Habiranda, Lestari Karena Ketulusan

Jika para dwijo ditanya setiap bulan digaji berapa? Pastilah mereka akan tersenyum. Paguron Habiranda ini, tidak untuk mencari uang, melainkan untuk ‘ngalap berkah’; berkahnya raja yang dapat mencukupkan kebutuhannya. Mereka, para dwijo khususnya, melakukannya sebagai tanda pengabdian yang tulus.

Sekolah dalang di Kraton Yogyakarta, Paguron Habiranda, foto: Herjaka
Widi Triyanto sedang membawakan adegan jejer

Paguron (perguruan) Habiranda akronim dari “hanindakake biwara rancangan dalang”, yang artinya kurang lebih adalah: melaksanakan proses belajar-mengajar bagi calon dalang wayang kulit purwa gaya Yogyakarta. Kegiatan ini bertempat di Pracimasono, lingkungan kraton Yogyakarta, di sebelah barat Sitihinggil. Sekolah dalang yang didirikan pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VIII tahun 1925 ini merupakan bentuk kepedulian kraton sebagai pusat kebudayaan dan kesenian untuk mengajarkan ilmu pengetahuan serta tekniknya dalam menerapkan pegelaran wayang gaya Yogyakarta secara baik dan benar, kepada masyarakat umum di luar kraton.

Pada malam hari Senin 10 Desember 2012 merupakan hari ketiga pendadaran siswa Paguron Habiranda. Pada malam itu tampil Widi Triyanto dari Dukuh Gadingharjo, Sanden Bantul; dan Rohmadi dari Blok O, Janti Yogyakarta. Mereka berdua membawakan satu lakon “Aji Narantaka” secara bergantian dengan durasi sekitar empat jam.

Lakon “Aji Narantaka” mengisahkan tentang kekalahan Gatotkaca ketika berperang tanding dengan Dursala, Anak Dursasana, orang nomor dua Kurawa. Sebagai ksatria sakti mandraguna, Gatotkaca merasa malu dikalahkan oleh Dursala yang masih tergolong anak kemarin sore dengan aji pengabaran dan aji gineng. Atas kekalahan itu Gatotkaca merasa bahwa kesaktiannya belumlah cukup, oleh karenanya ia perlu berguru untuk menambah ilmu. Maka kemudian dipilihlah Resi Seta yang masih kakeknya, d ipertapaan Suhini, lereng Gunung Ula-ulu, untuk berguru.

Gatotkaca memohon kepada Eyang Resi Seta agar diberi kesaktian untuk mengalahkan aji gineng yang dimiliki Dursala. Gatotkaca pun digembleng Aji Narantaka, yang diharapkan dapat meredam dan menghancurkan aji pengabaran dan aji gineng. Untuk mencapai tataran sempurna dalam menyerap ajian tersebut, Gatotkaca menjalani laku yang berat yaitu pertapa berpuasa dan bermati raga.

Sekolah dalang di Kraton Yogyakarta, Paguron Habiranda, foto: Herjaka
Rohmadi memainkan Petruk pada adegan gara-gara

Pada masa penggemblengan Gatotkaca digoda seorang wanita yang bernama Sempaniwati atau Galawati. Dinamakan Galawati karena ia digala atau dihamtam berkali-kali dengan aji Narantaka oleh Gatotkaca, tetapi tidak mati bahkan menjadi kuat. Oleh karena itu Gatotkaca berjanji kepada Sempaniwati bahwa nanti jika telah menuntaskan laku untuk menyempurnakan Aji Narantaka, Sempaniwati akan dijadikan istrinya.

Memang tepat perhitungan Resi Seta, Aji Narantaka yang diserap Gatotkaca dengan sempurna mampu bertahan terhadap aji pangabaran dan berhasil menghancurkan aji gineng.

Pada bagian pertama cerita “Aji Narantaka”, mulai dari jejer I sampai gara-gara dibawakan oleh Widi Triyanto. Sedangkan bagian dua mulai adegan gara-gara sampai tancep kayon atau selesai dibawakan oleh Rohmadi, keduanya siswa Habiranda kelas I angkatan Januari - Desember 2012.

Saat ini Habiranda mempunyai delapan siswa untuk kelas I, 10 anak untuk kelas II dan 5 anak untuk kelas III. Dalam belajar mendalang para siswa diwajibkan membayar Rp 50.000 setiap bulan. Dalam satu minggu siswa kelas I belajar tiga kali pertemuan, dan kelas II dan kelas III dua kali pertemuan, semuanya dilakukan pada malam hari. Para pengajar atau dwijo yang mendampingi mereka adalah: Bapak Warsita bagian karawitan dan suluk. Bapak Budi bagian ‘sabet’ atau cara memainkan wayang khusus kelas I, Bapak Sri Mulyana S.Sn bagian ‘caking pakeliran’ atau cara membawakan pegelaran wayang dan ‘sabet’ untuk kelas I dan kelas II, sedangkan untuk ‘sabet’kelas III diajar oleh Bapak Ki Cerma Suteja. Sebagai Kepala Pawiyatan Bapak Subarno BA, yang diberi gelar nama dari Kraton Kanjeng Raden Tumenggung Widya Kusuma.

Sekolah dalang di Kraton Yogyakarta, Paguron Habiranda, foto: Herjaka
Para dwijo dan siswa bersama-sama memainkan gamelan
mengiringi siswa mementaskan wayang

Selagi salah satu dari siswa tampil dalam pendadaran malam itu, para dwijo serta para siswa Habiranda menabuh gamelan untuk mengiringi pegelaran wayang tersebut. Mereka bahu- membahu melakukan hal itu dengan senang hati.

Jika para dwijo ditanya setiap bulan digaji berapa? Pastilah mereka akan tersenyum. Paguron Habiranda ini, tidak untuk mencari uang, melainkan untuk ‘ngalap berkah’; berkahnya raja yang dapat mencukupkan kebutuhannya. Mereka, para dwijo khususnya, melakukannya sebagai tanda pengabdian yang tulus.

Pengabdian yang tulus itulah yang membuat paguron Habiranda mampu bertahan hingga usia 87 tahun. Bahkan tidak mustahil ‘Hanindakake biwara rancangan dalang’ ini masih akan bertahan hingga ratusan tahun, jika semangat pengabdian yang tulus masih bersemayam di dalam hati para tokoh seni pedalangan.

Sekolah dalang di Kraton Yogyakarta, Paguron Habiranda, foto: Herjaka
Kedua calon dalang saling bantu dalam “ujian” pentas malam itu

Herjaka HS

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta