Perjalanan Hidup Pasangan GKR Hayu dan KPH Notonegoro Menurut Primbon
Gabungan weton GKR Hayu Sabtu Wage 13 dan KPH Notonegoro Kamis Kliwon 16, memberikan gambaran bahwa kehidupan mereka di kemudian hari disimbolkan dengan istilah wasesa segara. Artinya, kuat dan penuh wibawa. Bagaikan samudera nan tak bertepi, mahligai rumah tangga mereka akan mampu menampung segala hal yang baik dan yang buruk.
KPH Notonegoro
Pernikahan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu putri Sultan Hamengku Buwana X ke-4 dengan lelaki asal Kudus Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro akan menjadi prosesi adat pernikahan terakhir bagi putri Sultan. Bisa jadi juga sebagai catatan terakhir para sejarahwan dan pengamat kebudayaan Keraton Jawa. Bahkan mungkin akan menjadi catatan terakhir dari tradisi pernikahan agung putra-putri Keraton Yogyakartadi abad modern ini.
Jalannya prosesi hari pertama tanggal 21 Oktober 2013 berupa rangkaian acara Nyantri, Siraman, Majang Tarub, Tantingan dan Midodareni. Hari kedua tanggal 22 Oktober, rangkaian acara Ijab Kabul, Panggih dan Dahar Klimah serta Tampa kaya. Hari ketiga tanggal 23 Oktober, acara Pahargyan didahului kirab dan Pamitan.
Untuk keperluan kirab Kraton Yogyakartamenyiapkan 12 kereta kencana. Sultan Hamengku Buwana X beserta istri GKR Hemas akan naik Kereta Kyai Wimonoputra bersama rombongan KGPAA Paku Alam IX.
Dapat dipastikan jalannya kirab akan mendapat perhatian dari warga. Pasalnya ini peristiwa langka. Belumlah tentu 25 tahun ke depan warga Jogja dan juga Indonesia dapat melihat kembali prosesi semacam itu.
Bagi orang Jawa, pernikahan bukanlah sekadar perhelatan semata. Lebih dari itu mengandung makna dan juga simbol dari doa permohonan. Berbagai macam uba rampe dan tata cara pernikahan diperhitungkan dengan matang. Termasuk hitungan weton calon mempelai dan hari pernikahannya. Lantas, bagaimana peruntungan GKR Hayu dan KPH Notonegoro menurut penulis Primbon Jawa?
Gabungan weton GKR Hayu Sabtu Wage 13 dan KPH Notonegoro Kamis Kliwon 16, memberikan gambaran bahwa kehidupan mereka di kemudian hari disimbolkan dengan istilah wasesa segara. Artinya, kuat dan penuh wibawa. Bagaikan samudera nan tak bertepi, mahligai rumah tangga mereka akan mampu menampung segala hal yang baik dan yang buruk. Harmoni keluarga akan berjalan dinamis dan penuh kreativitas.
GKR Hayu
Jika kedua nama gelar tersebut digabungkan akan melahirkan istilah nata hayu. Berarti menata kehidupan. Tak hanya kehidupan rumah tangga tapi kehidupan dalam arti lebih luas, menjangkau luar tembok istana.
Namun demikian, dalam soal rexeki, nantinya akan berada di kisaran angka 7 dari skala 10. Bisa naik menjadi delapan jika saja GKR Hayu pandai mengatur keuangan keluarga. Pasalnya KPH Notonegoro cenderung kurang pandai dalam soal penggunaan uang.
Sementara itu berkait jumlah momongan yang sudah barang tentu berpengaruh pula pada kehidupan, cukup memiliki momongan tiga saja. Laki-laki 2 dan satu perempuan.
Karena jalannya perkawinan rawan perceraian, salah-satu harus lebih banyak mengalah agar laju bahtera rumh tangga tak berhenti di tengah-tengah alun kehidupan.
Jika dilihat dari nama nurabra juwita, GKR Hayu laksana pijar cahaya yang membawa kesejahteraan. Sedangkan dari karakternya laksana air yang mengalir. Senang membawa warta gembira serta pandai mengumpulkan uang. Namun banyak orang menaruh rasa tidak suka, karena tutur katanya kadang terasa tajam dan kaku.
Adakalanya, karakter tersebut mengisyaratkan sifat hewan piaraan yang penurut, namun kadang sulit diatur juga. Tampak angkuh, namun sebenarnya berhati baik.
Sedangkan nama Angger Pribadi Wibowo memberi gambaran KPH Notonegoro sosok yang disegani. Tertib hukum dan peraturan. Dari karakternya, laksana bayu. Jarang berterus-terang karena tak mau kelihatan keburukan atau kelemahannya.
Tanpa disadari kadang muncul watak iri hati pada keberhasilan dan kebaikan orang lain, namun bukan dalam pengertian buruk. Pasalnya rasa iri itu menjadi pelecut semangat dalam dirinya untuk lebih keras dalam berusaha mencapai keberhasilan. Layaknya bangsawan suka disanjung dan selalu taat kepada atasan.
Ada satu hal harus diingat, adanya dampak buruk dari karakter air dan angin. Air yang mengalir normal bisa berdampak baik karena bisa membawa ketenangan. Laksana air telaga nan tenang dengan riak-riak kecilnya. Tetapi dapat juga berakibat buruk jika alirannya berubah menjadi banjir.
Demikian juga dengan angin, jika bertiup semilir akan menyejukkan rasa. Namun jika berubah jadi angin topan tentu tidak menguntungkan bagi kehidupan.
Untuk mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan, penulis buku Primbon Jawamenyarankan supaya keduanya sesering mungkin sedekah keris dan beras merah. Artinya memberi sesuatu yang berharga.
Pasangan ini melahirkan istilah Nata Hayu
Tidak cukup hanya harta. Lebih baik lagi jika disertai laku prihatin serta peduli terhadap nasib sesama. Atau bisa juga dengan sarana tolak bala menggelar wayang kulit, mengambil lakon Sembadra Larung. Dalam artian GKR Hayu maupun KPH Notonegoro melabuh atau menambatkan cinta hanya pada pasangan untuk selamanya.
Hugo M Satyapara
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Untuk Kesekian Kalinya SMAN 1 Temanggung Berkunjung ke Tembi Rumah Budaya(09/10)
- Rindu Kerukunan dari Romo Sindhu dan Gus Mus di Balik Tablig Seni Rubuh-rubuh Gedhang(08/10)
- Singapore International School Jakarta Seharian Penuh Belajar Budaya Tradisional di Tembi(07/10)
- Ulang Tahun ke-50 Nasirun, yang Tidak Pernah Berulang Tahun(05/10)
- P!nk, Tubuh Indah Wanita(03/10)
- PT Sampoerna Belanja Bumbu Dapur di Pasar Tradisional Bantul(03/10)
- Beradu Kepiawaian Menanak Nasi Pulen dengan Tungku Keren(02/10)
- Peci Gus Dur untuk Jokowi, Simbol Perpindahan Wahyu Keprabon?(01/10)
- Jagongan Wagen di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja Hadirkan NurUni Rupa(01/10)
- Sesaji Raja Suya di Pendapa kompleks Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta(28/09)