Judul : Indische Fietsen. Pit Onthel 2010
Penulis : Hermanu
Penerbit : Bentara Budaya, 2010, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Ringkasan isi :

Indische Fietsen. Pit Onthel 2010Sejarah sepeda onthel di Indonesia banyak mengalami pasang surut. Masyarakat pemakai sepeda onthel pada awal beredarnya sekitar tahun 1920-an sampai 1950-an banyak memakai sepeda buatan Eropa seperti Belanda, Inggris, dan Jerman. Sepeda buatan Jepang hingga akhir tahun 1960-an. Namun setelah sepeda buatan Cina merk Phoenix masuk sekitar tahun 1970-an sepeda buatan Eropa tergeser.

Sejarah sepeda onthel di Indonesia tidak lepas akibat dari penjajahan Belanda. Pada akhir abad ke-19 sepeda mulai diproduksi secara besar-besaran oleh negara-negara produsen sepeda seperti Belanda, Inggris, Jerman, Perancis dan Amerika. Indonesia yang waktu itu masih bernama Nederland Indie tentu saja menjadi tujuan pasar sepeda dari Belanda karena Indonesia adalah koloni Belanda. Merk yang banyak terjual adalah Fongers, Batavus, Sparta, dan Gazelle. Baru beberapa tahun kemudian menyusul sepeda buatan Inggris dengan merk Humber, Philips dan Raleigh. Sepeda buatan Jerman yang dipasarkan di Indonesia bermerk Goricke dan Fahkrad. Masuknya sepeda-sepeda pada masa Indisch ini banyak mengalami pasang surut terutama karena faktor keamanan dalam pengiriman barang. Pada masa Perang Dunia I semua jenis perdagangan di Eropa nyaris terhenti. Setelah Perang Dunia I berakhir, dan sebelum Perang Dunia II terjadi, di Hindia Belanda sudah banyak terdapat kantor-kantor dagang dari negara Eropa, sehingga sepeda buatan Eropa banyak terdapat atau dipasarkan di kota-kota besar seperti Batavia/Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin dan Makasar. Jejak-jejaknya dapat dilihat dari iklan enamel (iklan plat besi berlapis cat Enamel) yang tersebar di Indonesia. Iklan tersebut diperkirakan dibuat sekitar tahun 1930 – 1933, antara lain sepeda merk Fahrad, Opel, Batavus, Gazelle, dan Raleigh.

Konsumen pertama sepeda pada masa awal beredarnya di jaman Indisch adalah pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang membutuhkan transportasi bagi kelancaran pemerintahan di seluruh tanah jajahannya. Mereka memberikan sepeda inventaris kepada aparatnya terutama militer untuk kepentingan militer. Jenisnya tentu saja disesuaikan denan kebutuhan seperti harus ada tempat untuk meletakkan senjata pada bagian porok roda depan. Kemudian sepeda inventaris untuk pegawai gubernemen atau pamong praja (priyayi), termasuk sepeda pos yang membutuhkan bagasi untuk tempat surat. Urutan kedua adalah para misionaris, seperti pastur untuk mempermudah misi mereka. Urutan ketiga adalah para bangsawan atau keluarga kerajaan, dan urutan terakhir adalah masayarakat umum yang mampu membeli misal pedagang kaya. Rakyat kebanyakan dapat membeli sepeda setelah beberapa tahun ketika harganya sudah turun atau membeli sepeda bekas.

Hal yang menarik perhatian produksi sepeda atau barang logam lainnya pada masa tersebut sangat bagus. Kemungkinan bahan bakunya masih menggunakan bijih besi murni belum tercampur bahan besi bekas yang didaur ulang seperti pada masa sesudah perang dunia II.

Serbuan Jepang ke Indonesia, bulan Maret 1942 bisa dikatakan mengakhiri masa kejayaan sepeda-sepeda Indisch tersebut. Para pemilik sepeda kesulitan memperoleh suku cadang seperti ban dalam dan luar serta onderdil lainnya. Jepang juga melarang penggunaan sepeda Eropa, bahkan menyitanya. Setelah Jepang kalah dan Indonesia merdeka sepeda mulai lagi digunakan masyarakat umum. Perbedaan kelas serperti pada jaman Belanda berangsur-angsur menghilang. Presiden Soekarno yang sangat mendorong kemajuan di bidang industri, salah satunya industri sepeda, mengakibatkan banyak sepeda dibuat di dalam negeri atau rakitan sendiri. Sepeda-sepeda tersebut dibuat antara lain di kota Semarang, Bandung dan Surabaya dengan merk Banteng, Garuda, Dwi Warna dan lain-lain yang membanjiri pasaran Indonesia.

Bersamaan dengan kemajuan jaman gaya hidup rakyat Indonesia juga mengalami perubahan. Kalau pada awalnya sepeda merupakan transportasi yang diminati, dengan membanjirnya sepeda motor (buatan Jepang seperti merk Honda, Yamaha, Suzuki) keberadaan sepeda mulai tersisih. Harapan muncul setelah munculnya perkumpulan-perkumpulan pecinta sepeda tua di berbagai kota.

Buku ini sebenarnya adalah katalog pameran sepeda tua, sehingga isinya penuh dengan gambar-gambar/foto sepeda tua yang masih terawat dengan bagus. Juga gambar-gambar iklan sepeda di masa lalu. Yang lebih menarik dalam buku ini juga ditulis tentang sejarah munculnya sepeda, termasuk munculnya sepeda dengan berbagai merk seperti Gazelle, Veeno, Simplex dan lain-lain.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta