KEMACETAN TOTAL DI JOGJA TINGGAL MENUNGGU WAKTU
Seiring kemajuan zaman, di setiap kota selalu ada kenaikan jumlah kendaraan bermesin. Entah itu berupa sepeda motor, mobil, trik, bis, atau lainnya. Lambat laun daya dukung jalan tidak akan mampu lagi menampung limpahan kendaraan yang tumpah di jalanan. Bahkan rumah-rumah di perkotaan pun sudah sulit menampung kendaraan-kendaraan tersebut. Pekarangan kian menyempit. Ruang di dalam rumah pun demikian. Kendaraan banyak diparkir di bahu jalan, gang-gang, bahkan juga trotoar.
Jogja juga mengalami hal yang demikian itu. Ada ribuan kendaraan bermesin dari berbagi jenis masuk ke Jogja dalam setiap bulannya. Semua kendaraan itu, yang terus bertambah itu, tentu membutuhkan dukungan jalan yang memadai. Padahal hakikat keberadaan tanah tidak bisa diperlebar. Dukungan jalan yang terbatas mengakibatkan kendaraan harus antre. Antre menimbulkan kemacetan. Kemacetan menimbulkan stres atau ketegangan. Di samping tentu saja polusi udara dan suara.
Mestinya transportasi umum yang ada di masing-masing wilayah, lebih-lebih perkotaan mampu menjadi solusi bagi terselenggaranya mobilitas penduduk. Idealnya transportasi bisa tersedia dengan jam atau waktu-waktu yang terjadwal rapi dengan pelayanan yang baik dan tarif yang terjangkau. Akan tetapi tampaknya hal ini sulit terselenggara di Indonesia. Jakarta saja tidak bisa dikatakan sebagai berhasil dalam menata sistem transportasinya.
Tampaknya orang Indonesia memang punya ambisi kuat untuk memiliki kendaraan pribadi. Kebetulan produsen kendaraan memberikan kemudahan untuk memperolehnya. Kredit menjadi solusi gampang. Di samping itu, desain kendaraan juga sangat cepat berubah seperti desain pakaian saja layaknya. Konsumen (masyarakat Indonesia) terus diiming-imingi hal demikian. Bukan rahasia lagi, orang yang bisa membeli kendaraan bermesin (lebih-;ebih mobil) dikesankan sebagai naik gengsi sosialnya. Seolah lebih berkelas. Akibatnya mobil sering menjadi impian, tujuan demi pemenuhan rasa berkelas sosial tinggi. Mobil dicari bukan untuk fungsi tetapi untuk gengsi. Demikian pula dengan kendaraan jenis lain.
Akibatnya kendaraan kian banyak masuk dan tumpah ruah di Indonesia. Bukan rahasia lagi, sektor perdagangan kendaraan memberikan banyak masukan bagi berbagai instansi termasuk untuk urusan pajak, retribusi, dan komisi.
Tentu tidak salah punya keinginan membeli kendaraan pribadi. Tiap orang bisa beli sepuluh kendaraan pun tidak salah. Hanya saja perlu diingat, hal demikian sebenarnya turut mempersulit penataan transportasi umum. Mempersulit kelancaran lalu lintas bersama. Menyita ruang. Menambah polusi dan tentu saja, menambah biaya operasional yang tinggi (beaya ekonomi tinggi).
Pada jam-jam berangkat ke kantor/sekolah dan jam-jam kepulangan hampir selalu terjadi macet di perempatan jalan di Jogja. Hal demikian semakin hari semakin parah. Akan lebih parah lagi jika musim liburan/wisata. Ketika terjadi macet orang menjadi tegang dan tidak sabar. Gampang marah dan gampang melakukan tindakan ngawur yang melanggar ketertiban umum.
Pembuatan jalan baru tidak bisa dianggap sebagai langkah yang selalu bijak sebagai solusi mengatasi kemacetan. Sebab pembuatan jalan baru selalu diikuti dengan penyempitan, penyitaan, atau pengurangan lahan (ruang) lain. Sementara ruang terbatas, kendaraan terus bertambah tanpa kendali yang pada gilirannya juga akan menjadi sampah yang tidak mudah diurai.
Secara iseng Tembi mencoba menghitung-hitung. Ternyata satu deretan memanjang yang berisi 4 buah mobil jenis kijang dapat diisi dengan 7 x 2 jenis sepeda motor. Jadi ruang bagi 4 buah mobil kijang sesungguhnya dapat diisi 14 buah sepeda motor. Jika sepeda motor diisi 2 orang, maka ruang semacam itu dapat diisi 28 orang (berboncengan) plus 14 sepeda motor. Sementara 4 buah mobil kijang dapat berisi 32 orang jika masing-masing mobil diisi 6 orang penumpang (termasuk sopir).
Celakanya, tidak setiap mobil diisi penumpang dengan maksimal. Paling banter berisi 4 orang. Sementara sepeda motor (dalam jam-jam kerja) hampir selalu berisi 2 orang atau bahkan lebih. Bahkan tidak jarang mobil-mobil itu hanya berisi 1-2 orang saja. Artinya, hal ini tentu tidak efektif untuk mobilitas orang. Namun tampaknya bukan efektif atau tidaknya yang dipikirkan. Kenyamanan pribadilah yang dipikirkan. Sekaligus juga barangkali, prestise pribadi. Soal orang lain megap-megap dalam kemacetan dan kepanasan serta menghirup ria asap bukan urusannya (salah sendiri tidak beli mobil).
Demi melihat Jogja yang semakin hari semakin macet kita hanya bisa berpikir, kemacetan total dan kelimpahan polusi di Jogja hanya menunggu waktu.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- Grebeg Mulud Mengakhiri Tradisi Sekaten(08/02)
- 12 April 2010, Kabar Anyar - Kawruh Kebatinan(12/04)
- 3 Maret 2010, Yogya-mu - GEROBAK: KENDARAAN LANGKA DI JOGJA(03/03)
- Gema Perjuangan dalam Pameran Museum(08/12)
- TIGA CALON BERTANDING UNTUK MENJADI WALIKOTA YOGYA(12/09)
- Campur Bawur. Jilid 1(02/05)
- CACAH BENCAH-1 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-21)(24/11)
- BATIK (4), Motif-motif batik dalam upacara mitoni(16/12)
- Pentas Gegeroan Teater Kami Cinta Dan Perpisahan(01/09)
- 5 Maret 2010, Figur Wayang - Raden Rawan(05/03)