- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Bale-dokumentasi-aneka-rupa»DHAKON
21 Apr 2009 10:03:00Ensiklopedi
DHAKON
Bagi masyarakat Jawa, khususnya bagi kalangan anak-anak perempuan periode tahun 1970-an dan sebelumnya, permainan dhakon mungkin sudah tidak asing lagi. Permainan tradisional ini merupakan bagian dalam dunia bermain mereka, terutama di wilayah pedesaan. Dhakon kayu dengan ukiran juga banyak dijumpai, terutama di kalangan kraton yang dimiliki oleh para ningrat dan bangsawan Jawa. Memang, mainan dhakon ini menjadi salah satu mainan favorit anak perempuan dari kalangan ningrat dan bangsawan kraton. Namun sayang, permainan tersebut lambat laun mulai tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang seiring dengan perkembangan zaman.
Walaupun begitu, bukan berarti alat dhakon sudah tidak ada di masa kini. Masih banyak dijumpai dhakon di masyarakat Jawa saat ini. Namun fungsi utamanya sudah berubah. Sangat jarang anak perempuan sekarang bermain dhakon. Jika ada dhakon di masyarakat, lebih berfungsi untuk hiasan, asesoris rumah agar tampak njawani atau bisa jadi sudah masuk koleksi museum.
Dhakon yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah congklak, sebenarnya dapat menyebut ke alat permainan itu sendiri maupun ke nama permainannya. Jika “dhakon” menunjuk ke alatnya, maka “dhakonan” lebih menunjuk ke bermain dhakon. Pada umumnya, dhakon dibuat dari bahan sebilah kayu dengan panjang sekitar 50 cm, lebar 15-20 cm, dan tebal sekitar 4-5 cm. Kayu yang dipakai pun bebas jenisnya, yang penting mudah dilubangi (tidak sampai tembus, hanya sekitar 2 cm, bentuknya cekung). Bentuk kayu lebih ke bentuk persegi empat dengan kedua sisi ujung sering dibentuk setengah lingkaran. Lalu, kedua sisi memanjang dibuat lubang berpasangan berjumlah sekitar 3-7 buah. Sementara di kedua ujung juga dibuat lubang cekung agak besar jika dibanding dengan lubang-lubang di sisi kanan kiri. Sehingga total lubang cekung dalam sebuah dhakon antara 8-16 buah.
Namun bisa jadi, dhakon tidak dibuat dari kayu, namun bisa dibuat dengan melubangi tanah yang agak keras dengan batu. Jumlah lubang cekungnya bisa sama dengan dhakon yang terbuat dari kayu. Dhakon dari tanah dibuat jika memang si anak yang hendak bermain dhakon tidak mempunyai alat dhakon dari kayu. Memang semua anak zaman dulu belum tentu mempunyai alat dhakon kayu. Maka, cara praktis adalah dengan membuat cekungan pada tanah yang agak keras.
Bahan lain yang sekarang banyak dipergunakan untuk pembuatan dhakon adalah dari plastik. Dhakon plastik banyak dijumpai di toko-toko mainan, di swalayan, di pasar tradisional, atau di pasar-pasar malam. Dhakon plastik lebih enteng atau ringan jika dibandingkan dengan dhakon kayu.
Sementara alat lain yang dipakai adalah kecik atau biji buah sawo, sawo manila, srikaya, tanjung, dan sejenisnya. Bisa juga memakai butiran batu krikil yang berukuran kecil, sebesar kecik.
Dhakon biasa dipakai oleh anak perempuan. Sebelum bermain, maka setiap lubang dhakon yang berukuran kecil awalnya harus diberi kecik dengan jumlah yang sama, misalnya 6 buah. Maka untuk 5 lubang dikalikan 2 sisi dikalikan 6 kecik, dibutuhkan 60 kecik. Untuk banyaknya kecil setiap lubang bisa menjadi kesepakatan anak yang akan bermain dhakon. Kemudian anak yang akan bermain dhakon mengawali dengan “sut” untuk mencari pemenang. Pemenang akan mengawali untuk bermain duluan. Ia bebas untuk memilih lubang awal untuk kemudian diambil keciknya, kemudian dibagi ke lubang di sisi kanannya. Setiap lubang diberi satu, termasuk lumbungnya yang berada di sebelah kanan. Lalu setiap lubang milik lawan juga diberi jatah satu. Ketika kecik terakhir dijatuhkan pada lubang yang masih berisi kecik lainnya, maka ia akan terus memainkan permainan. Begitu seterusnya kembali ke lubang yang ada di sisi pemain. Lubang lumbung milik lawan tidak diberi kecik. Jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir pada lubang yang tidak ada keciknya, maka ia dianggap berhenti bermain dan dilanjutkan ke lawan bermain. Demikian selanjutnya, hingga lubang-lubang kecil kosong keciknya. Permainan dhakon juga mengenal nembak dan mikul. Nembak berlaku jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir di lubangnya sendiri, sementara lubang di hadapan sisi lawan ada keciknya, maka dikatakan nembak. Dikatakan mikul, jika saat menjatuhkan kecik terakhir di sisi lawan, di kanan kiri ada keciknya.
Jika seseorang mengungguli lawannya dalam perolehan kecik, maka ia dianggap menang. Kemudian permainan bisa dilanjutkan lagi hingga beberapa kali putaran atau sampai titik jenuh.
Ada pelajaran berharga dari bermain dhakon, di antaranya adalah rasa jujur dan melatih kecerdasan berhitung. Kejujuran permainan ini adalah mutlak. Sebab tanpa didasari rasa jujur, seseorang yang bermain dhakon akan curang sehingga merugikan orang lain. Ketika tidak didasari rasa jujur, maka saat kecik terakhir hendak jatuh pada lubang kosong tanpa kecik, ia pasti akan menjatuhkan kecik itu pada lubang sebelumnya yang ada keciknya. Atau bisa jadi, lumbungnya sendiri akan lebih diisi satu kecik dalam satu putaran. Banyak cara untuk berbuat curang jika tidak dijiwai dengan rasa jujur. Maka ketika rasa curang sering muncul, biasanya seseorang itu akan dijauhi oleh temannya bermain.
Selain itu tentu saja permainan dhakon juga membutuhkan kecerdasan berhitung, seperti di saat memasukkan kecik di setiap lubang maupun saat menghitung biji kecik di saat permainan satu babak usai. Jika tidak pandai berhitung, tentu akan membuat lawan bermain mengakalinya. Maka kecerdasan berhitung memang diperlukan dalam permainan dhakon.
Memang pada umumnya permainan tradisional lebih menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai budi pekerti, seperti rasa kejujuran pada permainan dhakon atau nilai-nilai lain yang tentu akan dimunculkan pada permainan-permainan tradisional lainnya. Selain itu, pada permainan tradisional pada umumnya juga melibatkan rasa sosial yang tinggi, melibatkan dua orang lebih, dan bukan bersifat individual. Juga biasanya permainan anak tradisional, bahan baku alat langsung diperoleh dari lingkungan alam sekitarnya tanpa melalui proses pengolahan pabrik. Kreativitas anak biasanya lebih dominan dalam permainan tradisional, karena anak dilatih untuk membuat sendiri alat-alat permainan tersebut.
Teks dan foto : Suwandi
Artikel Lainnya :
- PAK POS DI MASA KOLONIAL BELANDA(23/06)
- WARUNG MAKAN ETNIK DI YOGYAKARTA(01/01)
- Wuku Watugunung(14/04)
- Gugun Blues Shelter Kenalkan Musik Modern Indonesia Pada Dunia(10/10)
- PESANGGRAHAN AMBARBINANGUN 1895 DAN 2010(25/05)
- Kyai Slamet, Abdi Setia Sultan Agung(31/01)
- SENI RUPA DAN CERPEN(22/11)
- Mengingat (-Ingat) Terus Yang Dilupa(kan)(01/10)
- Sang Nyai Dan mBok Jah Pada Malam Penghargaan Sastra(22/10)
- TRADISI TAKJIL DAN MERCON DI BULAN PUASA(24/08)