Tembi

Berita-budaya»MALIOBORO

01 Aug 2011 11:54:00

MALIOBOROSiapa yang tidak mengenal Malioboro Yogya? Turis-turis asing pun mengenalinya. Siapa yang datang berkunjung ke Yogya, bisa dipastikan menyempatkan diri untuk ke Malioboro. Bahkan, mengunjungi Yogya, walau hanya satu hari misalnya, belum merasa sampai Yogya kalau belum ke Malioboro.

Malioboro menjadi magnet untuk orang-orang yang datang Ke Yogyakarta. Karena itu, tempat ini tidak pernah sepi. Setiap hari dari pagi sampai tengah malam, Maliobooro selalu penuh orang. Pada pagi hari, kaki lima dan pertokoan mewarnai dinamika Malioboro. Pada malam hari, selepas jam 9 malam, setelah kaki lima dan pertokoan tutup digantikan warung lesehan. Orang datang ke Yogya seringkali menikmati Yogya malam hari di Malioboro sambil lesehan. Seolah telah menjadi ‘syah’ di Yogya setelah menjalani ‘ritus lesehan’ di Malioboro.

Selain Malioboro, sekarang ada yang dipakai sebagai ‘ritus’ untuk menandai bahwa telah berada atau sampai Yogya, yakni Tugu. Di lokasi ini, terutama pada malam hari, mudah ditemukan anak-anak muda pada berdiri disamping Tugu sambil berpotret. Teknologi digital ikut memberikan support pada siapa saja yang ingin menunjukkan bahwa sedang dan telah berada di Tugu Yogya. Apalagi dalan hitungan detik, foto di dekat Tugu bisa di upload di facebook, sehingga banyak orang, khususnya teman-teman di facebook bisa mengetahuinya.

Malioboro yang sudah diceritakan oleh banyak orang kepada orang-orang lain, atau yang sering disebut sebagai, dalam istilah jawa gethok tular. Kini bisa di ‘gethok tular’kan secara visual melalui facebook. Seperti halnya ‘gethok tular’ fecabook dengan segera mendistribusikan simbol-simbol Malioboro kepada jaringan yang lebih luas lagi.

Kita semua sudah tahu, bahwa banyak orang meMALIOBOROngungjungi kawasan Maliobooro tidak (di) harus (kan) belanja. Bisa cukup duduk santai sambil berbincang dengan teman-temannya, atau juga sambil berfoto ria. Tempat nongkrong di kawasan Malioboro ada di titik nol kilometer. Lokasi ini telah menjadi ruang publik yang bisa diakses siapa saja. Ada tempat duduk, ada trotoar yang juga bisa dipakai tempat duduk. Lokasi titik nol ini, hampir setiap hari, apalagi malam hari, ada banyak orang sedang nongkrong sambil bersendau gurau atau berbincang.

Karena Maliobooro menjadi ruang yang mudah diakses oleh siapa saja. Ruang-ruang terbuka di Malioboro ini, bukan hanya ramai karena banyak orang, tetapi ruang-ruang terbukanya sudah penuh dengan iklan luar ruang. Ada bermacam teks bisa dibaca dan semuanyanya ‘menawarkan’ produk apa saja. Jadi, Malioboro betul-betul telah menjadi pasar, untuk kepentingan transaksi.

Memang orang akan merasa risau membandingkan Malioboro kini dengan Malioboro 40 tahun yang lalu, atau Maliboro sebelum Indonesia Merdeka. Namun agaknya, kita tidak perlu membandingkannya, sebab perubahan satu kota memang harus terjadi. Hanya saja, yang menjadi persoalan sekaligus menjadi pertanyaan, apakah perubahan yang terjadi di Malioboro tidak berkaitan dengan kultur yang dimiliki kota, atau berubah sekaligus membuang identitasnya?

Malioboro, yang lokasinya di depan pintu masuk Kraton Yogyakarta, artinya Malioboro berada di pusat kekuasaan. Tempat ini, memiliki ‘aura’ yang nikmat untuk melakukan interaksi budaya. Karena itu, aktivitasMALIOBOROkebudayaan, setidaknya tahun 1960-1970-an akhir pernah berpusat di Malioboro. Dalam kata lain, Malioboro memiliki identitas budaya, dan identitas niaganya ada di jalan Solo, atau sekarang telah menjadi jalan Urip Sumoharjo.

Di kawasan Malioboro, tepatnya dititik nol kilometer, belakangan ini sering dipakai untuk berbagai macam aktivitas, bahkan termasuk demonstrasi mengkritik pemerintah. Artinya, Malioboro seperti ‘kembali’ menemukan identitas kulturalnya, karena ada interekasi antar kelompok masyarakat. Di titik nol kilometer, sering dipakai untuk pentas kesenian, acara sastra, memajang sepeda onthel kuno, memajang seni rupa publik dan lainnya.

Tetapi karena lalu lintasnya padat, seringkali membuat tambah macet, karena berbagai macam acara diselenggarakan di kawasan Malioboro.

Lalu bagaimana mengatasinya?

Pastilah bukan melarang segala aktivitas yang telah dilakukan. Kembali menghidupkan identitas kultural di Malioboro, merupakan hal yang penting. Namun bukan berarti, melarang kegiatan ekonomi yang memang sudah puluhan tahun berlangsung di kawasan Malioboro. Memberi ruang interaksi antara kegiatan ekonomi dan kegiatan kebudayaan di kawasan Malioboro, rasanya merupakan jalan keluar yang baik. Dan mungkin, menjadi identitas Malioboro kini: Bahwa identitas kultural tidak terpisahkan dari aktivitas ekonomi.

Gagasan Malioboro menjadi wilayah pedestrian, kiranya adalah upaya untuk ‘mengembalikan’ identitas kultural Malioboro. Saya kira, akan lebih terasa teduh apabila kawasan Malioboro menjadi pedestrian.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta