Judul : Salah Kaprah Bahasa Jawa. Kontroversi Benar-Salah Bahasa Jawa
Penulis : Mulyana, dkk
Penerbit : Narasi, 2007, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : 95
Ringkasan isi :
Salah kaprah banyak dijumpai dalam kehidupan bahasa dan sastra Jawa. Sesuatu hal yang sebenarnya salah tetapi sudah lazim digunakan, sehingga tidak terasa kalau hal tersebut sebenarnya salah. Faktor ketidaktahuan menjadi salah satu penyebabnya, dan hal ini sudah berlangsung sangat lama. Karena sudah mentradisi sering orang tidak menyadari kesalahan tersebut. Memang dunia salah tidak akan pernah seleh (berhenti). Meskipun ada ungkapan sapa salah bakal seleh (siapa yang salah akan berhenti), tetapi tidak pernah ada sapa salah kaprah bakal seleh.
Salah kaprah memang mengalir terus, tanpa pernah berhenti, dan seluruh lapisan masyarakat pasti mengenal. Dengan modal salah kaprah setiap orang bisa berinteraksi lebih intens dengan orang lain. Karena telah terbiasa, maka setiap orang yang memakainya tetap merasa benar (walaupun hal tersebut sebenarnya salah atau kurang tepat).
Buku ini menyajikan banyak contoh tentang istilah, tuturan dan ungkapan yang ternyata telah menjadi salah kaprah dan banyak dijumpai dalam pemakaian sehari-hari. Misalnya tulisan ojo (jangan), yang benar adalah aja . Hal yang sama pada kata loro (sakit), yang benar ditulis lara. Nelongso (sedih), yang benar ditulis nelangsa. Hal ini sesuai dengan kaidah tata tulis dalam bahasa Jawa. Penggunaan vokal /o/ lebih pada pengaruh penulisan dalam bahasa Indonesia.
Cumanthaka, cumantaka. Kedua kata tersebut sering hanya keliru dalam ucapan dan tulisan. Ejaan yang menggunakan th dengan tidak, yang membedakan rasa bahasa. Lidah Jawa biasanya gemar dengan th, lalu muncul cumanthaka yang berartu terlalu berani. Adapun cumantaka juga bermakna terlalu berani.
Durung suwe iki. Kesalahan terjemahan, misal “Durung suwe iki Indonesia didhapuk dadi negara koruptor”. Bentuk “durung suwe iki” merupakan terjemahan langsung dari “belum lama ini”. Idiom seperti itu tidak dikenal dalam bahasa Jawa. Bentuk yang dipakai (benar) dalam bahasa Jawa adalah “mentas”. Sehingga menjadi “Mentas wae Indonesia didhapuk dadi negara koruptor”.
Empun ngantos, ampun ngantos, sampun ngantos. Frasa “sampun ngantos” digunakan dalam ragam krama yang bermakna “jangan sampai”. Penggunaan frasa “empun ngantos” dan “ampun ngantos” merupakan varian yang terjadi dalam ragam percakapan. Dalam ragam tulis dan resmi, seharusnya digunakan frasa “sampun ngantos”.
Kula, kawula. “Kula” berarti “saya”, “kawula” berarti “rakyat”, “abdi”. Misalnya “Kula kalebet salah satunggaling warga Kecamatan Sewon” (Saya termasuk salah satu warga Kecamatan Sewon). “Menawa kepengin dadi kawulaning ratu, kudu manut kabeh dhawuhe” (Kalau ingin menjadi abdi raja, harus menurut segala perintahnya).
Dan masih banyak lagi contoh bentuk salah kaprah dalam buku ini.
Teks : Kusalamani.
Artikel Lainnya :
- Magersari dan Keistimewaan(10/09)
- 3 Maret 2011, Situs - SENDANG BOGEM DAN LEGENDA LAIN DI PANDAK, BANTUL (03/03)
- Pajimatan Imogiri: Makam Raja-raja Mataram(13/11)
- 28 April 2010, Perpustakaan(28/04)
- KOMRODEN, MENCATAT BATU(13/08)
- PEMANDU KURANG RAMAH(09/11)
- DAFTAR BUKU PERPUSTAKAAN RUMAH BUDAYA Tembi(04/11)
- 6 Juli 2010, Kabar Anyar - GELAR BUDAYA YOGYAKARTA 2010: MENGENALKAN KHASANAH BUDAYA KERATON YOGYAKARTA (KASULTANAN DAN PAKU ALAMAN)(06/07)
- KURSI KYAI JAGA DAN PRASASTI YANG TAK TERBACA DI JAGALAN, JOGJA(24/11)
- GAJAHAN, TEMPAT REKREASI ANAK-ANAK DI TENGAH KOTA YOGYAKARTA(01/01)