Tembi

Berita-budaya»DILEMATIKA DUNIA WARIA DALAM KARYA FOTOGRAFI VISUAL ANTROPOLOGIS KAJA DUTKA

08 Jul 2011 08:39:00

DILEMATIKA DUNIA WARIA DALAM KARYA FOTOGRAFI-VISUAL ANTROPOLOGIS KAJA DUTKATidak jelas benar kapan fenomena dunia waria mulai kelihatan terbuka di Indonesia. Namun jika ditilik dari adanya fenomena gemblakan di dunia perwarokan di Ponorogo, Jawa Timur misalnya, hal demikian bisa menjadi semacam indikasi bahwa fenomena waria di Indonesia telah ada di Indonesia sejak aba-abad 18 atau bahkan mungkin jauh sebelum itu. Mungkin juga sejak sebelum abad Masehi hal itu pun telah ada mengingat ada kisahan tentang Kota Soddom dan Gomorah yang dimusnahkan karena salah satu sebabnya adalah karena penduduknya banyak melakukan praktek hubungan badan secara bebas, termasuk di dalamnya hubungan sejenis (gay dan lesbi) dan mungkin juga waria.

Kaja Dutka (25) seorang wanita Polandia yang pernah getol belajar biola lalu giat dalam kajian ilmu antropologi dan budaya menjadi tertarik mengamati dunia waria di Indonesia. Pasalnya, ia semula punya persepsi bahwa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim tentu akan menolak fenomena waria ini. Namun pada kenyataannya ia melihat bahwa fenomena waria di Indonesia bisa hadir secara terbuka dan relatif bebas sekalipun di sana-sini masih ditanggapi secara miring, tidak toleran, bahkan ejekan, penghakiman. Juga berbagai tindak kekerasan baik fisik maupun simbolik. Namun pada sisi lain sebagian masyarakat Indonesia juga cukup menyadari bahwa waria yang dikategorikan sebagai transgender male-to-female merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Semestinya mereka pun diperlakukan sama denganDILEMATIKA DUNIA WARIA DALAM KARYA FOTOGRAFI-VISUAL ANTROPOLOGIS KAJA DUTKAanggota masyarakat lain.

Berdasarkan hal tersebut Kaja Dutka yang menamatkan strata sarjananya pada kajian Budaya pada University of Lower Silesia, Polandia pada tahun 2009 ini serta sebelumnya (2007) berkesempatan studi karawitan di ISI Padang, Sumatra Barat kemudian melanjutkan studinya di ISI Yogyakarta dengan spesialisasi fotografi, berusaha memotret jagad waria dengan sense kajian budaya dan antropologi. Ia memotret jagad waria dan dibingkainya dalam tema ”Waria di Batas Siang dan Malam: Eksplorasi Fotografi Melampaui Batas Antropologi Visual”.

Hasil bidikan Kaja Dutka ini dipamerkan di Galeri Tembi Rumah Budaya sejak 2-6 Juli 2011. Ada 72 karya fotografi yang dipamerkanDILEMATIKA DUNIA WARIA DALAM KARYA FOTOGRAFI-VISUAL ANTROPOLOGIS KAJA DUTKAnya di Tembi ini. Karya sebanyak itu ia kelompokkan dalam sub-subtema, di antaranya Di Antara pelangi, Ngamen, Baju Koko dan Kebaya, Jalan Solo, Caca N. Mranggi, Sexualitas dan Uang, Intimasi, Perfomance/Performative/Performativity, dan Keluarga Besar Waria Yogyakarta. Tampak bahwa apa yang dipamerkan (dihasilkan) Kaja Dutka merupakan usaha mengamati, menganalisis, sekaligus mendokumentasikan fenomena waria melalui alat rekam yang dinamakan kamera foto. Apa yang dilakukan Kaja Dutka merupakan variasi tema dari kajian antropologi yang disebut sebagai antropologi visual (visual antropology).

Foto-foto yang disajikan Kaja Dutka bukan saja merupakan foto yang ditunjang oleh sentuhan nilai estetik dan artistik dari tangan seorang fotografer, namun juga merupakan rekaman dokumentasi hasil kerja di lapangan mengenai waria sebagai subjek kajian sekaligus juga karya seni. Menurut Kaja Dutka hal ini dikamsudkan untuk mengenalkan berbagai sisiDILEMATIKA DUNIA WARIA DALAM KARYA FOTOGRAFI-VISUAL ANTROPOLOGIS KAJA DUTKA kehidupan waria di Indonesia, khususnya di Yogyakarta yang mungkin belum pernah dilihat, diketahui, dikenali, dan dipahami.

”Rumah” atau dalam bahasa di dalam bahasa Jawa mungkin disebut omah, ngomah, dan pomah menjadi konsep penyajian karya-karya foto Kaja Dutka dengan suatu landasan kesadaran bahwa rumah sebagai ruang di mana segala sesuatu yang berhubungan dengan penghuninya berlangsung di dalamnya. Rumah menyimpan banyak cerita, kisah, dan fenomena. Oleh karena itu dengan memasuki ”rumah” pamer ini Kaja Dutka berharap dapat dijadikan salah satu jalan untuk mengenali waria serta menjadi tempat berbincang yang teduh atas segala tutur atau kisahan yang terlihat atau ”terbaca” di dalamnya.

Boleh jadi awam akan miris, aneh, tidak masuk akal, bahkan absurd ketika melihat fenomena yang berhasil disajikan Kaja Dutka ini karena fenomena waria itu selalu dicap seDILEMATIKA DUNIA WARIA DALAM KARYA FOTOGRAFI-VISUAL ANTROPOLOGIS KAJA DUTKAbagai penyimpangan atau ketidaklumrahan. Apa yang disebut sebagai aneh, ketidaklumrahan itu mungkin dapat disimak dalam subtema Di Antara pelangi. Pada subtema ini diperlihatkan bagaimana proses transformasi dan transisi. Pokok subtema ini memotret saat-saat seorang laki-laki ”bertransformasi menjadi” perempuan. Sisi ini menjadi momen mendasar dalam fenomena secara keseluruhan. Bagaimana laki-laki melakukan make-up dan dressing-up untuk kemudian ”menjadi” perempuan.

Barangkali kenyataan transformasi dan transisi tersebut di atas menjadi petunjuk bahwa seksualitas dan gender hanyalah sebuah konstruksi sosial dan budaya, sekaligus merupakan produk atas kuasa normalisasi (heteroseksual/heteronormatif), yang pada akhirnya seksualitas dan gender menjadi sebatas atribut dan bersifat performatif.

DILEMATIKA DUNIA WARIA DALAM KARYA FOTOGRAFI-VISUAL ANTROPOLOGIS KAJA DUTKASetidaknya Kaja Dutka menemukan tiga elemen penting dalam subtema ini. Pertama adalah bra tau BH yang membangun korespondensi antara maskulinitas dan feminitas plus tattoo yang yang diasosiasikan sebagai representasi maskulinitas. Kedua, majalah Kartini yang merupakan media cetak yang dihadirkan untuk menyajikan informasi seputar jagad perempuan. Ketiga, rosario (tasbih) yang digantungkan pada salah satu sisi kamar. Rosario dapat dipahami sebagai lambang religiusitas (Katolik). Berdasarkan itu semua dapat dilihat dilematika yang dialami seorang waria religius yang menurut berbagai pandangan agama adalah dosa.

Tampaknya seluruh karya fotografi antropologis Kaja Dutka memang ingin menyodorkan apa yang disebut umum sebagai penyimpangan itu. Jika orang menyaksikan karya itu dan kemudian melepaskan atribut identitas pribadinya serta mencoba masuk untuk sebentar ”bertransformasi” dan mengambil peran menjadi waria itu sendiri, maka orang tersebut akan dapat merasakan bagaimana kira-kira dilematika dan kepedihan hidup yang harus dijalani oleh seorang waria.

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta