Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Didik Nini Thowok. Menari sampai Lahir Kembali

01 Aug 2008 11:06:00

Perpustakaan

Judul : Didik Nini Thowok. Menari sampai Lahir Kembali
Penulis : Herry Gendut Janarto
Penerbit : Sana Media, 2005, Malang
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : vii + 218
Ringkasan isi :

Didik Nini Thowok adalah salah satu penari yang terkenal dari Yogyakarta. Ia lahir di rumah sakit bersalin Darmo Rini kampung Nggemoh Temanggung tanggal 13 November 1954. Pada akte kelahirannya tertulis dengan nama Kwee Tjoen Lian dari pasangan Kwee Yoe Tiang dan Suminah. Kelenturan tubuh dan keluwesan gerak Didik dalam hal menari sudah terlihat sejak ia duduk di bangku SR (Sekolah Rakyat). Ia suka menari asal-asalan di depan teman-temannya. Didik belajar menari secara serius kepada temannya di SMP bernama Sumiasih. Sekitar setahun Didik telah mampu menyerap sejumlah peran dan tarian penting dalam khasanah wayang orang. Didik kemudian belajar tari klasik gaya Surakarta pada Ibu Sumiyati seorang ahli tari klasik gaya Surakarta. Didi dengan cepat menyerap ajaran Ibu Sumiyati. Tidak puas hanya mempelajari tari Jawa, kemudian Didik belajar tari Bali pada Bapak Sugiyanto dan Bapak Kahari.

Ketika duduk di SMAN 1 Temanggung Didik belajar menari pada Bapak A.M. Sudiharjo (penari klasik dan pencipta tari kreasi baru). Didik juga mengikuti kursus tari di Kantor Pembinaan (Kabin) Kebudayaan Temanggung. Di sini ia mendapat banyak pelajaran tentang tari baik teori maupun praktek. Di tempat kursus ini ia akrab dengan jurus tari kreasi baru gaya Surakarta dan tari kreasi baru karya khas Bagong Kussudiardjo. Setelah kursus selama dua tahun Didik diangkat sebagai asisten guru tari.

Selulus SMA tahun 1973, Didik berhasrat melanjutkan ke ASTI Yogyakarta. Apa daya kesulitan ekonomi keluarga membuatnya gagal melanjutkan sekolah, tetapi hal ini tidak membuatnya putus asa. Berdoa dan berusaha itulah kuncinya. Untuk sementara ia menjadi tenaga honorer di Kabin Kebudayaan Temanggung dengan tugas mengajar tari di beberapa sekolah (SD dan SMP) dan anak-anak sekitar Temanggung. Selain mengajar Didik juga tampil menari di berbagai kesempatan.

Setahun berikutnya barulah Didik kuliah di ASTI Yogyakarta. Dalam waktu singkat Didik berhasil menyedot perhatian dosen dan mahasiswa lainnya. Didik dianggap memiliki keunikan tersendiri, yakni sebagai laki-laki tetapi luwes menarikan tarian wanita dan sekaligus gerak-geriknya yang jenaka. Prestasi Didik diam-diam dicatat oleh seniornya Bekti Budi Hastuti. Bekti adalah pencipta tari Nini Thowok sebagai syarat kelulusan sarjana muda. Bekti berperan sebagai boneka Nini Thowok sedang Sunaryo sebagai pawangya. Tari ini kemudian sering dipentaskan. Untuk menambah greget pertunjukan ditambah satu peran lagi yaitu dukun pembawa sesaji, dan yang dipilih adalah Didik. Geraknya yang genit, lincah dan jenaka mampu menarik perhatian. Bila Sunaryo tidak bisa ikut pentas perannya diganti Supriyadi. Tetapi karena Sunaryo mengundurkan diri dan Supriyadi sendiri juga sibuk, akhirnya peran pawang digantikan oleh Bambang Leksono Setyo Aji. Agar terdengar aksi mereka menyebut Bengkel Tari Nini Thowok dan ketiganya menyandang nama tersebut menjadi Tutik Nini Thowok, Bambang Nini Thowok dan Didik Nini Thowok (nama ini selanjutnya lebih terkenal dari pada nama Didik Hadiprayitno).

Di sela-sela kuliah Didik juga penuh semangat belajar tentang tari dan seluk beluknya misal di Padepokan Bagong Kussudiardjo, tari Sunda pada Endo Suanda, tari Bali pada Ngurah Suparta dan Raka Saba, tari Topeng Cirebon gaya Palimanan pada Ibu Suji. Penguasaan tarinya secara teknis mampu meloncat dari lingkungan Jawa ke ranah Bali, Sunda, Cirebon. Ini berarti pendalaman adaptasi secara total terhadap bentuk-bentuk tarian lain. Dan Didik melakukannya dalam totalitas tidak sekedar hafalan. Didik lulus Sarjana Muda ASTI tahun 1977 dengan nilai tertinggi B dan B+. Untuk materi ujian ia menyajikan Legong Bapang Saba (kategori klasik) dan Tengkorak Tandak (kategori kreasi baru).

Nama Didik Nini Thowok terkenal tidak lepas dari keunikannya tampil sebagai “penari perempuan”. Hal ini didukung oleh tampilan fisik Didik yang langsing, berkulit halus, jemari tangan dan kuku yang panjang lentik, berwajah lonjong ayu, berperilaku serba luwes dan lembut. Kondisi ini justru menjadi modal dan nilai plus untuk berekspresi dan berkreasi. Dan pada akhirnya Didik lebih terkenal sebagai penari “perempuan”. Didik memang bisa menarikan tarian dengan karakter gagah seperti tari Klana Raja, Lawung , tetapi hasilnya kurang maksimal terlihat kurang gagah dan kurang berwibawa. Tetapi keunikan Didik ini hanyalah ketika pentas. Ia menjadi “perempuan” ketika bertugas sebagai artis tari dan menjadi laki-laki kembali setelah melepas atribut tarinya. Perhatian Didik merambah pula ke sektor tata rias wajah dengan segala aksesorisnya termasuk tata busana untuk pergelaran tari dan keperluan rias pengantin. Bagi Didik penguasaan seni tata rias wajah sangat penting dan hal ini sangat mendukung dalam menapaki kariernya.

Memasuki tahun 1980 Didik berkeinginan mendirikan sanggar tari. Hari Sabtu, 2 Februari 1980 berdirilah Sanggar Tari Natya Lakshita yang dikelola secara profesional. Pengajar tarinya kebanyakan mahasiswa ASTI Yogyakarta. Di sela-sela kegiatannya yang padat akhirnya Didik berhasil menyelesaikan kuliahnya tahun 1983 sehingga berhak menyandang gelar Sarjana Seni Tari di belakang namanya. Sanggar Tari Natya Lakshita pun pada awalnya berpindah-pindah. Baru pada tahun 1983 ia memperoleh rumah KPR/BTN di Perumahan Rakyat Jatimulyo Baru Blok G -14, Yogyakarta. Tetapi banjir besar Februari 1984 memporakporandakan semuanya. Sekali lagi Didik tidak putus asa. Berdoa dan berusaha tetap menjadi kuncinya. Natya Lakshita jalan terus, order pun berdatangan baik dari dalam mau pun luar negeri. Akibatnya sebagai dosen ia sering ijin tidak mengajar. Karena seringya absen, Didik akhirnya memilih mengundurkan diri sebagai pegawai negeri (dosen ISI), untuk lebih bisa memfokuskan diri pada dunia yang dipilihnya.

Selaku pimpinan sanggar Didik mengendalikan dua jalur kegiatan yaitu kursus tari dan pentas-pentas untuk konsumen. Sejak tahun 1991 Sanggar Natya Lakshita difungsikan sebagai tempat untuk menjamu tamu atau turis asing. Dari berbagai order dan jerih payahnya tahun 1992, Didik mampu membeli sebuah ruko (rumah toko) dua lantai di Green Plaza Kavling 7 Jalan Godean, km. 2,8 Yogyakarta yang difungsikan sebagai studio/sanggar tari sekaligus kantornya. Didik yang kalau berpentas berperan sebagai perempuan (makhluk yang digambarkan lemah lebut), selaku pimpinan sanggar sangatlah disiplin, manajemen harus berjalan dengan baik.

Sebagai seniman tari Didik tidak pernah berhenti untuk berkreasi. Tari Dwimuka adalah salah satu karya unggulannya. Tari yang menggambarkan dua karakter yang berbeda dalam diri manusia yakni baik dan buruk. Hal ini disimbolkan dengan dua wajah penarinya, wajah bertopeng dan wajah aslinya.

Seiring perjalanan waktu Didik pun menyadari bahwa kekuatan dan kelebihannya sebagai penari tiada lain memang berada di jalur atau sektor humor. Hal ini kemudian ia kelola menjadi komuditas dunia hiburan tanpa harus kehilangan bobot dan kualitas seni tari itu sendiri. Postur tubuhnya yang tipis jangkung tampak lentur untuk “dilipat-lipat” dan “ditekuk-tekuk” sesuka hati, kedua tungkai dan lengan tangannya yang panjang terlihat amat mudah “dianyam” atau “dipilin”. Juga kemampuan memainkan mimik atau raut muka. Walaupun karyanya kebanyakan bersifat humor Didik juga pandai menciptakan tari yang bersifat “serius” seperti tari Dwimuka dan tari Reinkarnasi (komposisi tari ini memuat tema psikologis yang sangat kuat ingin merefleksikan perjalanan batin sekaligus perjalanan kariernya). Dalam konsep karya tarinya, Didik selalu mengungkap lewat tata rancang desain gerak, properti, rias wajah dan aksesoris busana yang dilakukannya dengan teliti. Sebagai penari, pencipta tari dan penata tari, Didik merasa bersyukur karyanya bisa dinikmati masyarakat luas.

Sebagai seniman tari Didik tidak pernah henti-hentinya berkarya dan belajar. Setiap ada kesempatan ia selalu belajar bahkan sampai ke luar negeri. Tahun 2000 Didik ke Jepang untuk mempelajari Noh Drama. Pelan tetapi pasti ia memahami tari Yuya, Momiji Gari dan Hagoromo (jubah terbang) yang ada pada Noh Drama. Di samping itu ia juga mempelajari Nihon Buyo (tari tradisional Jepang) Ada tiga tarian yang diakrabinya yaitu Kiku Zukusi, Kyono Sikhi dan Fuji Musume. Kembali ke tanah air Didik “mengawinkan” kisah Jaka Tarub dengan Hagoromo dalam bentuk tari bedhaya. Setelah melalui berbagai proses lahirlah Bedhaya Hagoromo.

Sekalipun sudah memiliki nama yang sangat terkenal dan sudah menjelajah lima benua, Didik tetaplah sosok yang sederhana dan merakyat. Ia bisa bergaul dengan siapa saja. Ia juga bersedia berpentas untuk pertunjukan di luar tari misal ketoprak, wayang dan lain-lain.

Buku ini memang sangat menarik, memaparkan perjalanan hidup Didik Hadiprayitno atau Didik Nini Thowok dari kecil hingga menjadi seniman terkenal, dengan segala suka dukanya. Lebih menarik lagi karena adanya berbagai foto Didik yang disertakan.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta