Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Ungkapan Tradisional yang Ada Kaitannya dengan Sila sila dalam Pancasila D.I. Yogyakarta

15 Jul 2009 12:40:00

Perpustakaan

Judul : Ungkapan Tradisional yang Ada Kaitannya dengan Sila-sila dalam Pancasila D.I. Yogyakarta
Penulis : Soepanto, dkk
Penerbit : Depdikbud, 1983/1984, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Halaman : xi + 155
Ringkasan isi :

Kebudayaan sebagai kompleks nilai dan gagasan utama yang melembaga dalam masyarakat pada hakekatnya adalah hasil upaya manusia menanggapi lingkungan serta tantangan sejarah secara aktif. Dalam masyarakat yang masih memegang tradisi lama terdapat cara-cara untuk menyampaikan pengetahuan kebudayaan dan sekaligus merupakan sarana pendidikan bagi masyarakat untuk mengenal nilai-nilai serta norma-norma yang berlaku dalam usaha memperlancar proses sosialisai. Cara-cara tradisional tersebut antara lain berupa penuturan dongeng, cerita mitologis atau legenda. Tidak kalah pentingnya adalah penggunaan ungkapan-ungkapan.

Ungkapan semula diucapkan spontan tetapi kemudian mencapai bentuknya yang membeku atau menjadi klise, sedangkan maknanya bersifat instruktif, imperatif ataupun prefentif. Ungkapan tradisional mempunyai fungsi sosial antara lain sebagai pengokoh nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, pedoman untuk menentukan sikap dan tingkah laku, untuk mengungkap latar belakang kehidupan sosial kultural masyarakat, untuk menelaah nilai-nilai yang dapat menunjang terbinanya pergaulan nasional.

Dengan menelaah bunyi dan makna ungkapan tradisional masyarakat Yogyakarta maka dasar moral, norma-norma kekeluargaan dan hidup bermasyarakat, cita-cita dan ideologi serta cara berpikir dan pandangan hidupnya dapat kita kenal. Sikap pasrah, narima ing pandum, menyerah kepada takdir yang telah digariskan Tuhan, sikap menerima kenyataan hidup sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah oleh kemampuan manusiawi, merupakan sebagian dari identitas sikap hidup masyarakat Yogyakarta. Sedang kaidah dan norma yang tinggi nilainya di dalam kehidupannya yaitu rukun, saling menolong, sabar, mawas diri, rendah hati, tenggang rasa dan tidak mementingkan diri sendiri.

Dengan mendalami makna yang terkandung di dalam ungkapan-ungkapan tradisional yang hidup di dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta, akan ditemukan unsur yang positif mau pun negatif, menguntungkan dan merugikan, unsur yang menunjang gerak laju pembangunan atau menghambat pembangunan. Hal tersebut penting sebagai pedoman untuk menentukan mana yang perlu dilestarikan dan dikembangkan, serta mana yang harus dibuang dan ditinggalkan. Segi-segi yang positif adalah yang sesuai dan sejalan dengan kebenaran falsafah Pancasila, sedangkan segi yang negatif adalah yang menyimpang dari garis arah kebenaran falsafah Pancasila. Pancasila merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa; dasar-dasar Pancasila sudah sejak lama hidup di dalam masyarakat, sebagai dasar moral, pedoman dan pandangan hidup. Kebudayaan mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan jika dikembangkan keselarasan dan keseimbangan, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial termasuk hubungannya dengan Tuhan.

Ungkapan-ungkapan tradisional yang terdapat di Yogyakarta tersebut antara lain aja salin salaga (jangan berubah seperti biasanya), mempunyai makna agar orang tidak lupa pada asal-usulnya karena perubahan yang dialaminya. Misal mendapat kekayaan atau kedudukan tinggi. Ungkapan ini juga mengajarkan agar tidak semena-mena pada orang lain. Emban cindhe emban siladan (mengendong yang satu dengan kain halus satunya dengan rautan buluh), mengandung arti perlakuan yang tidak adil. Hal tersebut hendaknya tidak dilakukan karena setiap orang mempunyai persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban. Sing nglakoni trima, sing momong sing ora trima (yang menjalani menerima, yang mengasuh yang tidak menerima), mengandung nesehat agar orang tidak sewenang-wenang pada orang lain. Yang dianiaya mungkin hanya diam tidak berani melawan, tetapi pengasuh (dalam hal ini Tuhan), pasti tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Maling alok maling (pencuri berteriak pencuri), yaitu seseorang bersalah tetapi menuduh orang lain yang bersalah. Ungkapan ini mengandung makna agar orang berani jujur dan bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat. Durung dikeparengake (belum diperkenankan), memberi nasehat agar orang percaya kebesaran Tuhan. Segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan, sedangkan manusia hanya bisa berdoa dan berusaha.

Teks : M. Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta