Tembi

Berita-budaya»KEMBALI KE JOGJA MEMBACA SASTRA

13 Dec 2011 08:18:00

KEMBALI KE JOGJA MEMBACA SASTRASastra Bulan Purnama edisi ke 3, yang jatuh pada Minggu (11/12) lalu mengambil tema ‘Kembali Ke Jogja Membaca Sastra’. Tema ini diambil untuk menandai para sastrawan yang pernah berproses di Jogja, sejak mulai tahun 1970-an, yang kemudian meninggalkan Jogja dan bertempat tinggal di kota-kota lain. Yang tampil pada ‘Sastra Bulan Purnama’ edisi ini adalah para kreator sastra yang aktif sampai tahun 1990-an di Jogja dan sekarang tidak lagi tinggal atau menetap di Jogja. Mereka adalah Eko Tunas (Semarang), Veven Wardhana (Jakarta), Amron Trisnardi (Jakarta), Bramantyo Prijosusilo (Ngawi), Andrik Purwasito (Solo), Sri Wintala Ahmad (Cilacap), Teguh Ranusastra Asmara, Sutirman Eka Ardana (Yogya), Erick Indranatan (Kediri), tiga yang tidak sempat hadir dan sudah mengirimkan puisinya Nana Ernawati (Jakarta), Ahmad Subbanuddin Alwy (Cirebon), Wanto Tirto (Purwokerto). Selain itu ada dua penampil dari mahasiswa jurusan sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

KEMBALI KE JOGJA MEMBACA SASTRAPara penampil tidak hanya membacakan puisinya, tetapi ada yang ditafsirkan secara lain, misalnya Andrik Purwasito yang menulis puisi rupa, mendramatisasi puisinya, sehingga ia tidak sekedar membacakan, melainkan mengolahnya secara lain.

Eko Tunas, selain membacakan puisi-puisinya, juga dinyayikan oleh kelompok ‘Surau Kami’. Sehingga, silih berganti, antara dibacakan dan dinyanyikan. Setelah Eko Tunas membacakan puisinya, kemudian dinyanyikan oleh kelompok ‘Surau Kami’.

Sebagai penyair yang lama berproses di Jogja dan masuk dalam pergaulan Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi, tidak lupa Eko Tunas membacakan puisi karya Umbu yang berjudul ‘Apa ada angin di Jakarta’. Puisi ini seperti puisi wajib bagi komunitas PSK. Puisi karya Umbu Landu Paranggi ini, tahun 1980-an seringkali dinyanyikan oleh Deded El Moerad.

KEMBALI KE JOGJA MEMBACA SASTRAAda suasana lain dalam ‘Sastra Bulan Purnama: Kembali Ke Jogja Membaca Sastra’, karena cerpenis Veven Wardhana membacakan cerpen yang berjudul ‘Purnama di Kanal De Rijn’ dengan disertai menayangkan gambar-gambar untuk mewujudkan visual dari cerpennya.

“Saya ini bukan penyair, karena tak satupun saya punya puisi yang pernah saya tulis. Yang saya punya cerpen. Maka, ketika saya diminta mengirim puisi, saya tidak bersedia, dan akhirnya, saya diminta mengirim cerpen’ kata Veven mengawali sebelum membacakan cerpennya.

Visual-demi visual yang ditayangkan disertai membacakan cerpennya, sepertinya Veven sedang bercerita. Rasanya, ini adalah tafsir lain dari membaca karya sasra dalam hal ini cerpen.

Penyair Jogja yang (di-)tampil(-kan) dua penyair senior. Satu orang penyair angkatan pertama, Teguh Ranusastra Asmara, dan penyair satunya generasiKEMBALI KE JOGJA MEMBACA SASTRAsesudahnya, ialah Sutirman Eka Ardana. Setidaknya, dua penyair ini mewakili dua generasi yang berbeda dan sekaligus untuk menunjukkan, bahwa masih ada penyair yang terus berproses dan tidak meninggalkan Jogja.

Lain lagi dengan Erick Indranatan, penyair seangkatan Sutirman Eka Ardana, meski sudah meninggalkan Yogya, tetapi tidak bisa melupakan Yogya. Karena ada banyak hal yang bisa dikenang dari Yogya.

“Saya seperti tidak bisa lari jauh dari Yogya, sehingga ketika saya diminta untuk menghadiri acara kesenian di Yogya, saya merasa diajak kembali ke Yogya” kata Erick.

Bramantyo Prijosusilo, dari Ngawi, yang pernah aktif di Bengkel Teater, tidak ketinggalan ikut membacakan karya-karyanya. Dengan intonasi suara mantap, membuat puisi yang dibacakan semakin terasa kuat.

Sri Wintala Ahmad, yang sejak siang sudah sampai Yogya, karena berangkat dariKEMBALI KE JOGJA MEMBACA SASTRACilacap jam 05 pagi membacakan puisi suluknya, ialah puisi yang diberi judul, misalnya ‘Suluk Bisma’, ‘Suluk Distarata’ dan ‘Suluk Srikandi’.

Amron Trisnardi, yang lama tinggal di Jakarta dan lebih banyak bergelut dengan skenario televisi, sudah sejak jum’at sore datang ke Yogyakarta, tampil secara bersahaya dengan membacakan puisi-puisnya yang diberi judul ‘Sajak-Sajak Dulmakin Tentang Oida’:

“Pulanglah Oida

“Ke rumahku?

“Ke bola matamu”

“Mestinya, malam ini saya membaca skenario, karena yang banyak saya hasilkan belakangan ini naskah skenario, tetapi malam ini untuk acara sastra khususnya puisi dan cerpen, maka saya membacakan puisi” kata Amron.

Meski Nana Erwati tidak hadir, tapi puisinya dibacakan oleh penyair perempuan lain, ialah Umi Kulsum dan actor Genthong Hariono Selo Ali.

Sastra Bulan Purnama edisi ketiga ini, sungguh diwarnai bulan purnama yang bulat dan langit bersih.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta