'FATHER AND SON’ DI ‘RIMBA SENJAKALA'

'FATHER AND SON’ DI ‘RIMBA SENJAKALA'Berulangkali pameran seni grafis diselenggarakan di ruang pamer yang ada di Yogya. Bentara Budaya adalah salah satunya. Dari karya-karya seni grafis yang penuh warna, dan tidak lagi hitam putih, setidaknya bisa memberI ‘informasi’ pada publiK umum, bahwa karya seni rupa tidak hanya seni lukis, melainkan ada seni grafis. Dan karya seni grafis tidak harus dicetak dalam jumlah banyak, cukup dicetak satu, sehingga tidak ada lagi yang menyamai. Atau karya seni grafis bisa ditemukan lebih dari satu.

Satu pameran seni grafis karya-karya Winarso Taufik dengan tajuk ‘Rimba Senjakala” diselenggarakan di Bentara Budaya Yogyakarta (1-9/10). Karya-karya grafis penuh warna laiknya seni lukis bisa dinikmati dalam pameran ini. Selain itu, karya grafis hitam putih, termasuk bahan-bahan grafis disertakan dalam pameran ini.

‘Father and son’ adalah salah satu judul karya grafis yang dipamerkan dan memberi kisah mengenai alam kita. Dua sosok manusia dalam bentuk pohon dan hanya memiliki satu mata, yang letaknya ditempat yang berbeda-beda. Belitan pohon keluar dari leher dan menggantikan'FATHER AND SON’ DI ‘RIMBA SENJAKALA'kepala manusia. Seolah, karya ini seperti hendak berbisik mengengai keadaan alam dan lingkungan kita yang sedang terancam. Meski warna hijau mendominasi karya yang berjudul ‘Father and son’, tetapi Winarso Taufik, perupa-grafis yang sedang pameran, agaknya hendak mengingatkan, alam hijau bermanfaat bagi kehidupan.

Lain halnya dengan karya yang berjudul ‘Urbanisasi’. Pada karya ini Winarso Taufik seperti hendak berkisah perpindahan orang yang tinggal di desa menuju kota. Warga desa dengan mengendarai kereta api, bersama-sama ‘meinggalkan’ desanya yang penuh tumbuhan hijau, untuk, sebut saja, ‘mengubah’ nasibnya agar menjadi lebih baik. Agaknya, Winarso melihat sekaligus bertanya: mengapa warga desa meninggalkan alam'FATHER AND SON’ DI ‘RIMBA SENJAKALA'yang hijau untuk menuju kota, dan mungkin, di kota tidak (lagi) banyak kawasan hijau.

Winarso Taufik, melalu pameran yang bertajuk ‘Rimba Senjakala’ menunjukkan kepeduliannya terhadap alam. Ia seperti memiliki perasaan sedih melihat alam kita tidak dirawat sebaik mungkin, bahkan malah cenderung dirusak. Karena bagi Winarso, alam memiliki nilai transcendental.

“Alam bukanlah hanya berarti dunia obyektif, alam juga mengandung nilai-nilai transendetal. Dalam dunia mbah Marijan, Merapi bukan hanya sebentuk obyek organis penyokong kebutuhan praktis hidup kita, tapi lebih dari itu yakni alam yang'FATHER AND SON’ DI ‘RIMBA SENJAKALA'mengandung nilai-nilai transcendental” kata Taufik.

Hendro Wiyanto, yang mengkuratori pameran Winarso Taufik ini, pada akhir catatannya menuliskan pandangannya menyangkut karya-karya Taufin. Simak apa yang dilantunkan Hendro Wiyanto:

“Dengan tidak hanya memandang alam semata sebagai obyek , manusia dapat hidup bersama alam dalam sebuah ‘perjumpaan sunyi’. Istilah ini sekaligus menjadi judul karya Taufik yang menggambarkan sikap atau pandangan manusia yang mencari kesejajaran dengan alam, digambarkan secara simbolis sebagai perjumpaan atau peleburan yang lembut antara dunia atas dan bawah, antara sosok manusia dan ikan, dua dunia yang dipisahkan oleh batas goyah dan tipis penuh makna (Perjumpaan Sunyi, 2011) Tidakkah sebenarnya fusi horizon-horison dari berbagai dunia dan pengalaman kita yang ingin didedahkan Taufik melalui karya ini? Ikan, makhluk yang menyimbolkan harapan, syukur dan keberuntungan, agaknya mewakili apa yang tersembunyi dalam gagasan tematis mengenai alam, manusia dan transedensi dalam karya-karya Taufik. Tapi gambaran yang mirip semacam itu sekaligus juga dapat menampilkan sisi strategis dan ironis dari pesta bersama di gugus pulau terakhir, seperti dilukiskan oleh sebuah karyanya yang lain, The End of a Party (2010)”

Ons Untoto




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta