Negeri Korupsi


Negeri KorupsiSetiap hari, kapan kita membaca berita, selalu tidak lepas dari berita korupsi. Kita seperti diberitahu, bahwa negeri kita adalah negeri korupsi. Para elit politik dan para pejabat, dari pusat maupun daerah, tidak lepas dari perilaku korupsi. Kita menjadi gelisah tinggal di negara yang sudah terbiasa dengan korupsi. Hukum tidak menindak perilaku korupsi dengan tegas, malah sebaliknya bisa ‘dibeli’ sehingga meringankan, atau malah membebaskan dari segala tuduhan.

Yang paling sedih, pada tingkat desa, atau bahkan dusun, kita bisa ‘melihat’ bagaimana pemimpin tingkat lokal itu melakukan korupsi, meski kecil skalanya, tetapi menunjukkan kalau bangsa kita tidak terbebas dari korupsi. Satu pengalaman kecil, di satu dusun, ketika saya hendak memita surat pajak bumi dan bangunan yang masih dipegang kepala dusun, karena untuk kepentingan balik nama. Kepala dusunnya meminta uang, kalau tidak diberi, surat pajak bumi dan bangunan tidak diberikan. Dan sampai hari ini, karena saya tidak mau memberi uang, surat pajak bumi dan bangunan tidak diberikan. Suatu hal yang ironis tentu: rakyat mau membayar pajak ‘dipersulit’. Maka, kalau kemudian memilih tidak membayar pajak, tentu bukan salah warga masyarakat itu sendiri. Tetapi, sistem pembayaran pajak yang ‘menghalangi’ warga untuk mudah membayar pajak.

Cerita kecil di atas, sekedar untuk menunjukkan, bahwa kita tinggal di negeri korupsi. Seolah masyarakat ‘dipaksa’ untuk mendukung korupsi meski dalam skala kecil, seperti pungli di jalan-jalan dan sejenisnya.

Pada tingkat yang lain, kita merasa tertegun ketika mendengar harga satu kursi di DPR seharga Rp 24 juta. Apakah harga kursi menunjukkan hasil kerja yang maksimal? Artinya, produk perudangan yang dihasilkan oleh DPR sungguh-sungguh untuk kepentingan warga masyarakat, bukan hanya mengatasnamakan masyarakat, tetapi sebenarnya untuk kenpentingan kelompok lain. Mengherankan sebenarnya, apabila wakil rakyat dalam bekerja tidak berangkat dari kepentingan yang diwakili, malah sebalikanya, seringkali alpa terhadap rakyat yang sudah memberi mandat.

Negeri KorupsiPada akhirnya, rakyat sudah tahu, wakil rakyat sebenarnya tidak mewakili kepentingan rakyat, melainkan lebih untuk kepentingan partainya, yang seolah ‘membela rakyat’. Kita seringkali mendengar berita, partai tidak membela kepentingan konstituennya, meskipun anggota partai yang menjadi wakil rakyat seringkali ‘mengastanamakan’ konstituennya untuk mendapatkan anggaraan dengan istilah macam-macam.

Dalam keseharian, warga masyarakat, sesungguhnya menjalani hidupnya dengan caranya masing-masing. Mereka menjaga kelangsungan hidupnya dengan bekerja dan mendapatkan imbalan ala kadarnya demi untuk menyambung hidupnya. Seorang tukang becak, setiap hari mengayuh becaknya untuk mendapatkan uang beberapa ribu, tidak sampai lima puluh ribu. Tetapi, para elit partai, elit politik lainnya, para pejabat, bisa mendapatkan uang milyaran rupiah dengan cara mengambil prosentase dari proyek APBN. Kasus pembangunan Wisma Atlet, yang menempatkan Nazarudin menjadi tersangka, ternyata melibatkan banyak orang yang memiliki jabatan di pemrintahan dan partai.

Kita punya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), artinya kita harapan terhadap lembaga ini untuk membersihkan korupsi, meski kita sering mendapati pengadilan Tipikor membebaskan tersangka korupsi. Kita sering melihat, elemen masyarakat mendatangi kantor KPK untuk menuntaskan kasus-kasus koru psi besar, meski hal seperti itu belum memuaskan hasilnya. Setidaknya, melalui KPK kita masih mempunyai harapan untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi.

Kita juga tahu, korupsi tidak pernah dilakukan sendirian, selalu berkaitan dengan jaringan. Dalam kata lain, jaringan korupsi sudah seperti mafia.

Seperti dalam film mafia, para lingkaran mafia bergerak untuk membebaskan dirinya, dengan cara mengorbankan yang lain, atau malah menjaga lingkaran mafia untuk tidak tersentuh hukum.

Negeri kita bukan negeri mafia, tetapi kita sering mendapati, persoalan korupsi tidak tuntas jika menyentuh para elit. Hukum di Indonesia hanya berfungsi untuk memukul maling ayam, pecuri kokain, sandal jepit dan sejenisnya.

Ah, kita seperti sedang hidup di dunia film mafia.

Ons Untoro

Foto download dari google




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta