Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Dedongengan Bab Beksan (Materi Giaran Apresiasi Tari RRI Yogyakarta)

26 Aug 2009 12:55:00

Perpustakaan

Judul : Dedongengan Bab Beksan (Materi Giaran Apresiasi Tari RRI Yogyakarta)
Penulis : Sumaryono
Penerbit : DKB + eLKAPHI, 2006, Yogyakarta
Bahasa : Jawa halus / krama inggil
Halaman : xxxix + 167
Ringkasan isi :

Buku berjudul Dedongengan Bab Beksan (Materi Giaran Apresiasi tari RRI Yogyakarta) ini disusun dari materi siaran apresiasi tari di RRI Yogyakarta dengan nara sumber Sumaryono penulis buku ini sendiri. Yang dibahas terutama adalah tari gaya Yogyakarta dan Surakarta.

Beksan/joged/tari tumbuh dan berkembang sejak jaman dulu sampai sekarang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan manusia. Joged atau tari adalah wujud atau bentuk suatu tarian yang dilaksanakan oleh seorang atau beberapa penari menurut aturan yang sudah ditentukan. Buku ini membahas tentang tari yang tumbuh dan berasal dari keraton maupun tari yang lahir dan tumbuh di luar keraton atau biasa disebut tarian rakyat. Keduanya bisa saja saling mengisi dan mempengaruhi. Artinya sering terjadi kebudayaan (baca: tari) di luar keraton diambil dan diolah menjadi satu dengan kebudayaan keraton. Demikian pula sebaliknya kebudayaan keraton sering “ditiru”, walaupun dngan suatu perbedaan karena pada masa dulu ada larangan untuk meniru persis kebudayaan kraton, dan dilaksanakan di luar keraton.

Tari gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta ini terjadi akibat Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Perbedaan gaya ini misalnya pada cara menari, ekspresi wajah, tata busana, lagu dan gamelan karawitan yang mengiringinya. Caranya menari dan tuntunannya juga berbeda karena sejarah dan tumbuh berkembangnya juga berbeda. Gaya Yogyakarta mempunyai tujuh hal sebagai dasar dan tuntunan tari yaitu wiraga, wirama, wirasa, sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh. Gaya Surakarta mempunyai delapan macam yaitu pacak, pancat, ulat, lulut, luwes, wilet, wirama, gemdhimg.

Tumbuh dan berkembangnya seni tari ini ternyata tidak hanya di keraton Kasultanan Yogyakarta dan keraton Kasunanan Surakarta, tetapi juga di keraton Kadipaten Mangkunegaran dan keraton Kadipaten Pakualaman. Masing-masing mempunyai corak/gaya tersendiri yang khas. Di keraton Kadipaten Mangkunegaran condong ke keraton Kasunanan Surakarta, sedang di keraton Kadipaten Pakualaman cenderung condong ke Kasultanan Yogyakarta. Tetapi setelah Mangkunegara VII menikah dengan putri Sultan Hamengku Buwono VII, tari di keraton Mangkunegaran mendapat pengaruh gaya Yogyakarta terutama tari putri. Demikian juga di Pakualaman, setelah Paku Alam VII menikah dengan putri Sunan Paku Buwono X (BRAy. Retno Puwoso) seni tarinya mendapat pengaruh gaya Kasunanan Surakarta.

Dengan demikian jelas bahwa keempat keraton tersebut menjadi penyangga kelestarian dan perkembangan tari Jawa klasik. Walaupun mempunyai gaya yang berbeda tetapi kesemuanya dapat dirasakan sebagai kelanjutan dari seni budaya Mataram. Hidup dan berkembangnya tari Jawa klasik di dalam keraton tersebut didukung oleh empu tari atau abdi dalem yang “dipersembahkan” kepada raja yang sedang bertahta. Oleh karena itu semua “ciptaan” tari baru kemudian disebut “yasan dalem” (ciptaan raja yang sedang berkuasa).

Seni tari baik yang berkembang di dalam keraton maupun di luar keraton (seni kerakyatan) berguna untuk memupuk rasa kepribadian dalam masyarakat. Kesenian (tari) rakyat bila diolah dengan baik akan melahirkan seni tari yang baik, sebaliknya walaupun berdasar tari klasik dari keraton bila tidak diolah dengan baik tidak akan melahirkan seni tari yang baik pula.

Dalam buku ini Sumaryono membahas tari tunggal yaitu tari Golek gaya Yogyakarta, tari Gambyong gaya Surakarta dan tari Gatotkaca Gandrung gaya Surakarta; tari Wireng dan Pethilan yaitu tari Lawung gaya Yogyakarta, tari Bandabaya gaya Pakualaman, tari Kethek Ogleng, dan tari Bambangan Cakil; sandiwara tari yaitu tari Topeng, tari Wayang Orang, Langen Mandrawanara gaya Yogyakarta dan tari Golek Menak. Tari bagi masyarakat Jawa diciptakan bukan hanya sebagai sekedar tontonan tetapi juga sebagi tuntunan, sebagai ajaran / piwulang agar orang mau mencari makna atau maksud di sebaliknya. Misal tari Golek menggambarkan seorang gadis yang menginjak dewasa sedang senang-senangnya berdandan sehingga tari Golek harus kelihatan menarik hati, luwes. Juga gambaran seorang gadis yang sedang mencari / nggoleki jati dirinya menuju alam kedewasaan. Tari Lawung menggambarkan suasana prajurit yang sedang berlatih perang, sehingga waktu dipergelarkan terlihat suasana yang patriotik dan heroik, mengandung nilai-nilai perjuangan Pangeran Mangkubumi yang didukung prajurit dari berbagai daerah. Hal ini tidak terlepas dari sejarah berdirinya keraton Yogyakarta. Tari Bambangan Cakil adalah tari yang menggambarkan kebaikan melawan kejahatan. Wayang Orang adalah sandiwara tari yang ceritanya meniru dari cerita wayang kulit, di dalamnya penuh ajaran-ajaran tentang hakekat dan makna hidup.

Tari Bandabaya diciptakan pada waktu KGPAA Paku Alam II menjadi raja di keraton Kadipaten Pakualaman. Tari ini diilhami dari kesenian rakyat daerah Madiun yang disebut “Gebug”. Langen Mandrawanara (penari menari dengan posisi jongkok) lahir dan berkembang di kalangan rakyat diilhami oleh kesenian kraton berupa wayang orang, diciptakan oleh KPH. Yudonegoro III.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta