Ngliwet dengan Kendhil, Menghadirkan Kembali Tradisi Lama

Lomba ngliwet yang telah diselenggarakan untuk kedua kalinya ini mencoba untuk menghadirkan kembali tradisi ngliwet yang pernah dilakukan oleh nenek moyang dan leluhur masyarakat Jawa dahulu.

Festival Lomba Ngliwet dan Memedi Sawah, Museum Tani Jawa Indonesia, Minggu 9 Desember 2012, sumber foto: suwandi Tembi
Menjaga api tungku agar tetap menyala

Sesekali kendhil itu dibuka kembali oleh si pemasak, untuk dilihat apakah airnya sudah habis. Jika air sudah habis, maka api segera dikecilkan, supaya nasi dalam kendhil tidak gosong.

Di sebelah pemasak itu, pemasak dari kelompok lain tengah sibuk menyalakan api berbahan bakar kayu yang tak kunjung menyala. Diambillah semprong kemudian ditiupkan ke mulut keren, tungku api tradisional yang masih digunakan masyarakat Jawa hingga saat ini. Sebentar kemudian, menyalalah api dalam tungku tersebut dan membakar kayu bakar. Namun mereka harus bergelut dengan asap tungku yang menyerangnya. Sambil mengusap mata, ia terus menjaga api tungku.

Begitulah sekelumit suasana lomba ngliwet dengan kendhil yang diselenggarakan oleh Museum Tani Jawa Indonesia Bantul pada Minggu, 9 Desember 2012. Lomba yang berlangsung sangat meriah tersebut digelar di area museum setempat di Dusun Candran, Kebon Agung, Imogiri, Bantul.

Ada sekitar 20 kelompok yang ikut memeriahkan lomba ngliwet tradisional. Setiap kelompok minimal terdiri dari 3 orang, bisa satu keluarga, satu trah, maupun satu profesi. Pesertanya ada kelompok keluarga, serta ibu-ibu dari wilayah sekitar dan juga kelompok dari sekolah di wilayah Imogiri.

Festival Lomba Ngliwet dan Memedi Sawah, Museum Tani Jawa Indonesia, Minggu 9 Desember 2012, sumber foto: suwandi Tembi
Kendhil berisi beras sedang menjalankan tugas memasak nasi, sekarang diganti rice-cooker

Lomba ngliwet yang telah diselenggarakan untuk kedua kalinya ini mencoba untuk menghadirkan kembali tradisi ngliwet yang pernah dilakukan oleh nenek moyang dan leluhur masyarakat Jawa dahulu.

Pada zaman dulu ngliwet dilakukan karena memang hanya itu peralatannya yang ada. Namun, cara ngliwet juga melatih kesabaran hati pemasaknya. Juga, dengan ngliwet, hasil nasi yang diolahnya memberi rasa yang lebih pulen dan nikmat. Apalagi beras di zaman dulu belum menggunakan pupuk urea, sehingga lebih higienis dan membuat sehat bagi pengonsumsinya.

Sayangnya, perkembangan teknologi membuat orang semakin malas. Karena sifat barang teknologi adalah semakin memudahkan pekerjaan. Itulah sebabnya, masyarakat Jawa sekarang sudah sangat jarang memasak dengan cara tradisional karena faktor efisien waktu dan memburu cepat selesai. Namun dampaknya, kesehatanlah yang terganggu.

Para peserta lomba ngliwet kali ini tidak kesepian karena mereka juga dihibur dengan gending-gending karawitan yang disajikan oleh siswa-siswi SD Ngrancah Imogiri, seperti: gending ”jaranan”, ”aja dipleroki”, ”Prau Layar”, ”Bantul Bangkit”, ”Yogya Istimewa”, dan lainnya. Sepertinya mereka tidak merasa lelah memasak, yang dimulai pukul 10.00 hingga pukul 12.00 . Gending-gending karawitan itu benar-benar menghibur mereka yang sedang lomba ngliwet. Apalagi para penonton juga memberi semangat bagi mereka.

Festival Lomba Ngliwet dan Memedi Sawah, Museum Tani Jawa Indonesia, Minggu 9 Desember 2012, sumber foto: suwandi Tembi
Nasi yang sudah mulai terbentuk perlu diaduk supaya tidak gosong

Suara adzan Dhuhur telah terdengar siang itu. Sebagian besar peserta lomba ngliwet telah selesai memasak, baik nasi, sayur, sambal, dan lauk pauk. Mereka segera menata dan menghias hasil masakannya itu setelah ditambah dengan buah-buahan. Dari situ, terlihat jenis masakan yang disajikan seperti menu dengan sayur lodeh dan peyek teri, menu dengan sayur lompong dan tempe garit, atau menu ”sega wiwit” dengan ciri khas ada lauk gereh petheknya atau ikan asin.

Para juri pun segera menilai hasil kreasi masakan itu, terutama rasa dari masakan, juga hasil liwetan, gosong atau tidak, pulen atau tidak. Sebelum pengumuman pemenang, para penonton dibolehkan mencicipi segala masakan yang disajikan.

Dari lomba tersebut diambil juara satu sampai tiga yang masing-masing memperoleh hadiah berupa beras 20 kg dan uang pembinaan berturut-turut sejumlah Rp 500 ribu, Rp 300 ribu dan Rp 200 ribu. Sementara peserta yang tidak meraih juara, masing-masing kelompok memperoleh bingkisan berupa beras 3 kg hingga 5 kg.

Lomba ngliwet dengan kendhil ini mencoba menghadirkan kembali memasak dengan cara masa lalu yang sekarang masih tetap aktual.

Festival Lomba Ngliwet dan Memedi Sawah, Museum Tani Jawa Indonesia, Minggu 9 Desember 2012, sumber foto: suwandi Tembi
Siswa-siswi SD Ngrancah Imogiri menghibur peserta dan penonton dengan karawitan

Suwandi

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta