'Malam Jahaman' Motinggo Boosje
Tetapi, tampaknya, penafsiran dari ‘Malam Jahanam’ berusaha setia terhadap teks, sehingga pertunjukan tidak memberi warna dan setting panggung kelihatan di perkampungan kumuh, dan penonton seperti digiring untuk memahami perilaku jahanam hanya dilakukan oleh orang yang tinggal di perkampungan kumuh.
Solaiman dan Mat Kontan sedang berbincang
Satu lakon naskah berjudul “Malam Jahanam” karya Motinggo Boesje dipentaskan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM, Selasa 11 Desember 2012 dengan sutradara Nisby Sabakingkin. Pertunjukan ini merupakan rangkaian ‘sepekan Motinggo Boesje’ yang diselenggarakan oleh Dewan Teater Yogya.
Lakon ‘Malam Jahanam’ merupakan pertunjukan hari kedua. Hari pertama 10 Desember 2012 menampilkan lakon “Barabah’ dengan sutradara Liek Suyanto, dan selanjutnya, pada tanggal 28 Desember 2012 akan ditampilkan ‘Nyonya dan Nyonya” dengan sutradara Jujuk Prabowo.
‘Malam Jahaman’ dimainkan oleh 5 orang, tetapi kisahnya hanya berputar pada tiga tokoh utama, yaitu Mat Kontan (diperankan Bambang Ksr), Solaiman (dimainkan Dinar Saka) dan Paijah (diperankan Novi Pristiani Dewi).
Setting bangunan rumah bambu di dekat pantai memberikan kesan kuat sebagai perkampungan kumuh. Dua rumah yang berdampingan dan di belakangnya kegelapan menyelimuti. Diantara dua bangunan rumah ada jala ikan yang digantung. Sesekali Solaiman dan Mat Kotan memegang jala ikan, seolah hendak membawanya ke laut.
Mat Kontan mempunyai seoarang istri, bernama Paijah dan memiliki seorang anak yang masih kecil. Mat Kontan sering pergi meninggalkan istrinya. Tetapi Mat Kontan sangat mencintai istri dan anaknya. Kepada teman-temannya Mat Kontan selalu dengan bangga menceritakan tentang anak dan istrinya, meskipun teman-temannya ragu, bahwa Mat Kontan bisa mempunyai anak.
Paijah, istri Mat Kontan di rumah sering kesepian dan hanya ditemani anaknya. Tetangganya, Solaiman, sering menamani Paijah berbincang. Setidaknya, Paijah bisa mengusir rasa kesepian karena ditemani anaknya dan Solaiman. Suaminya, Mat Kontan, meski sangat mencintai istri dan anaknya, namun jika di rumah lebih memperhatikan burung-burung piaraannya.
Mat Kontan dan Paijah, istrinya sedang berdansa
Kehidupan keluarga Mat Kontan menjadi buyar ketika dia mendapati burung beo kesayangannya hilang dan ditemukan sudah mati. Mat Kontan marah dan mencari siapa yang membunuhnya. Bagi Mat Kontan, siapa yang membunuh burung beonya harus menerima nasib seperti burungnya.
Rupanya, Solaiman yang membunuh burung Beo itu. Mat Kontan tidak tahu. Solaiman merasa stress setiap kali mendengar burung beo mengeluarkan suara ‘jangan cubit aku, jangan cubit aku’ menirukan suara Paijah ketika digoda Solaiman.
“Man, kamu tahu, terakhir aku mendekati burung beoku dia bersuara ‘jangan cubit aku, jangan cubit aku’. Lucu sekali man,” kata Mat Kontan sambil mengenang burung beonya.
Wajah Solaiman tergagap. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan Mat Kontan.
Kisah dari ‘Malam Jahanam’ diakhiri dengan amarah Mat Kontan yang tidak bisa ditunda, karena akhirnya ia tahu, yang membunuh burung beonya adalah Solaiman dan, lebih marah lagi, rupanya anak Mat Kontan dan Paijah, adalah anak Solaiman. Mat Kontan mengejar Soleiman yang lari. Dia akan membunuh Solaiman, seperti dia telah membunuh burung beonya.
Akhir dari pertujukan ‘Malam Jahanam’, Paijah menjerit histeris karena mendapati anaknya meninggal.
“Anaku mati, anaku mati !!…..” teriak Paijah sambil berlari-lari.
Orang teater, apalagi teaterawan senior sudah tahu, bahwa naskah karya Motinggo Bosje tidak mudah dimainkan. Kisahnya sangat realis, sehingga memerlukan permainan watak yang kuat. Pada ‘Malam Jahanam’ memberikan kisah perbuatan jahanam yang dilakukan oleh tiga orang, yakni Paijah, Solaiman dan Mat Kontan. Bahkan, anak Paijah, demikan kata Solaiman, merupakan anak dari perbuatan jahanam antara Paijah dan Solaiman. Apalagi ayah Soleiman juga seorang jahanam.
Solaiman dan Paijah berselingkuh
Kisah perselingkuhan, setidaknya seperti kisah dalam ‘Malam Jahanam’ memang bisa ditemukan dalam kisah kehidupan keseharian, dan dilakukan oleh bermacam kelompok sosial termasuk dari kalangan menengah ke atas. Akan menjadi menarik, apabila penafsiran ‘Malam Jahanam” ketika dipentaskan pada era sekarang, diletakan pada konteks sosial yang lain, sehingga bisa memberikan imajinasi ‘yang baru’ dari pertunjukan lakon ini.
Tetapi, tampaknya, penafsiran dari ‘Malam Jahanam’ berusaha setia terhadap teks, sehingga pertunjukan tidak memberi warna dan setting panggung kelihatan di perkampungan kumuh, dan penonton seperti digiring untuk memahami perilaku jahanam hanya dilakukan oleh orang yang tinggal di perkampungan kumuh.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Pentas Baca Sastra Jawa di Tembi Rumah Budaya(20/04)
- Arep Tilik Mbak Fatimah(16/03)
- TULISAN HIMBAUAN DAN PROTES DI TEMBOK KOTA JOGJA(06/06)
- Landung Membaca Esai untuk Bol Brutu(03/02)
- 18 Nopember 2010, Situs - KISAH JURUKUNCI 35 SEJARAHE CUNTHEL(18/11)
- HIDUP DAN BENDA-BENDA(19/09)
- Denmas Bekel(28/07)
- Petilasan Gunung Permoni Tamansari Keraton Mataram Pleret (19/04)
- Tembi Rumah Budaya Finalis Citra Pesona Wisata 2011(30/09)
- 28 September 2010, Djogdja Tempo Doeloe - MALIOBORO TAHUN 1948(28/09)