Membaca Antologi Puisi di Sastra Bulan Purnama

Membaca Antologi Puisi di Sastra Bulan Purnama

Dharmadi, seorang penyair yang tinggal di Jakarta hadir dalam Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan di Tembi Rumah Budaya (5/7) lalu. Kehadirannnya bukan sekedar ingin melihat penyair lainnya membacakan puisi karyanya, tetapi dia membacakan puisi karyanya yang telah dicetak menjadi antologi puisi dan diberi judul ‘Kalau Kau Rindu Aku’

Tak terasa, Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan setiap bulan purnama sudah memasuki edisi ke 10. Pada penanggalan Jawa dikenal, setiap tanggal 15, saatnya bulan purnama: bulat dan bersih bersinar. Tentu saja tanggal nasionalnya selalu tidak sama, pada 5 Juli lalu, tepat tgl 15 pada penanggalan Jawa, artinya acara Sastra Bulan Purnama diselenggarakan. Pada edisi 10, Sastra Bulan Purnama memberi ruang untuk launching antalogi puisi, salah satunya Dharmadi. Selain dia ada Slamet Riyadi Sabrawi, Krishna Miharja, Kris Budiman dan Ons Untoro.

Membaca Antologi Puisi di Sastra Bulan Purnama

Selain dibacakan penyairnya, puisi antologi juga dibacakan oleh penyair dan pembaca puisi yang lain. Putri misalnya, pembaca puisi dari Bali membaca puisi karya Slamet Riyadi. Ida Fitri, Ikun Sri Kuncoro dan Boen Mada, membaca puisi karya Krusbudiman. Sashmita Wulandari dan Herlina Van Tojo membacakan puisi karya Krishna Miharja. Umi Kulsum, Budhi Wiryawan dan Landung Simatupang membacakan puisi karya Ons Untoro.

‘Saya akan membacakan puisi karya Ons, yang saya kira salah cetak, tetapi rupanya tidak. Saya yang salah mengira, ‘Penyiar’ judul puisi yang saya pilih untuk dibacakan” kata Landung Simatupang mengawali sebelum membacakan puisi yang dipilihnya.

Budhi Wiryawan, seorang penyair dan menjabat sebagai ketua KPUD Bantul membacakan puisi yang berjudul ‘Puisi Untuk Istriku’ dan Umi Kulsum membacakan satu puisi yang berjudul ‘Sahabat di Facebook’.

Seperti biasa, Sastra Bulan Purnama dihadairi oleh cukup banyak orang dan tidak hanya dari kalangan penyair saja, tetapi umumnya yang hadir adalah peminat sastra di Yogya, dari generasi tua sampai generasi muda. Mereka sudah saling kenal satu dengan yang lainnya, tetapi, mungkin jarak usia, ada yang tidak saling mengenal. Namun, suasana akrab dan bersahaja, semakin hari semakin terasa di Sastra Bulan Purnama.

Membaca Antologi Puisi di Sastra Bulan Purnama

Selain pembacaan puisi, ada pertunjukan monolog oleh Dhenok Kristianti yang membawakan lakon ‘Kunjungan Nyonya Tua’. Property yang dibawa untuk melengkepai monolog, Dhenok membawa peti mati yang diletakkan di tengah panggung dan dari titik peti itulah peristiwa bergulir.

Dhenok sungguh-sungguh mempersiapkan pertunjukkan monolog itu. Artinya, pertunjukannya tidak sekedar mengisi waktu senggang, melainkan pertunjukkan yang memberi arti pada Sastra Bulan Purnama. Dengan kostum warna hitam dan topi warna hitam. Dhenok seolah seperti sedang berduka, tetapi sekaligus marah.

Dalam penampilannya, Dhenok sungguh menghayati perannya. Terkadang ia mendekati peti mati yang didalamnya ada mayat suaminya. Bahkan bukan hanya sekedar mendekati, melainkan memeluk peti mati, laiknya memeluk suaminya. Selain itu, Dhenok berdiri di atas kursi untuk mengekspresikan penampilannya. Meski ceritanya tidak terlalu panjang, tetapi hampir menelan waktu 30 menit.

“Saya sudah berusaha memperpendek naskanya, tapi rupanya tidak bisa kalau hanya untuk waktu 20 menit, substansi ceritanya tidak bisa kepegang kalau waktunya pendek” kata Dhenok Kristianti.

Selain monolog, ada pertunjukkan musik dari Anterock, yang mengolah puisi menjadi lagu.

Membaca Antologi Puisi di Sastra Bulan Purnama

Sastra Bulan Purnama edisi 10, karena diisi launching 5 antologi puisi, tajuknya diambil rangkaian kata dari judul antologi puisi yang dilaunching ialah ‘Mengenali Topeng Kekasih Dalam Rindu Puisi”.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta