Majalah Kebudayaan Yang Tak Lagi Ada

Majalah Kebudayaan Yang Tak Lagi Ada

Kita mengenal majalah kebudayaan yang pernah terbit di Indonesia, dan sekarang tidak terbit lagi. Atau yang masih terbit, tetapi berubah format seperti ‘Basis’. Majalah kebudayaan tersebut sempat mewarnai kehidupan kebudayaaan di Indonesia, dan ditulis dengan serius. Artinya, pemikiran kebudayaan untuk memberikan sumbangan pada kebudayaan di Indonesia.

Setidaknya kita pernah mengenal majalah ‘Budaya Jaya’ yang terbit ketika Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI dan Bang Ali memang mensuport perkembangan kebudayaan di Indonesia. Majalah itu, sekarang sudah tidak ada. Bahkan sudah lama ‘ Budaya Jaya’ tidak terbit. Ada juga majalah kebudayaan “Kalam’, yang menyebut dirinya sebagai ‘jurnal kebudayaan’. Di Yogya dikenal juga majalah “Basis’, yang sekarang masih terbit dan ganti format. Atau juga majalah kebudaayaan ‘Citra Yogya’ yang sudah menjadi masa lalu. Selain itu, ada majalah kebudayaan, yang menamakan diri sebagai majalah ‘sosial dan budaya’ dan juga sudah tidak lagi beredar. Di Bantul, ada satu majalah kebudayaan, yang menamakan diri sebagai ‘ Jurnal Kebudayaan’ yang dikenal dengan nama ‘Selarong’.

Majalah Kebudayaan Yang Tak Lagi Ada

Dari sejumlah majalah kebudayaan yang pernah kita kenal, baik yang terbit di Jakarta maupun di Yogya, kita bisa melihat, bahwa majalah-majalah tersebut meletakan pemahaman kebudayaan secara luas, sehingga kita bisa menemukan tulisan kebudayaan yang menyentuh bidang-bidang lain. Artinya, kebudayaan sebagai perspektif untuk melihat persoalan.

Di majalah ‘Basis’ edisi XL, Desember 1992, yang masih format kecil, dan kita perlu tahu, majalah ‘Basis’ sekarang masih terbit dengan ganti format lebih besar. Pada edisi ini Wiratmo Soekito, seorang pemikir kebudayaan menulis dengan judul ‘Transformasi Kebudayaan dalam Era Globalisasi”. Jadi, sudah 20 tahun lalu, Wiratmo Soekito melihat betapa globalisasi akan mempengaruhi perkembangan kebudayaan.

Selain berupa essai, yang bisa kita baca pada majalah kebudayaan yang pernah terbit pada masa lalu, kita juga bisa menemukan puisi atau cerpen. Namun tidak semua majalah kebudayaan memberi ruang pada cerpen, tapi memberi ruang untuk puisi. Misalnya, jurnal kebudayaan ‘Kalam’ memberi ruang pada puisi, tetapi tidak (selalu) menyertakan cerpen. Demikian juga jurnal kebudayaan “Selarong’ memberi ruang untuk cerpen, tetapi tidak pada puisi. Hal yang sama bisa kita lihat pada majalah sosial budaya Busos.

Majalah Kebudayaan Yang Tak Lagi Ada

Hampir bisa kita temukan, para penulis yang karya tulisnya bisa ditemukan di majalah-majalah kebudayaan, adalah mereka yang memang berpikir serius untuk kebudayaan. Barangkali karena, sebut saja terlalu serius, yang mungkin membuat majalah kebudayaan tirasnya tidak banyak. Hanya dicetak dalam jumlah terbatas, bahkan tidak sampai 3000 eks. Namun, meski dalam jumlah kecil, dan dibaca dalam kalangan terbatas pula, seringkali majalah kebudayaan menjadi rujukan, biasanya, walau tidak berumur panjang.

Pada majalah “Kalam’ edisi 6 tahun 1995, kita bisa menemukan beberapa penulis yang sudah dikenal luas, seperti A.Teuuw, Dhaniel Dhakidae, I Gusti Agung Ayu Putih, Subagyo Sastrowardoyo dan beberapa nama lainnya. Dhaniel Dhakidae pada edisi ini menulis dengan judul ‘Kesusastraan, Kekuasaan dan Kebudayaan Suatu Bangsa’. Kita kutipkan sedikit apa yang ditulis Dhanel Dhakidae di jurnal kebudayaan ‘Kalam’ dalam judul seperti di atas:

“…debat soal Pramudya adalah cermin dari kekalutan kebudayaan yang tengah berlangsung. Saya sudah berusaha membuka tabir kekalutan kebudayaan ketika kekuasaan itu masuk dan mengobrak-abrik seluruh tertib moral. Saya sudah berusaha untuk membongkar masalah kekalutan ketika kekuasaan itu masuk dan mengarahkan bahkan menentukan genre sastra bahkan seluruh dasar apresiasi seni pada umumnya dan tata sastra khususnya”. Bahkan medan kekuasaan sudah menjadi medan sastra dan medan sastra menjadi medan kekuasaan”.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta