Tembi

Berita-budaya»DISKUSI BUKU DI KAFE GENDONG

03 May 2011 07:28:00

DISKUSI BUKU DI KAFE GENDONGGejala yang sekarang ini mudah dilihat, kegiatan diskusi tidak harus mengambil tempat di ruang seminar, atau kampus-kampus untuk menunjukkan bahwa kegiatan diskusi berbeda dari kegiatan lainnya. Karena diskusi tak ubahnya seperti gaya hidup, bukan lagi kegiatan yang sifatnya (sok) ilmiah, maka kafe menjadi tempat pilihan untuk kegiatan diskusi.

Salah satu kafe yang berulangkali digunakan untuk diskusi adalah kafe Gendong, di jalan Sorowajan, Yogyakarta. Kafe Gendong, yang bangunannya terbuat dari bambu, sehingga kelihatan sekali bukan jenis bangunan permanen, mulai dikenal sebagai kafe yang sering dipakai diskusi untuk bemacam tema.

Pada Sabtu (30/4) lalu, kafe Gendong kembali dipakai untuk diskusi buku, yang diselenggarakan oleh Elsdap (Lembaga Studi Demokrasi dan Budaya Politik). Diskusi siang itu, merupakan diskusi buku karya Dr. Eggi Sudjana, SH, M.Si yang berjudul ‘SBY antek Yahudi AS?. Penulisnya sendiri hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini dan sebagai penanggap dihadirkan Irsyad Thamrin, SH, direktur LBH Yogyakarta. Seperti biasanya diskusi di kafe Gendong yang diselenggarakan siang hari, sebelum diskusi disediakan makan siang berupa gudeg. Rupanya, kafe Gendong ‘akrab’ dengan gudeg.

DISKUSI BUKU DI KAFE GENDONGMemang tidak terlalu panjang apa yang dikatakan Eggi Sudjana. Ia hanya mengantarkan diskusi. Hal yang dikatakan Eggi Sudjana, diantaranya, adalah apa yang dilakukan SBY untuk menjadi presiden perlu minta restu pada AS. Bahkan, seperti dikatakan Eggi Sudjana, SBY pernah mengatakan bahwa AS adalah tanah air keduanya setelah Indonesia. Kritik Eggi Sudjana pada SBY, bahwa dalam dua kali kepemimpinannya tidak ada perubahan yang membawa kondisi rakyat ke arah yang lebih baik.

Sementara Irsyad Thamrin, SH, direktur LBH Yogya selaku penanggap Eggi Sudjana dalam diskusi ini melihat dari sisi yang lain. Menurut Irsjad, Eggi Sudjana tidak memperlihatkan sistem ekonomi yang akan dibangun. Atau juga sistem ketatanegaraan seperti apa yang dimaui, apakah sentralistis atau desentralitis.

Sedang, salah seorang peserta yang mengaku bernama Gunawan dari Solo, dalam dialog, melihat bahwa Eggi Sudjana tidak memberikan tawaran yang konkrit mengenai perubahan. Tapi dia melihat, dengan menulis buku merupakan satu langkah yang cerdas.

DISKUSI BUKU DI KAFE GENDONGMenyangkut apa yang dimaksud sebagai revolusi, Eggi Sudjana dalam pengantar bukunya menulis seperti bisa disimak berikut :

“Untuk memperbaiki bangsa dan negara yang sudah lama terpuruk ini, maka perlu digagas suatu perubahan yang cepat dan mendasar secara revolusioner. Revolusioner tentunya tidak harus dipahami dalam bentuk kebencian dan kepentingan politik yang berwujud pada tataran fisik, tetapi revolusioner bisa berawal dari perilaku dan pemikiran pemimpin dan para elite bangsa terhadap kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Tegaknya kemandirian bangsa harus berdiri kokoh di atas landasan ketaatan, kejujuran, keadilan, kedamaian, kesejahteraan, ketertiban, kesetaraan, kebebasan dan keselamatan”.

Yang seringkali bisa dilihat dalam setiap diskusi buku, karena peserta belum membaca bukunya, sehingga diskusi biasanya tidak menyentuh isi bukunya, melainkan memperbincangkan hal-hal yang terkadang ‘keluar’ dari isi buku. Diskusi buku, yang lebih utama, sebenarnya, mengenalkan buku yang didiskusikan kepada publik supaya tertarik untuk kemudian membacanya.

Kafe Gendong, kafe diskusi.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta