Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Sejarah yang Memihak, Mengenang Sartono Kartodirdjo

04 Oct 2008 11:20:00

Perpustakaan

Sejarah yang Memihak, Mengenang Sartono Kartodirdjo

Judul : Sejarah yang Memihak, Mengenang Sartono Kartodirdjo
Editor : M Nursam, Baskara T Wardaya SJ, Asvi Warman Adam
Penerbit : Ombak bekerja sama dengan Rumah Budaya Tembi
Tahun : 2008
Cetakan : I
Halaman : xvii + 507

Buku ‘Sejarah yang Memihak, Mengenang Sartono Kartodirdjo’ merupakan kumpulan tulisan dari sejumlah anggota keluarga, sahabat, murid dan kolega Sartono Kartodirdjo. Sejarawan terkemuka kelahiran 1921 ini wafat pada 7 Desember 2007. Dalam dunia pustaka, buku ini melengkapi buku Nina Lubis yang terbit sebelumnya, ’80 Tahun Prof Dr Sartono Kartodirdjo, Pelopor Sejarah Indonesia’ (2001), dan dilengkapi buku M Nursam yang terbit kemudian, ‘Membuka Pintu Bagi Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirdjo’ (2008).

Membaca buku ini seperti membaca sebuah keteladanan yang langka. Dalam kaitan ini relevanlah pernyataan William Dilthey tentang otobiografi, yakni “pernyataan literer dari refleksi seseorang terhadap hakekat hidupnya.“ Meski ini bukan buku otobiografi, melalui serpihan-serpihan kenangan dan kesaksian tentang Sartono, kita bisa melihat bagaimana refleksi Sartono terhadap hakekat hidupnya. Sebuah totalitas pengabdian untuk kemanusiaan melalui jalan akademis.

Sedikitnya ada empat sikap hidup Sartono yang bisa dirumuskan dari tulisan-tulisan di buku ini.

Pertama, asketisme intelektual atau mesu budi. Apa artinya? Anhar Gonggong mengutip tulisan Sartono, “Seorang yang mengalami asketisme ialah dia yang melakukan latihan untuk menjadi ‘orang olah jiwa’ moral serta relijius, artinya semua bentuk usaha untuk ‘menghilangkan keinginan atau hawa nafsu jasmaniah’… Mesu Budi yang diartikan sebagai asketisme intelektual mencakup disiplin spiritual (mental) suatu latihan kemampuan kognitif dalam segala aspeknya, baik aspek logis, kritis, analitis, maupun diskursif. Latihan itu akhirnya dapat melambangkan kebiasaan dan sikap”. Dalam asketisme kerja yang wordly-oriented, tulis Sartono, muncullah disiplin kerja yang didukung oleh motivasi relijius.

Jakob Oetama mengartikan asketisme intelektual Sartono sebagai “cendekiawan yang mencari, mengekspresikan dan menghayati keilmuwannya dengan pandangan dan sikap intelektual yang tidak larut oleh yang serba kebendaan, bahkan cenderung ‘mesu saliro’, berpantang diri.”

Kenangan dan kesaksian dalam buku ini menunjukkan bahwa Sartono tak sebatas menganjurkan asketisme intelektual dan mesu budi. Ia sungguh-sungguh mempraktekkannya, serta menjadikannya kebiasaan dan sikap hidup. P Swantoro melihat bahwa bagi Sartono kegiatan profesionalnya sebagai ilmuwan merupakan ‘laku’ atau ‘spiritual act’. St Sularto memandang Sartono seolah membenarkan ‘ngelmu digayuh karana laku’ (ilmu diperoleh dengan melaksanakan). Bertahun-tahun ia berjuang keras untuk terus bekerja dengan membaca dan menulis, memahami kondisi dan situasi masyarakat bangsa-negaranya, sekaligus menawarkan jalan keluar.

J Sumardianta menilai, semangat mati raga (askese) inheren dalam biografi intelektual Sartono. Nilai-nilai yang terwujud dalam perilaku (values in action) Sartono antara lain kebersahajaan, ketulusan, ugahari, ketegaran dan kegigihan. Sumardianta menyebutnya sebagai ‘wong tapa kang ngibadah lan mirongi’ (pertapa yang katam beribadah dan hidupnya mendekati kesempurnaan).

Sri Kadaryati, istri Sartono, mengatakan bahwa sejak 1957 Sartono harus bekerja dengan satu mata tetapi ia gigih tidak mau menyerah. St Sularto, saat berkunjung ke rumah Sartono pada 1990-an, melihat Sartono membaca buku dengan kacamata amat tebal, bahkan dia memakai alat semacam teropong untuk membaca. Menurut Julius Pour, saat kacamata sudah tidak mampu menolong penglihatannya, Sartono memakai kaca pembesar. Saat kaca pembesar tidak lagi membantu, istrinya membacakan surat kabar, majalah atau buku, serta menuliskan buah pikiran Sartono.

Buku ini juga mengungkap sejumlah fakta yang mengejutkan. Misalnya, menurut Bonnie Triyana, Sartono tidak menerima sepeser pun royalti penjualan buku terjemahan disertasinya yang diterbitkan Pustaka Jaya. Ia hanya menerima dua buku terjemahannya dari penerbit. Toh Sartono tidak menjadikannya perkara besar.

Kedua, integritas intelektual. Dalam sejumlah kasus, integritas intelektual Sartono diuji. Seperti diketahui, Sartono mundur dari tim penulis Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Menjawab pertanyaan peserta dalam seminar sejarah di Universitas Udayana, seperti dikisahkan Adrian Vickers, Sartono menjelaskan bahwa ia menolak untuk terlibat dalam jilid terakhir SNI karena pihak militer mencoba untuk memaksakan tafsir mereka kepadanya. Pendeknya, Sartono menolak untuk mengikuti tafsir Orde Baru dalam sejarah kudeta 1965.

Sementara Julius Pour –berdasar keterangan Teuku Jacob-- menceritakan bahwa buku SNI Jilid VI diketuai Nugroho Notosusanto, dengan Sartono sebagai Ketua Editor Umum. Akibat perbedaan pendapat tentang metode dan cara penulisan, Sartono mengundurkan diri. Pada cetakan ke-4 buku SNI (1984) nama Sartono tidak lagi dicantumkan.

Kasus lain, kata Bonnie Triyana, Sartono diminta Moerdiono untuk mengoreksi Buku Putih mengenai peristiswa 1965. Dalam waktu yang sempit, 3-4 hari, Sartono pun memberikan kritik tajam soal metode yang harus berdasarkan fakta, tapi toh ternyata saran-sarannya tidak digubris.

Yang menarik adalah penilaian WG Remmelink –seperti dikutip P Swantoro— bahwa Sartono sangat menjaga obyektivitas ilmiah. Semula Remmelink menyangka bahwa pendekatan sosiologislah yang menjadikan tulisan-tulisan Sartono begitu obyektif dan ilmiah. Tapi perkiraan ini dibantahnya sendiri karena yang ia lihat, sejarawan yang menggunakan pendekatan sosiologis --semisal WF Wertheim-- justru sering marah-marah dan berat sebelah. Remmelink lalu menyimpulkan bahwa obyektivitas Sartono bukan terkait metode penelitian atau pendekatan ilmiah tetapi berakar pada karakter dan sifat Sartono.

Pertanyaan Remmelink selanjutnya, apakah kepribadian Sartono berhubungan dengan pendidikannya sebagai orang Jawa yang “halus”? Ia tidak menjawab pertanyaan ini tapi menyimpulkan bahwa, “Kehalusan tidak begitu berarti kalau tidak berakar pada karakter orang.” Swantoro sendiri menduga bahwa penelusuran lebih lanjut atas karakter Sartono akan sampai pada spiritualitasnya sebagai ‘yogi ilmu’ atau ‘asketisme intelektual’nya. Dan dikaji dari spiritualitas ini, menurut Swantoro, maka Sartono adalah seorang ilmuwan yang religius. Sikap hidupnya instropektif sehingga ia pertama-tama mengkaji dirinya sendiri dengan menempuh kehidupan yang asketis dalam menekuni maksimal pelaksanaan profesinya sebagai ilmuwan. Karena itu, simpul Swantoro, karya-karya profesional Sartono tidak saja bermanfaat bagi sesamanya tetapi sekaligus juga merupakan ‘silunglung’, sesuatu yang memberinya kekuatan, menemani dan menopang nya dalam perjalanannya di dunia fana ini menuju akhirat.

Ketiga, guru sejati. Menurut Baskara Wardaya, Sartono adalah seorang pendidik yang mencintai secara konkret anak-anak bangsa yang dititipkan padanya untuk digembleng, dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kepribadian. Ia adalah guru sejati yang konsisten sekaligus penuh dedikasi kepada anak didik maupun bangsanya. Ia setia menekuni ilmunya, ia tekun mengajarkan apa yang ia tahu, dan terus menuangkan apa yang ia tahu dalam wujud tulisan, bahkan hingga hari tuanya.Senada dengan itu, Haliadi-Sadi melihat bahwa sebagai guru, aspek substansial dan aspek pedagogis terpancar dalam gerak dan tutur kata Sartono.

Keempat, moto hidup yang sering dinasehatkannya, yakni jangan seperti pohon pisang yang hanya berbuah sekali. Setelah magnum opusnya dalam jagad studi sejarah pada tahun 1966 yakni ‘The Peasant Revolt of Banten in 1888’, Sartono merintis pendekatan baru dalam sejarah Indonesia.

Sumbangan utama Sartono pada historiografi Indonesia adalah Indonesiasentris yang menggantikan Neerlandocentris. Abdul Syukur menuturkan bahwa eforia Indonesiasentris sudah dilakukan setelah kemerdekaan tetapi kacau karena ternyata masih menggunakan sumber yang sama yakni karya Stapel yang berorientasi Neerlandocentris.

Pada 1951 --melalui Panitia Sejarah Nasional-- dan pada 1957 --melalui Seminar Sejarah Nasional pertama-- usaha Indonesiasentris kembali dilakukan tetapi gagal. Baru pada Seminar Sejarah Nasional kedua, menurut Syukur, generasi baru sejarawan Indonesia di bawah pimpinan Sartono membawa tiga perubahan besar dalam historiografi Indonesia. Perubahan tersebut, menurut Syukur, adalah mengalihkan perhatian historiografi Indonesia dari ‘sejarah politik’ ke ‘sejarah sosial’, menerapkan konsep-konsep ilmu sosial untuk melakukan rekonstruksi sejarah, dan menggunakan pendekatan multidimensional terhadap peristiwa masa lalu.

Sejarah naratif-deskriptif bagi Sartono, seperti dijelaskan Baskara Wardaya, sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks. Karena itu Sartono berusaha membuka perspektif bahwa ilmu sejarah bukan ilmu yang terpisah dari ilmu-ilmu sosial lain. Menurutnya, ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan pesat sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang sangat relevan untuk keperluan analisis historis.

Sedangkan William Frederick, teman kuliah Sartono di Universitas Yale, menegaskan bahwa bagi Sartono tidak ada kunci esensial atau penjelasan tunggal atas sejarah, karena sejarah merupakan hasil dari beragam penyebab dan harus dilihat dari beragam perspektif. Sikap yang sudah tampak dalam paper Sartono, 6 Maret 1963, yang kemudian menjadi disertasinya.

Hal lain, menurut Bonnie Triyana, disertasi Sartono merupakan karya sejarah Indonesia pertama yang mengangkat peran wong cilik ke atas panggung sejarah yang sebelumnya selalu diisi oleh kaum elite. Bagi Sartono, petani bukanlah nonfaktor dalam sejarah melainkan merupakan faktor yang mempunyai peranan menentukan (swing role) dalam politik modern. Senada dengan itu, Adrian Vickers mengatakan, sumbangan Sartono adalah menolak pandangan kolonial, dan menerapkan konsep analisis sosial untuk menjelaskan sejarah di tingkat akar rumput. Demikian pula bagi Baskara Wardaya, Sartono merintis penulisan sejarah yang tidak sibuk dengan dan sudut pandang dunia elite-penguasa di pusat kekuasaan melainkan yang mau menyelami meneliti kehidupan yang jauh letaknya dari lingkaran elite, misalnya para petani.

Buku ini tidak lepas dari sentuhan akademis. Sejumlah tulisan di bagian akhir merupakan studi sejarah. Tapi pada dasarnya ini buku human interest. Maka kita juga bisa menempatkannya sebagai buku self empowerment sebagaimana kisah-kisah keteladanan senantiasa menginspirasi untuk menjadi diri yang lebih baik.

Kisah-kisah Sartono Kartodirdjo dalam buku ini bukanlah rangkaian penuh gejolak seperti kisah petani-petani yang ditulisnya, tetapi tampil dengan sederhana dan tenang sebagaimana penampilan kesehariannya.

a. barata




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta