Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Nilai Filosofis Kidung Pakeliran

03 Oct 2008 11:19:00

Perpustakaan

Judul : Nilai Filosofis Kidung Pakeliran
Penulis : Dr. Soetrisno. R, M.Si
Penerbit : Adita Pressindoesti, 2004, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Halaman : viii + 148
Ringkasan isi :

Tembang atau kidung mempunyai arti yang sama yaitu syair yang dinyanyikan, (dalam bahasa Jawadisebut juga sekar) dapat menggunakan laras pelog ataupun slendro. Ada beberapa jenis kidung yang dilantunkan dalam uyon-uyon, karawitan atau yang ada kaitannya dengan pergelaran wayang kulit. Kidung-kidung tersebut yaitu tembang dolanan (jamuran, kidang talun, dan lain-lain), tembang tengahan (kusumastuti, girisa, pamularsih, dan lain-lain), tembang gedhe (basanta, citrarini, sarapada, dan lain-lain), tembang alit atau macapatan (asmarandana, durma, sinom, dan lain-lain). Nama tembang maupun penciptanya sering tidak ditulis secara jelas tetapi memakai bahasa sandi. Tembang macapatan adalah yang sering kita dengar. Seiap jenis tembang macapat mempunyai aturan-aturan yang sudah baku mengenai jumlah suku kata tiap baris, huruf hidup di akhir baris dan jumlah baris kalimat dalam setiap bait. Tembang tersebut antara lain untuk mengiringi pergelaran wayang purwa. Syair-syairnya banyak mengandung ajaran moral, nilai-nilai luhur, etika dan estetika. Perpaduan yang serasi antara etika dan estetika tersebut menyebabkan daya tarik yang tinggi pada penggemar pewayangan.

Banyak kidung tulisan pujangga masa lalu yang isinya masih relevan untuk diterapkan pada masa kini. Kidung-kidung tersebut sering diperdengarkan dalam pakeliran atau pertunjukan wayang. Misal Serat Kalatidha karangan Ranggawarsita dalam bentuk kidung sinom mengandung ajaran moral yang tinggi, terutama dalam menghadapi situasi yang tidak menentu, bagaimanakah seharusnya manusia bersikap. Serat Wedhatama karangan Sri Mangkunegara IV banyak mengajarkan tentang keutamaan hidup, manusia harus bersikap kesatria, sopan, rendah hati, saling menghormati dan menyayangi serta taat beribadah dan menjalankan perintah-perintah agama. Pakubuwana IV dalam Serat Wulangreh mengajarkan tentang lima sembah yaitu sembah/hormat kepada ibu dan bapak, mertua laki-laki dan perempuan, saudara yang lebih tua, guru dan Tuhan. Di samping itu manusia jangan bersikap sombong, tetapi harus rendah hati, jujur, jangan putus asa karena mengalami kesulitan. Serat Tripama karangan Sri Mangkunegara IV mengisahkan tiga pahlawan dalam cerita pewayangan yang pantas diteladani yaitu Patih Suwanda, Kumbakarna dan Adipati Karna. Ketiganya digambarkan mempunyai loyalitas dan dedikasi yang tinggi pada negaranya, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan keluarga. Dalam Serat Sasangka Jati diuraikan manusia agar menjadi baik harus bersikap rila/ikhlas, narima/menerima apa adanya tetapi bukan berarti tidak berusaha, temen/bersungguh-sungguh, sabar dan berbudi luhur. Serat Pustaka Raja Purwa mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus berjiwa dan berakhlak mulia, beramal tanpa pamrih, menepati janji dan bersikap adil. Serat Sastragendhing mengajarkan cara-cara tapa brata misal badan: tapanya berlaku sopan santun, zakatnya rajin berbuat kebaikan, nyawa (roh): tapanya berlaku jujur, zakatnya tidak mengganggu orang lain atau mencela, mata : tapanya mengurangi tidur, zakatnya tidak menginginkan kepunyaan orang lain, mulut : tapanya mengurangi makan dan minum, zakatnya tidak memperbincangkan keburukan orang lain.

Di samping kidung-kidung di atas ada ada pula kidung atau tembang gagrag anyar/kreasi baru yang mengalami perkembangan pesat. Penciptanya lebih bebas untuk berkreasi. Misal tembang berjudul Lumbung Desa dan Lesung Jumengglung, keduanya menceritakan kerukunan dan kegotongroyongan masyarakat pedesaan serta etos kerja dalam meningkatkan produksi padi untuk kesejahteraan. Tembang Ketawang Ibu Pertiwi ciptaan Ki Nartosabdo merupakan ungkapan syukur dan cinta tanah air serta bagaimana sikap yang baik terhadap tanah air.

Buku ini selain berisi uraian filosofis kidung atau tembang, juga memuat contoh-contoh kidung tersebut dalam bahasa Jawadan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Teks : Kusalamani



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta