Dialog dan Gelar Seni Yogya Semesta Seri 49: "Akulturasi Budaya Tionghoa dengan Indonesia/Jawa dalam Proses Membangsa"
Dalam memperingati satu abad Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Komunitas Yogya Semesta menyelenggarakan dialog dan pentas seni di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta. Kali ini topic yang diangkat dalam acarfa tersebut adalah Akulturasi Budaya Tionghoa dengan Indonesia/Jawa dalam Proses Membangsa. Acara yang biasa diselenggarakan setiap Selasa malam sebulan sekali itu, kali ini diselenggarakan pada hari Sabtu malam (18/2).
Untuk dialog budaya dihadirkan narasumber Prof. Dr. Bambang Cipto, MA. (Wakil Rektor I Bidang Akademik/Guru Besar Hubungan Internasional ISIPOL UMY, Didi Kwartanada, SE (Sejarawan Yayasan Nation Building/Nabil) Jakarta, drg. R. Eddy Purjanto (Dirut PT Kabare Jogja Media Utama), Oei Tjhian Hwat (Koh Hwat-Pengembang Seni Macapat dan Geguritan di kalangan masyarakat Tionghoa). Sedangkan para pembahasnya adalah Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat (Mantan Dirjen dan Pejabat Bappenas), Prof. Dr. Lasiyo, MA., MM. (Guru Besar Filsafat China, Fakultas Filsafat, UGM), KH. Muhammad Jazir ASP (Pengasuh Pondok Pesantren Abdullah Ibnu Abbas Grojogan, Tamanan, Banguntapan, Bantul). Dialog dipandu oleh pengasuh Yogya Semesta, Heri Dendi.
Sementara gelar seni yang ditampilkan berupa Tari Dewi Kwan Im oleh Didik Nini Thowok, Kolaborasi Musik Tradisional China Tan Me Djing, Musik Erhu (rebab) dari Solo dengan Grup Musik Cin Ma, Pementasan dalang cilik Tionghoa (Yudistiro) dan demonstrasi wushu dari Sasana Wushu Indonesia.
Selain itu, seperti biasa, sebelum acara dimulai seluruh peserta dipersilakan menikmati hidangan warung kucing, bakmi Jawa, ronde, gudeg, bakso, dan nasi langgi. Usai bersantap acara dimulai dengan pergelaran wayang purwa oleh dalang cilik Tionghoa, disusul pertunjukan wushu. Pada galibnya semua yang disajikan itu merupakan bagian dari bagaimana kebudayaan Tionghoa hidup dan berbaur dalam kebudayaan lokal Nusantara (Jawa). Bakmi, ronde, bakso, soto, dan lain-lain adalah produk makanan yang tidak asing lagi di Indonesia, namun jika dirunut semuanya adalah pengaruh kuliner Tionghoa.
Dennys Lombard sendiri mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa di Jawa tidak kelihatan lagi perbedaannya dengan orang Jawa. Antar orang Tionghoa sendiri bahkan telah menggunakan bahasa Jawa dan tidak saling meninggikan diri. Bahkan orang-orang Tionghoa di Jawa sebenarnya telah menjadi orang Jawa yang bermata sipit. Demikian Didi Kwartanada menyampaikan bagian dari paparannya. Bahkan pada awal berdirinya Kerajaan Yogyakarta pun interaksi Jawa-Tionghoa sudah cukup kuat.
Sultan Hamengku Buwana I waktu itu telah memerintahkan Kapiten To In untuk mengisi kekosongan kas kerajaan sehingga menjelang Sultan Hamengku Buwana I wafat kas kerajaan telah terisi 3 kali lipat besarnya dari besar kas yang diperoleh pertama kali saat kerajaan mulai berdiri. Sultan Hamengku Buwana I juga disebut-sebut menyukai hasil kesenian atau kebudayaan Tionghoa seperti pesta kembang api dan petasan di hari raya Imlek. Demikian pula dengan permainan kartu. Sultan Hamengku Buwana I juga mempunyai selir orang Tionghoa yang bernama Mas Ayu Sumarsanawati. Ada banyak orang Tionghoa terlibat dalam urusan Kerajaan Yogyakarta. Sebut saja Tan Jin Sing, Nyonya Persen, atau Pangeran Jayakusuma.
Menurut Kyai Jazir interaksi Cina-jawa sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 403 Masehi. Hubungan kian intensif sejak Cina banyak memproduksi teh dan porselin. Penyebar agama Islam di Jawa mula-mula juga dilakukan oleh orang-orang Cina. Para wali banyak yang berdarah Tionghoa. Raden Patah (Fattah) sendiri adalah keturunan Cina dengan nama kecilnya Jim Bun. Adipati Terung yang disusupkan ke Majapahit juga seorang Cina yang nama lainnya adalah Sin Kan. Pasca keruntuhan Majapahit yang diberi kuasa untuk mengelola Trowulan adalah orang Cina juga yang bernama Nyo Wai Lan. Pendeknya, interkasi Cina-Jawa itu telah berjalan berabad-abad. Selama itu pula bisa dikatakan tidak ada persoalan apa pun. Cina-Jawa bisa saling menopang, tolong-menolong, saling mengerti, membaur tanpa harus lebur.
Pada intinya pergaulan antarbangsa, ras, etnis, bahkan juga keyakinan tidak bisa tidak mesti terjadi. Saling menghormati dan menghargai adalah salah satu hal yang dapat menjadi pilar demi kemajuan dan kenyamanan bersama. Kejujuran, kerendahan hati, dan rela berbagi merupakan kelengkapan modal lain untuk membangun hal demikian sehingga ke depan akan tercapai bangsa Indonesia yang besar, bersatu, dan jaya.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- 30 Januari 2010, Kabar Anyar - PAMERAN T.A. SENI RUPA ISI(30/01)
- DISKUSI DEMOKRASI DI TBY(05/05)
-
Kehadiran bahasa “gaul” remaja Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini sungguh boleh dipandang merupakan suatu kreativitas dari sekelompok anak-anak muda dalam sebuah generasi tertentu. " href="https://tembi.net/cover/2010-03/20100310.htm">10 Maret 2010, Kabar Anyar - "BAHASA GAUL REMAJA INDONESIA" PIDATO MENYAMBUT DIES NATALIS FIB UGM KE-64(10/03)- 29 Juni 2010, Bothekan - YUYU RUMPUNG MBARONG RONGE(29/06)
- MENIKMATI SEGA ABANG DI ALAS BUNDER, GUNUNG KIDUL(11/05)
- SUMBER SEMPOR SISI LAIN BANGUNAN PENINGGALAN ZAMAN BELANDA(26/05)
- BRAMARA MANGUN LINGGA(16/08)
- Denmas Bekel(07/05)
- GAMPARAN (1) (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-12)(07/07)
- 11 April 2011, Kuliner - MARTABAK RAHAYU YANG NIKMAT(11/04)