Keseimbangan Hidup Vertikal dan Horisontal: Tujuan Manusia Jawa

Keseimbangan Hidup Vertikal dan Horisontal: Tujuan Manusia Jawa

Secara umum, pemahaman nilai dalam sebuah peristiwa upacara adat di Jawa dapat dikaitkan dengan harkat kemanusiaan manusia Jawa. Harkat kemanusiaan manusia Jawa adalah upaya pencapaian hidup haruslah seimbang baik secara vertikal dan horisontal. Nilai ini merupakan bentuk atau wujud keseimbangan kosmologis berupa hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan sesamanya.

Kehadiran sebuah peritiwa upacara adat akan mengaitkan salah satu atau bahkan lebih di antara nilai yang diinginkan dari tujuan peristiwa upacara adat. Budaya upacara adat sebagai produk manusia merupakan salah satu pernyataan simbolis dengan kehadiran piranti-piranti yang menyertainya, seperti sesaji, syarat-syarat pelakunya, hari dan pilihan waktu serta tempat pilihannya.

Secara implisit manusia Jawa sebagai makhluk simbolis mempraktikkan sebuah kesadaran harmoni. Dalam keyakinan tertentu apabila sebuah upacara adat tidak terlaksana sebagaimana keinginan masyarakat setempat, maka hal itu bisa dianggap sebagai tidak sesuai juga bagi keinginan para leluhur. Makna keseimbangan harmoni itu dalam masyarakat kita seringkali dimaknai sebagai keseimbangan mikro kosmos dengan makro kosmos atau jagad gedhe dengan jagad cilik. Sebuah risiko akan menyebabkan kekacauan atau malapetaka dan sejenisnya, jika upacara adat tidak terlaksana dengan baik. Demikian antara lain paparan RM. Pramutomo (Dosen ISI Surakarta) dalam acara “Workshop SDM Bentara Upacara Adat 2012” yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY pada Rabu (18/4) lalu di Wisma Melati Yogyakarta.

Keseimbangan Hidup Vertikal dan Horisontal: Tujuan Manusia Jawa

Sementara itu, H. Abdul Muhaimin, pembicara yang sekaligus seorang kyai ini dalam makalahnya berjudul “Menemukan Ruas Sambung Agama dan Budaya”, antara lain mengatakan bahwa strategi budaya yang dirancang para Wali mendasarkan pada kaidah “Al-muhafadzoh bi assalafi sholih wal akhdzu bil jadid al Ashlah” (menjaga kebaikan para leluhur serta mengadopsi modernitas yang lebih baik). Visi keagamaan para Wali tersebut, terbukti mampu menjaga keharmonisan hubungan agama dan budaya menuju terwujudnya kondisi keagamaan yang menaruh penghargaan terhadap keanekaragaman budaya dan pluralitas masyarakat.

Lanjutnya, pada dasarnya formulasi Islam yang dirancang para Wali tidak pernah melakukan upaya penetrasi dalam bentuk apapun, tidak pernah menggusur jasa-jasa, situs sejarah, khazanah pemikiran dari para pendahulunya. Dalam ungkapan kultural Sunan Kalijaga bertutur kepada para cantriknya agar berpedoman pada pesan beliau “Jebeng, Arabe garapen, Jawane gawanen” artinya agar Islam agama yang datang dari Arab digarap menjadi sempurna, tetapi budaya Jawa harus tetap dilestarikan. Bingkai keagamaan kultural semacam itu pada akhirnya melahirkan citarasa keagamaan yang ramah dan menyatu dengan budaya lokal.

Dalam sambutan tertulis dari Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY yang dibacakan oleh Dian Anggraeni (Kabid Tradisi, Seni, dan Film), mengatakan bahwa tradisi upacara adat dan berbagai macam upacara tradisi lainnya yang ada di DIY merupakan aset budaya daerah, sekaligus aset budaya bangsa yang mempunyai nilai amat tinggi. Maka kekayaan itu harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda. Diwariskan dengan maksud menjaga kelestarian upacara adat agar tetap lestari di bumi pertiwi yang kita cintai ini agar tidak punah.

Keseimbangan Hidup Vertikal dan Horisontal: Tujuan Manusia Jawa

Perlu dilestarikan karena berbagai tradisi upacara adat itu merupakan sarana komunikasi yang sangat strategis dan efektif, untuk menjaga jalinan persatuan dan kesatuan NKRI. Di samping itu, jika masyarakat terutama para generasi muda terus diberikan pemahaman tentang tradisi upacara adat, imbasnya juga sangat positif, generasi muda akan lebih mencintai seni dan budaya tradisi kita sendiri daripada seni dan budaya mancanegara yang cenderung bertentangan dengan norma dan budaya bangsa Indonesia.

Acara Workshop berjalan dua hari hingga Kamis (19/4). Selain diisi dengan pemaparan makalah, kegiatan juga diisi dengan praktek seni tari dan musik, dengan nara sumber Tri Irianto dan Pardiman Joyonegoro. Peserta sendiri berasal dari para pelaku budaya dari 5 kabupaten/kota di Provinsi DIY. Masing-masing kabupaten/kota diwakili sekitar 8 peserta, terdiri dari 2 kelompok pelaku adat tradisi. Kelompok dari Kabupaten Kulon Progo diwakili dari daerah Bugel, Panjatan dan Kecamatan Jatimulyo; Kabupaten Sleman diwakili kelompok dari Sendangtirto, Berbah dan Margo Agung, Seyegan; Kabupaten Gunung Kidul dari Bobung, Patuk dan Bejiharjo; Kabupaten Bantul berasal dari kelompok Sokowaten dan Wonolelo Bantul; sementara kota Yogyakarta berasal dari kelompok komunitas pinggir Sungai Winongo. Beberapa kelompok adat tradisi tersebut rencananya di bulan Juli mendatang akan menampilkan adat tradisi bertempat di Alun-Alun Utara Kraton Yogyakarta dalam acara Festival Bentara Upacara Adat.

Keseimbangan Hidup Vertikal dan Horisontal: Tujuan Manusia Jawa

Suwandi




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta