Tembi

Yogyakarta-yogyamu»TOPONIM JALAN DI YOGYA

01 Jan 2008 09:56:00

Yogyamu

TOPONIM JALAN DI YOGYA

Menyusuri jalan di Kota Yogya menarik sembari mengenal asal-usul nama-namanya, membayangkan kembali apa yang ada di balik kawasan-kawasan itu. Nama-nama jalan di kota ini berangkat dari klasifikasi yang beragam. Sedikitnya ada lima klasifikasi umum, yakni nama orang, tempat, tanaman, profesi dan peristiwa. Nama orang dibagi lagi, dari tokoh dan pejabat pada zaman kerajaan dahulu, sampai pahlawan, pendidik dan seniman dalam sejarah kontemporer.

Profesi mungkin merupakan asal-usul nama jalan yang paling menarik karena kekhasan dan kelokalannya. Jalan dan tempat pemukiman para abdi dalem serta pejabat seakan menjadi napak tilas sejarah. Melewati jalan Batikan, terbayanglah para abdi dalem yang pekerjaannya membatik. Perempuan-perempuan berkemben yang telaten menorehkan lilin di secarik kain. Keahlian seni juga dimiliki para abdi dalem yang dulu bertempat tinggal di Jalan Kemasan (pemukiman pengrajin emas dan pengusaha emas). Demikian pula pemukiman sejumlah artisan, seperti Jalan Jlagran (tempat Jlogro, tukang membuat kijing/nisan), Dagen (tempat Undagi, tukang kayu) dan Gowongan (tempat Gowong, teknisi/tukang batu).

Lalu Jalan Gamelan, apakah pemukiman pengrajin gamelan? Ternyata bukan. Gamelan dulu tempat tinggal abdi dalem Gamel, yang bertugas memelihara kuda. Pada zaman dahulu, kuda (turangga) bukan saja kendaraan penting tetapi milik kebanggaan orang Jawa. Jalan Namburan berasal dari bekas pemukiman abdi dalem penabuh tambur. Jalan Kemit Bumen adalah pemukiman abdi dalem Kemit Bumi, yang bertugas menyapu atau membersihkan halaman kraton dan alun-alun. Jalan Bumijo merupakan tempat abdi dalem Bumijo, yang mengurusi tanah/agraria. Jalan Mantrigawen berasal dari tempat tinggal kepala pegawai Kraton. Jalan Polowijan, asalnya adalah tempat abdi dalem yang cacat, misalnya bungkuk, pincang, atau cebol.

Di bidang administrasi, ada Jalan Gedong Kiwo, yang diambil dari kampung tempat tinggal abdi dalem yang mengurusi segala pengeluaran kekayaan. Gedhong artinya perbendaharaan (pemerintahan Praja Kejawen). Sedangkan Kiwo menunjukkan posisi duduk para Nayoko –bupati yang membantu pangeran—yang berada di sebelah kanan saat pesowanan di Siti Hinggil Lor. Jalan Kemetiran Kidul merupakan daerah tempat abdi dalem Kemetir, yang mengantar surat-surat ke luar kota. Jalan Pajeksan adalah daerah tempat tinggal jaksa. Daerah Jalan Bhayangkara dulu merupakan komplek prajurit penjaga/pengawal. Kebetulan saja sekarang juga menjadi Komplek Kepolisian.

Nama jalan lain yang khas Yogya berasal dari sejumlah kompi/batalyon Kraton. Dulu ada sepuluh kompi/batalyon, yakni Prajurit Wirobrojo, Daeng, Ketanggung, Patangpuluh, Jogokaryo, Mantrijero, Bugis, Surokarso, Nyutro, dan Prawirotama. Pemukiman para prajurit ini dinamakan berdasarkan nama kompi/batalyon tersebut. Demikian pula sejumlah nama jalannya, seperti Prawirotaman, Patangpuluhan, Wirobrajan, Jogokaryan, Mantrijeron, Bugisan dan Surokarsan.

Tempat historis lainnya berangkat dari tempat tinggal pangeran dan tumenggung. Misalnya, Juminahan (tempat tinggal Pangeran Juminah), Bintaran (Pangeran Bintoro), Wijilan (Pangeran Wijil), Pringgokusuman (Tumenggung Pringgokusuma), Sosrowijayan (Tumenggung Sosrowijaya), Wongsodirjan (Tumenggung Wongsodirjo), Suryonegaran (Tumenggung Suryonegara), Mondorokan (Tumenggung Mondoroko). Nama-nama jalan sejenis lainnya telah berubah, misal, Sindunegaran (tempat tinggal Tumenggung Sindunegara, kini Jalan Tentara Pelajar), Danurejan (Tumenggung Danuredjo, kini Jalan Parangtritis) dan Wirogunan (Tumenggung Wiroguna, kini Jalan Taman Siswa).

Nama lainnya diangkat dari bangunan-bangunan penting di kawasan itu. Sorogenen, misalnya, dulu adalah gudang senjata api (sorogeni). Gedong Kuning awalnya adalah bangunan tempat pesanggrahan, atau gedong, Sultan Agung, yang lalu dilabur warna kuning. Sedangkan Sanggrahan (kini Gondosuli) adalah tempat peristirahatan Sri Sultan Hamengku Buwono II.

Lalu nama yang diberikan karena di kawasan jalan itu dulu banyak ditumbuhi jenis tanaman tertentu. Misalnya, Tegal Turi, Glagahsari, Mojo, Munggur, Cendana, Gayam, Ngasem, Kenari dan Melati. Sedangkan asal nama jalan Tegal Gendu, yang tidak mencerminkan nama tanaman, diambil dari tegalan tempat pohon kelapa di daerah itu yang dulu banyak diserang hama gendhom (ulat yang merusak tanaman kelapa).

Nama pahlawan yang bertolak dari lokasi peristiwa sejarahnya adalah nama 21 pahlawan yang gugur di Kotabaru. Insiden yang dikenal sebagai ‘Peristiwa Kotabaru’ ini merupakan pertempuran melawan tentara Jepang pada 7 Oktober 1945. Nama-nama mereka yang gugur antara lain I Dewa Nyoman Oka, Ahmad Jajuli, Faridan M Noto dan Abu Bakar Ali. Nama-nama di wilayah ini sebelumnya nama gunung dan sungai.

Tokoh-tokoh lain yang juga khas Yogya berasal dari sejarah kerajaan Mataram, antara lain Jalan Panembahan Mangkurat (putra Sultan Hamengku Buwono II yang ikut memberontak bersama Pangeran Diponegoro), Raden Ronggo (putra Panembahan Senopati), Nyi Ageng Nis (menantu Kiai Ageng Sela), dan Ki Penjawi (tokoh kebangkitan Mataram).

Menebak ikhwal awal nama Pasar Kembang mudah, yakni tempat penjualan bunga. Begitu juga Warungboto (kini Jalan Veteran) adalah tempat penjualan batu bata. Yang tersamar adalah nama Jalan Bubutan (kini juga Jalan Veteran), yang ternyata dulu tempat pembibitan tembakau dengan cara dibubut (dicabut). Demikian pula asal mula Jalan Menukan sulit ditebak. Ternyata nama ini diambil dari tempat tinggal para penjual gethuk, yang menaruh dagangannya dalam bakul dimana gethuk-gethuk itu lantas kelihatan ‘menuk-menuk’.

Nah, bisakah Anda menebak asal-muasal Jalan Pengok? Kata ini tidak ada artinya karena ternyata merupakan onomatope (peniruan bunyi), yakni dari bunyi peluit ‘ngok’ sebagai tanda waktu kerja bagi para buruh perusahaan kereta api pada zaman Hindia Belanda. Sekarang bunyi ‘ngok’ ini masih terdengar, dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 14.00, dan dimanfaatkan para warga sekitarnya untuk mencocokkan jam.

Mengetahui ‘akar’ nama-nama tempat di Yogya bukan saja mengasikkan tetapi juga mengakarkan kita pada identitas kota ini.

Sumber utama: Salamun. “Mengenal Bangunan Bersejarah dan Nama-nama Jalan di Kotamadya Yogyakarta”. Ditjen Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Yogyakarta: 1989/1990.

Teks: a. barata
Foto: Sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta