Tembi

Berita-budaya»KETIKA TANAH BERBICARA

20 Oct 2011 07:50:00

KETIKA TANAH BERBICARABayangkan, apa yang akan dikatakan ‘ketika tanah berbicara?’. Kalimat ini merupakan tajuk pameran seni rupa, khususnya seni keramik, di Taman Budaya Yogyakarta Rabu (12/10) lalu. Bermacam ekspresi karya dari 9 perupa, atau mungkin lebih pas disebut pekeramik menampilkan bermacam karya yang berangkat dari tanah. Rupanya, para pekeramik ini hendak memberi arti terhadap tanah, yang hanya segumpal. Karena itu, karya-karya mereka menyampaikan banyak kisah, termasuk sindiran.

Pada karya Koniherawati misalnya, yang menampilkan bentuk-bentuk tikus warna hitam, dan merambat kemana-mana, tampaknya ia hendak menyindir perihal korupsi di Indonesia, yang pelakunya sering diidentifikasi sebagai tikus. Jadi, Koni tidak hanya sedang berkarya, melainkan, seperti tajuk pamerannya, ia sedang berbicara melalui tanah dalam wujud tikus-tikus.

Tanah, ditangan para pekeramik, meski hKETIKA TANAH BERBICARAanya segumpal, atau setenggok, bisa memiliki makna, atau setidaknya bisa ‘berbicara’. Gumpalan tanah tersebut diubah menjadi satu karya seni yang bisa dinikmati estetikanya dan bahkan bisa dikoleksi di rumah. Ia bisa berubah menjadi patung (keramik) misalnya, atau berupa tungku, keren dan seterusnya. Tanah yang berbicara, agaknya, adalah tanah yang memiliki makna seni. Bukan sekedar seonggok tanah yang membuat kotor lingkungan.

Endang Lestari lainnya lagi dengan Koni. Meski sama-sama berbicara dan mengingatkan, Tari, demikian nama panggilannya, dengan karyanya sedang berseru mengenai kesehatan dan keselamatan. Maka, karya keramik-instalasinya diberi judul ‘Health and Safety’.

Demikianlah karya keramik yang dipamerkan bukan sekedar laiknya kerKETIKA TANAH BERBICARAamik sebagaimana pengrajin keramik membuat karya fungsional, tetapi oleh para perupa, karya-karya keramik berpadu dengan seni patung dan instalasi. Maka, seni keramik yang dipamerkan ini sesungguhnya memiliki dimensi estetika.

Sudjud Danarto, seorang kurator, pada tulisan dikatalog untuk mengantarkan pameran ini, pada akhir tulisannya ia mengatakan seperti bisa disimak berikut ini:

“Bila Negara-negara demikian progresif dalam mewacanakan seni keramiknya, maka Indonesia mestinya sudah harus memulai kesadaran untuk menghargai dan mengembangkan wacana dan praktik seni keramiknya sendiri. Ada banyak hal yang menarik untuk diapresiasi, juga ada banyak hal yang penting dan perlu dicatat dari karya-karya perupa keramik dalam pameran yang mereka beri tajuk ‘Ketika Tanah Berbicara’”.

Agaknya hanya soal kebetulan, perupa yang tampil semuaKETIKA TANAH BERBICARAnya perempuan, dan mengekspersikan tubuh perempuan, seperti karya Neni Maria dengan judul karyanya ‘Ritual Perempuan’, Jenny Lee dengan judul karya ‘Doa dari perempuan’, atau berupa barang-barang dapur yang menunjuk(kan) identitas perempuan seperti karya Koniherawati yang berjudul ‘Ketika tanah berbicara’. Visual karyanya berupa keren dan sejenisnya. Atau juga karya Dwita Anja Asmara dalam judul ‘Dengarkan Kata Perempuan’.

Dari karya-karya perupa perempuan, yang ‘mengekspresikan dirinya’, kita bisa melihat, sesungguhnya bukan hanya tanah yang (sedang) berbicara, melainkan perempuan. Maka, tajuk pameran bisa diganti menjadi ‘Ketika Perempuan Bebicara’. Atau lebih khusus lagi, kalimatnya bisa berupa ‘Ketika pekeramik perempuan berbicara’.

Konvensi perempuan pada karya-karya keramik ini, tidak dilompati. Pekeramik perempuan ini masih tipikal perempuan, sehingga menampilkan karya perempuan berdoa, atau melakukan ritual, ekspresinya laiknya orang berdua: kedua tangannya menyatu di dada. Atau kedua tangan bergenggam dan ditaruh dibawah perut, laiknya orang berdua. Yang khas lagi, sambil memejamkan mata dan kepalanya menunduk.

Pameran keramik dari pekeramik perempuan, atau perupa perempuan, setidaknya memberi pilihan seni rupa pada publik, yang selama ini jarang melihat karya seni keramik dan hanya selalu disodori seni lukis.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta