaro perempuan), menimbulkan keterkejutan (bahkan kebingungan) bagi yang berpikir lurus-lurus saja. Demikian pun batasan apa yang disebut hidup dan mati seolah menjadi tipis dan bisa saling memasuki dengan mudah.

Kematangan berakting masing-masing individu, kepaduan musik, olah vokal yang prima, ekpresi dan gesture yang dihayati bahkan muncul dengan ”otomatis’, penguasaan bloking yang seolah tidak terhambat oleh keterbasan ruang pendapa yang penuh pilar dan ditunjang oleh lighting yang ”cerdas”, serta stamina prima dari seluruh pemerannya menjadi pertunjukan yang disuguhkan oleh Ryuzanji ini begitu memikat.

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta