Asmat, Kekayaan yang Masih Terpinggirkan

05 Sep 2015

Sekitar 90 foto yang dipamerkan Satunama di Java Poetry, Sagan, Yogyakarta dengan tajuk ‘Mengeja Asmat’ ini banyak memancarkan keoptimisan. Wajah-wajah yang ceria, senyum yang mengembang, alam yang ramah, dan semacamnya. Berenang di kali yang jernih, lomba berperahu, menangkap ikan, membuat perahu panjang yang menyiratkan keakraban mereka dengan sungai.

Belakangan ini, istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lebih sering didengungkan, tidak lagi semata Republik Indonesia. Memang tidak mengada-ada jika persoalan kesatuan bangsa masih rentan. Ada ketidakadilan kue pembangunan yang sangat dirasakan terutama oleh masyarakat Indonesia bagian timur. Salah satunya etnis Papua, dan salah satu di antara etnis Papua adalah suku Asmat.

Setelah menjadi Kabupaten Asmat pada tahun 2003, persoalan yang dihadapi suku yang namanya sama dengan nama kabupaten ini masih mendasar. Baik ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun kebudayaan. Ditetapkannya Papua sebagai daerah otonomi khusus pada tahun 2001 memang membuat kucuran dana dari pusat ke daerah ini cukup besar tapi basis ekonomi mereka masih subsisten. “Setiap keluarga masih bergantung pada bantuan pemerintah setiap bulan,” kata Asep Nanda Paramayana dari Yayasan Satunama, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendampingi suku Asmat sejak 2006. Besarnya bantuan itu, kata Asep, sekitar satu juta rupiah.

Alam Asmat sebenarnya masih sangat kaya. Ikan masih mudah ditangkap. Oleh orang Asmat, kata Asep, ikan-ikan itu dijual lalu dibelikan sarden kalengan. Alasannya, rasa ikan sarden kalengan lebih enak. Ikan-ikan yang ditangkap memang biasanya hanya dibakar dan dibumbui seadanya. Selain sarden, hasil bumi sagu sering mereka tukar dengan mi instan.

Asep dan kawan-kawannya mendampingi mereka untuk mengoptimalkan hasil bumi yang bisa digarap. Termasuk kembali mengonsumsi sagu sebagai makanan utama yang tergeser oleh politik beras sejak zaman Orde Baru. Menurut Asep, pohon sagu membesar selama 15 tahun. Waktu yang sangat lama tapi di wilayah Asmat masih sangat banyak pohon sagu di hutan yang luas. Pohon sagu ini ada dalam foto yang dipamerkan Satunama di Java Poetry, Sagan, Yogyakarta, pada Agustus lalu. Batang pohon yang berdiameter besar, dan tentunya menjadi sumber pangan yang kaya. Tidak hanya sagunya yang bisa dimakan tapi juga ulat-ulat di pohon ini. Ulat sagu meski bentuknya agak “menjijikkan” tapi enak dan bergizi.

Potensi Asmat lainnya adalah keahliannya membuat patung yang terkenal di dunia. Sayangnya, kata Asep, pembuat patung Asmat harus turun-temurun, padahal tidak setiap keturunan mau menekuni pembuatan patung. Jadi jumlah pematung semakin berkurang. Persoalannya juga tidak sekadar jumlah tapi mutu. Di tengah derasnya permintaan pasar, patung Asmat cenderung menjadi kerajinan. Hanya mengikuti pola dan model yang diinginkan pemesan. Padahal dulu, kata Asep, pematung menciptakan karyanya berdasarkan mimpi. Jadi sangat pribadi, otentik dan unik.

Persoalan lain yang dihadapi Asmat adalah persoalan gender. Kaum perempuan yang lebih banyak bekerja. Kaum pria, kata Asep, biasanya di rumah atau berburu. Ditambah lagi soal masih sedikitnya anak-anak Asmat yang mengenyam pendidikan formal. Fasilitas kesehatan masih di bawah standar.

Toh sekitar 90 foto yang dipamerkan dengan tajuk ‘Mengeja Asmat’ ini banyak memancarkan keoptimisan. Wajah-wajah yang ceria, senyum yang mengembang, alam yang ramah, dan semacamnya. Berenang di kali yang jernih, lomba berperahu, menangkap ikan, membuat perahu panjang yang menyiratkan keakraban mereka dengan sungai. Begitu juga arsitektur dan interior gereja dan masjid yang menampakkan sentuhan lokal.

Artinya, sebenarnya Asmat menyimpan banyak potensi untuk maju dan berkembang dengan mempertimbangkan unsur-unsur budaya dan alam yang mereka punya. Di usia kemerdekaan NKRI yang ke-70 ini, Asmat, Papua, Indonesia bagian timur adalah pekerjaan rumah yang masih sangat jauh dari selesai.

Naskah dan foto: Barata

Asmat, Papua, NKRI Asmat, Papua, NKRI Asmat, Papua, NKRI Asmat, Papua, NKRI Berita BUDAYA

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 09-09-15

    STAT Kembali Pentas

    Sanggar Tari Anak Tembi (STAT) kembali ikut memeriahkan perhelatan kesenian di Yogya. Kali ini STAT tampil di panggung Festival Kesenian Yogyakarta (... more »
  • 09-09-15

    Geguritan Tak Berhen

    Beberapa penyair sekaligus penggurit tampil membacakan geguritan karya Bambang Nugroho. Selain itu ada aktor teater Gandrik, Jujuk Prabowo ikut... more »
  • 09-09-15

    Indonesian Voice, Pe

    Fortunata Tyasrinestu menyatakan bahwa sekolah adalah Indonesia mini dimana perbedaan di dalamnya adalah keniscayaan yang patut disyukuri. Paduan... more »
  • 08-09-15

    Pameran Foto Nusa Ba

    Berkabar melalui foto, itulah barangkali yang dilakukan para jurnalis foto kelompok Pewarta Foto Indonesia (PFI), dalam pameran foto bertajuk Nusa... more »
  • 08-09-15

    Upaya Menjaga Ingata

    Kini sudah 19 tahun kematian Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin, wartawan harian Bernas Yogyakarta, yang tewas dibunuh pada tahun 1996, namun proses... more »
  • 07-09-15

    Rekaman Kala Pelaut

    Dari pameran bertema “Black Armada Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945—1949”, bertempat di Benteng Vredeburg Yogyakarta, itu dapat... more »
  • 07-09-15

    Mengusahakan Tentera

    Dalam arti luas merti dusun dimaknai sebagai upacara syukur atas berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman yang telah dan akan selalu... more »
  • 05-09-15

    Aming Aminoedhin Pen

    Di Surabaya, Aming dikenal sebagai penyair, yang menulis puisi dalam dua bahasa, Indonesia dan Jawa. Jadi, selain dikenal sebagai penyair, Aming juga... more »
  • 05-09-15

    Hari Baik dan Hari B

    Orang yang lahir pada Rabu Legi, usia 0 s/d 12 tahun, adalah ‘PA’ Pandhita, baik. Usia 12 s/d 24 tahun, adalah ‘HA’ Hajar, tidak baik. Usia 24 s/d 36... more »
  • 05-09-15

    Buku Ramayana Terbit

    Buku berbahasa Jawa terbitan Bale Poestaka tahun 1937 ini, yang menjadi koleksi Perpustakaan Tembi, berisi tentang kisah Ramayana, yang cukup lengkap... more »