Konser Jay & Gatra Wardaya, Menikmati Puisi Melalui Alunan Musik

Tanda Hati – Sembilan Lukisan Kata & Nada’, berisi 9 komposisi musik yang diciptakan oleh Jay Afrisando yang kesemuanya berangkat dari puisikarya 9 penyair Indonesia, yakni Sindhunata, Ikun Sri Kuncoro, Rahne Putri, Aulia Halimatussadiah, Puspa Panglipurjati, Andi Gunawan, Suryawan Bayu Prasetyo, Lelaki Budiman, dan Terry Perdanawati.

konser launching album ‘Jay & Gatra Wardaya’, bertajuk ‘Tanda Hati – Sembilan Lukisan Kata & Nada’, <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/konser-jay-&-gatra-wardaya--menikmati-puisi-melalui-alunan-musik-5290.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, foto: Gardika Gigih Pradipta
Saat menyajikan komposisi "Ko Put On" puisi karya Sindhunata, begitu jenaka dan menarik

Alunan dawai-dawai biola dan cello yang dipetik berpadu dengan suara vokal yang hangat, sementara suara klarinet menimpali dengan melodi-melodi yang manis. Terjadilah sebuah interaksi musik yang hangat dan jenaka di Museum Tembi Rumah Budaya, Selasa malam, 22 Oktober 2013. Itulah ‘If I Were A Book’, salah satu komposisi yang dipentaskan dalam konser launching album ‘Jay & Gatra Wardaya’, bertajuk ‘Tanda Hati – Sembilan Lukisan Kata & Nada’. Komposisi ini berangkat dari puisikarya Aulia Halimatussadiah dan menjadi salah satu dari 9 komposisi dalam album baru ‘Jay & Gatra Wardaya’.

Honey, if I were a book
I would want you to be the autograph
Signed on the first page
So I can feel you, night and day

‘Tanda Hati – Sembilan Lukisan Kata & Nada’, berisi 9 komposisi musik yang diciptakan oleh Jay Afrisando yang kesemuanya berangkat dari puisikarya 9 penyair Indonesia, yakni Sindhunata, Ikun Sri Kuncoro, Rahne Putri, Aulia Halimatussadiah, Puspa Panglipurjati, Andi Gunawan, Suryawan Bayu Prasetyo, Lelaki Budiman, dan Terry Perdanawati.

Sejak terbentuk pada akhir 2011 Jay Afrisando, sang komponis dengan grupnya, Gatra Wardaya memang konsisten bergerak di jalur musikalisasi puisi. Gatra Wardaya sendiri diambil dari bahasa JawaKawi. Gatra berarti baris, tunas dan Wardaya berarti hati. ‘Jay & Gatra Wardaya’ mempunyai konsep unik bagi grup mereka dengan istilah artist collective, yakni sebuah kelompok terbuka tanpa ikatan personal tetap yang memungkinkan ruang kolaborasi terbuka lebar berdasarkan tafsir dari setiap puisi menjadi musik.

Konser launching album ‘Jay & Gatra Wardaya’ dibuka dengan komposisi ‘Sepakat Untuk Tidak Sepakat’ yang berangkat dari puisikarya Andi Gunawan. Menarik mencermati ‘Jay & Gatra Wardaya’ melukiskan puisiyang berisi ketidakadilan hukum ini menjadi bunyi musik yang sangat ilustratif melalui instrumen baritone saxophone yang dimainkan oleh Jay Afrisando sendiri, vokal, drumset, dan bass elektrik.

konser launching album ‘Jay & Gatra Wardaya’, bertajuk ‘Tanda Hati – Sembilan Lukisan Kata & Nada’, <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/konser-jay-&-gatra-wardaya--menikmati-puisi-melalui-alunan-musik-5290.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, foto: Gardika Gigih Pradipta
Jay Afrisando, sang komponis dengan grup Gatra Wardaya

Bubar sidang, hakim tua dan pejabat buncit melenggang asing menuju mobil masing-masing. Belum sampai parkiran, hakim tua berbalik arah. Ia lalu menekan sesuatu di kolong mejanya, disusul ledakan mobil si pejabat buncit.

Kemudian beranjak pada puisi penyair Ikun Sri Kuncoro yang berjudul ‘Nota 16 Maret 2010’. Jay menjelaskan bahwa dalam puisiini banyak imaji-imaji yang terbentuk oleh kata-kata seperti langit jingga, kota menjelma kunang-kunang, dongeng masa kecil, dan lainnya. Imaji-imaji inilah yang menjadi inspirasi untuk komposisi musik ‘Nota 16 Maret 2010’. Dibuka dengan lantunan merdu tenor saxophone, kemudian lantunan vokal berpadu dengan dentingan piano dan permainan drum yang lembut. Pada saat tibanya kata-kata dongeng masa kecil, bunyi petikan siter Jawadatang mengejutkan membentuk imaji bunyi yang baru.

Komposisi ketiga berangkat dari puisipenyair muda yang dikenal lewat antologi puisinya Sad Genic, yakni Rahne Putri. ‘Jika Rindu itu Peluru’, sebuah tafsir menarik dari Rahne tentang rasa rindu.

Jika rindu itu peluru. Kutembaki sendiri kepalaku, yang terlalu penuh kamu.

Jay & Gatra Wardaya kemudian menafsirkan puisimenarik ini dengan bahasa musik yang begitu khas. Kata kutembaki yang dinyanyikan oleh Cecillia Cati Wulandari, penyanyi jazz muda dari Kota Solo, diiringi ketukan yang rapat pada instrumen drum dan bass. Sekali lagi, ilustratif dan imajinatif.

Setelah ‘Jika Rindu Itu Peluru’, giliran ‘If I Were A Book’ dari puisiAulia Hallimatusadiah, penulis muda yang akrab disapa Ollie. Puisi ini menjadi satu-satunya puisiberbahasa Inggris dari 9 puisidalam album Jay & Gatra Wardaya.

‘Jika Sepi Mampir Ke Rumah’ dari puisikarya penyair muda, Puspa Panglipurjati menjadi repertoar kelima dalam konser.

Jika sepi mampir ke rumah, katakan aku sudah pindah.

Kubawa semua hingga tiada tersisa, juga kunci agar sepi tak masuk lagi.

konser launching album ‘Jay & Gatra Wardaya’, bertajuk ‘Tanda Hati – Sembilan Lukisan Kata & Nada’, <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/konser-jay-&-gatra-wardaya--menikmati-puisi-melalui-alunan-musik-5290.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, foto: Gardika Gigih Pradipta
Penonton antusias menyimak sajian Gatra wardaya

Bagi Jay Afrisando, puisiini begitu menarik karena sang penyair menempatkan sepi sebagai sesuatu yang hidup. “Bayangkan jika sepi bisa masuk kapan saja, tidur di pembaringan hingga pagi, dan menghabiskan kopi namun tak pernah ingin pergi. Pasti kita merasa jera,” begitulah paparan Jay.

Bagaimana puisiini dilukiskan dalam nada?. Ternyata Jay memilih format instrumen yang unik untuk mewakili si sepi. Hanyalah duet vokal dan bass elektrik yang hadir di panggung. Interaksi keduanya menjadi kuat, dengan pengulangan kalimat pada vokal yang semakin lama tensi emosinya semakin menguat beriringan dengan bebunyian frekuensi rendah pada bass elektrik.

Lalu setelah ‘Jika Sepi Mampir Ke Rumah’, tafsir musik atas puisikarya Sindhunata menjadi sajian unik berikutnya. ‘Ko Put On’, sebuah puisipanjang tentang kisah Put On, seorang Cina peranakan dari Betawi. Idiom gambang kromong menjadi bahan dasar Jay berkomposisi, terutama pada instrumen gitar elektrik. Aroma nada pentatonis yang identik dengan musik tradisional Cina sangat kental terasa pada melodi vokal, biola, saxophone, dan piano. Sedangkan drumset memberikan aksen-aksen perkusif yang menguatkan suasana ini. Musik yang begitu jenaka, berangkat dari puisiyang begitu jenaka pula.

Komposisi ketujuh, ‘Pada Sebuah Titik’ berangkat dari puisikarya penulis muda, Lelaki Budiman. Dalam puisiini, persepsi waktu dilukiskan oleh Lelaki Budiman dengan kuat.

Di saat yang sama, ingatan bergerak begitu cepat.

Menjelajah lorong-lorong yang tak lagi kita ingat.

Lalu bagaimana komposisi musiknya?. Menarik mencermati ritme drum yang begitu rapat, berpadu dengan melodi klarinet yang juga cepat. Sedangkan flugel horn yakni instrumen yang masih sekeluarga dengan instrumen tiup logam seperti trumpet, memainkan nada-nada panjang memegang kendali harmoni disonan. Bisa dikatakan bahwa pilihan instrumen dalam album ‘Tanda Hati’ begitu beragam.

Jay mengatakan bahwa tiap puisi ‘menuntut’ pemilihan instrumen yang pas untuk mewakili diri puisitersebut. Maka dari itu, di album ini ada 18 musisi yang terlibat dan semuanya melukiskan kata-kata puisimelalui instrumen masing-masing.

Komposisi kedelapan yakni ‘Sajak Sang Rumput’ berangkat dari puisikarya penyair muda, Terry Perdanawati. Puisi yang hangat dan romantik ditafsirkan dalam komposisi yang juga mewakilinya. Dibuka dengan dentingan merdu piano dan melodi lembut klarinet serta aksen-aksen ritmis tipis pada drumset dan kontrabas.

konser launching album ‘Jay & Gatrawardaya’, bertajuk ‘Tanda Hati – Sembilan Lukisan Kata & Nada’, <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/konser-jay-&-gatra-wardaya--menikmati-puisi-melalui-alunan-musik-5290.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, foto: Gardika Gigih Pradipta
CD Album Tanda Hati – Sembilan Lukisan Kata & Nada

Aku tidak perlu memujamu
Semesta sudah melakukannya
Di bawah temaram cahaya senja
Dan dengan indahnya lautan nada

Komposisi kesembilan, komposisi terakhir dalam album terbaru ‘Jay & Gatra Wardaya’ yakni ‘Karena Rasa Hanyalah Titipan’ berangkat dari puisikarya penyair muda pula, Suryawan Wahyu Prasetyo. Seringkali susah untuk menjelaskan bebunyian musik, namun komposisi ini benar-benar menjadi sajian penutup yang manis dalam konser launching album ‘Jay & Gatra Wardaya’, ‘Tanda Hati – 9 Lukisan Kata & Nada’. Saat ditemui selepas konser, Jay mengatakan bahwa “Sebenarnya tadi, kami sedang membacakan puisi untuk audien, melalui musik”.

Kalau begitu, hati ini pun rindu menunggu kembali ‘Jay & Gatra Wardaya’ membacakan puisimelalui lukisan nada.

Naskah dan Foto:Gardika Gigih Pradipta



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta