Tembi

Berita-budaya»MALAM SASTRA MALIOBORO

19 May 2011 07:43:00

MALAM SASTRA MALIOBOROPada masa 30 tahun yang lalu, Malioboro Yogya identik dengan kegiataan sastra dan kebudayaan. Apalagi, seniman seringkali, bahkan saban hari, nongkrong dan berkumpul di Malioboro. Meski sekarang, nuansa budaya di Malioboro tidak lagi kental, namun bukan berarti sepi dari aktivitas kesenian.

Satu acara sastra dan kebudayaan kembali diselenggarakan dikawasan Malioboro, tepatnya tidak jauh dari Istana Negara, di titik nol kilometer Yogyakarta dan diberi tajuk ‘Malam Sastra Malioboro’. Acara ini, selain diisi pembacaan puisi, cerpen dan tarian serta musik. Biasanya, acara ini sekaligus untuk mengenang sastrawan yang sudah meninggal. Misalnya, suatu kali ‘Malam Sastra Maliboro’ untuk mengenang penyair Linus Suryadi AG. Maka, karya-karya puisi Linus Suryadi, termasuk prosa liriknya yang berjudul ‘Pengakuan Pariyem’ dibacakan.

Selain mengenang Linus Suryadi, yang baru dilakukan beberapa waktu lalu, atau awal Mei lalu, “Malam Sastra Malioboro’ yang diselenggarakan setiap bulan, untuk mengenang dua sastrawan Yogya, kakak beradik ialah Adjid Hamsah dan Hajid Hamsah. Karya-karya dua sastrawan itu dibacakan oleh sastrawan muda. Namun ada juga penyair yang membacakan karya sendiri. KecualiMALAM SASTRA MALIOBOROitu, ada pentas tari dari komunias Rumah Mandar.

Suasana lalu lintas dikawasan Malioboro yang hiruk pikuk. Deru kendaraan yang tidak pernah sepi, terasa tidak mengganggu acara ’Malam Sastra Malioboro’. Suara penyair membaca puisi, atau cerpen, seolah hendak ’mengalahkan’ deru kendaraan yang terus menerus, secara bergantian saling datang dan pergi. Karena panggung berada di tepi lampu merah, dengan sendirinya deru kendaraan seperti mengiringi pembacaan karya sastra.

’Malam Sastra Malioboro’ memang tidak bermaksud mengembalikan masa lalu Malioboro, atau setidaknya Malioboro tahun 1970-an, yang saban malam ’dihuni’ seniman. Namun setidaknya, acara ini bisa ’mengingatkan’ masa lalu sastra Malioboro. Karena, Malioboro kini, sudah ’bergerak’ ke arah yang lain, meski masih bisa diisi acara sastra, tetapi rasanya sastra Malioboro seperti beradaMALAM SASTRA MALIOBORO’dipinggiran’. Bukan lantaran panggungnya di trotoar, yang tak lain secara geografis memang dipinggiran. Ditilik dari atmosfir Malioboro yang kuat interes ekonomiknya, sastra Malioboro terasa sayup-sayup.

Di Yogya memang ada banyak sastrawan yang kini telah tiada, dan karyanya memiliki kualitas yang memadai. Meski anak muda sekarang tidak mengenalnya, misalnya penyair Kirjomulyo, namun kita tahu, karya-karya puisinya memiliki nilai sastra yang kuat. Ada juga Mohamad Diponegara, naskah sandiwara dan novelnya juga memukau. Yang lain, misalnya Umar Kayam, novel-novelnya mengagumkan. Tidak ketinggalan Kuntowijoyo, sejarawan yang juga novelis. Karya-karyanya memikat banyak kalangan.

Yang menarik dari ’Malam Sastra Malioboro’ yang diselenggarakan oleh anak-anak muda, didedikasikan kepada sastrawan-sastrawan pendahulunya yang sekarang mereka sudah tiada lagi. Dari acara ini, anak-anak yang lebih muda bisa tahu karya-karya dari sastrawan pendahulunya yang pada masanya produktif.

Aha, Malioboro, sampai sekarang masih memiliki pesona bagi orang yang datang ke Yogya, dan belum merasa di Yogya kalau tidak mengunjungi Malioboro. Dan di lokasi ini, pada satu sudut, ada satu acara yang diberi tajuk ’Malam Sastra Malioboro’ dan siapapun bisa menikmatinya sambil duduk lesehan, atau sembari menunggu lampu merah mendengarkan penyair membaca puisi.

’Malam Sastra Malioboro’ kembali memberi nuansa budaya pada Malioboro.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta