Lintang Panjer Wengi, Antologi Puisi 90 Penyair Yogya
Author:editortembi / Date:03-04-2014 / Buku antologi puisi yang memuat karya 90 penyair Yogya, Sabtu, 29 Maret 2014, diluncurkan di Taman Budaya Yogya, Jalan Sri Wedari 1. Dalam buku itu dipilah dua kategori generasi penyair berdasarkan tahun kelahiran. Tahun kelahiran 1971-1991 ada 53 penyair dan kelahiran tahun 1939-1969 ada 37 penyair.
Beberapa penyair kelahiran 1991-1971
Buku antologi puisi yang memuat karya 90 penyair Yogya, Sabtu, 29 Maret 2014 diluncurkan di Taman Budaya Yogya, Jalan Sri Wedari 1. Dalam buku itu dipilah dua kategori generasi penyair berdasarkan tahun kelahiran. Tahun kelahiran 1971-1991 ada 53 penyair dan kelahiran tahun 1939-1969 ada 37 penyair.
Iman Budhi Santosa dan Mustofa W Hasyim selaku editor mengaku terpaksa melakukan seleksi, karena di Yogya ada banyak penyair, dan 90 penyair ini hanyalah jumlah yang sedikit.
“Yang kita tampilkan adalah penyair yang masih hidup,” kata Iman Budhi Santosa.
Launching antologi puisi ini tidak ditandai dengan membaca puisi dari semua penyair itu, tetapi beberapa penyair diminta untuk menandatangani poster puisi yang dipajang di depan panggung, dan pengantar dari Prof Dr Suminto Sayuti, guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta, yang sekaligus adalah seorang penyair.
Bagi Suminto Sayuti, upaya penerbitan buku sastra dapat diperhitungkan sebagai upaya membendung proses pengikisan yang bisa berakibat hilangnya budaya alfabetik sebagai salah satu ‘bencana kemanusiaan’.
Suminto menjelaskan, kata-kata dalam puisi, pada sisi lain, mampu menyampaikan pesan-pesan dan tanda-tanda keabadian mengenai hati nurani manusia lewat imaji-imaji dan simbol-simbol puitik.
“Bahkan, ketika terjadi penelikungan pikiran yang harus tunduk-patuh secara total pada kekuasaan politik, puisi pun mewujudkan dirinya sebagai benteng terakhir kebebasan dan kemerdekaan: dalam puisi, kedirian manusia hadir sebagai sosok manusia yang memiliki kedaulatan penuh atas dirinya,” kata Suminto Sayuti.
Antologi puisi yang diberi judul “Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya” menyajikan tidak kurang dari 350 puisi karya 90 penyair yang pernah, tengah dan terus berproses di Yogyakarta. Antologi puisi ini diterbitkan Pesan Trend Budaya Ilmu Giri.
Beberapa penyair kelahiran 1969-1939
“Harus diakui, Yogyakarta menyimpan potensi dan kasunyatan berlipat kali lebih besar dari yang kasat mata. Ada ratusan sastrawan (penyair) beserta ribuan karya sastra termasuk puisi yang sempat mewarnai kehidupan budaya Yogya dari masa ke masa,” kata Iman Budhi Santosa.
Penyair paling tua dan masih aktif menulis puisi ialah Rahmat Djoko Pradopo, lahir 3 November 1939, dan seorang guru besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Pak Djoko, demikian panggilannya, sebagai pengajar banyak menerbitkan buku sastra berupa teori, kritik dan karya sastra lainnya.
Penyair paling muda, Dea Anugerah, lahir di Pangkal Pinang, Pulau Bangka, 27 Juni 1991. Disusul Mohammad Aswar, lahir di Marena, Enrekang, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1991. Selebihnya penyair muda yang lahir tahun 1990-an dan sebelumnya sampai penyair yang lahir tahun 1971.
Dilihat dari biografi penyair yang ditulis pada bagian belakang antologi puisi ini, kebanyakan penyair lahir di luar Yogya dan tinggal serta berproses di Yogyakarta. Dari penyair muda sampai penyair paling tua, lahir bukan di Yogya, tetapi menetap di Yogya dan sebagai warga Yogya.
Kalau kita lihat ke belakang, sejak kepenyairan mulai tumbuh di Yogya, pada masa Persada Studi Klub asuhan Umbu Landu Paranggi, penyair yang aktif adalah penyair dari luar Yogya dan sedang belajar di kota pelajar ini, meski akhirnya menetap di Yogya seperti Emha Ainun Najib, Iman Budhi Santosa, dan Suminto Sayuti. Namun ada penyair lainnya yang meninggalkan Yogya dan pergi ke Jakarta seperti Korie Layun Rampan.
Tentu saja, antologi puisi 90 penyair ini bukan yang pertama di Yogya, karena sebelumnya ada antologi lainnya, misalnya antologi puisi penyair Yogya “Tugu” dengan editor (alm) Linus Suryadi, dan antologi puisi “Sembilu”. Antologi kali ini menyertakan banyak penyair muda. Dari antologi puisi ini membuktikan bahwa puisi tidak pernah mati di Yogya.
Ons Untoro
Foto: Umi Kulsum
Latest News
- 05-04-14
Pasinaon Basa Jawa K
Pancen menawi dipun tandhingaken kaliyan jaman rumiyin, undha-usuk basa Jawi samenika langkung ringkes. Dene ing jaman rumiyin undha-usuk basa Jawi... more » - 05-04-14
Jejak Pahlawan Nasio
Hari besar tersebut untuk mengenang jasa-jasa besar dia yang berusaha memajukan pendidikan wanita agar setara dengan pria. Hal itu dilatarbelakangi... more » - 05-04-14
Kesuksesan dan Kesej
Orang Wuku Tolu kokoh pendiriannya, teliti, serius dalam pembicaraan dan sabar, namun sedikit sombong dan mau berbohong. Agar terhindar dari mara... more » - 05-04-14
Sang Hyang Patuk Ber
Banyak orang mengira bahwa anak nomor dua yaitu Sang Hyang Patuk dan anak nomor sembilan yaitu Batara Temboro lahir kembar, karena wajah keduanya... more » - 04-04-14
Judul Buku 90
... more » - 04-04-14
Menjelajah Nusantara
Apalagi koleksi kopi di Tirana akan terus ditambah. Dalam waktu dekat ini, akan datang anggota baru dari Toraja dan Papua. Kopi Toraja sudah banyak... more » - 04-04-14
Stasiun Winongo, Sal
Stasiun Winongo dibangun sekitar tahun 1874. Stasiun ini dibangun sebagai rangkaian dari rute kereta api yang dikembangkan NISM/NIS (Nederlands... more » - 03-04-14
Empat Tahun Perjalan
Panggung Musik Tradisi Baru (MTB) menjadi benang merah sekaligus penanda visi Forum Musik Tembi (FMT) untuk memberi ruang kreatif bagi para musisi... more » - 03-04-14
Lintang Panjer Wengi
Buku antologi puisi yang memuat karya 90 penyair Yogya, Sabtu, 29 Maret 2014, diluncurkan di Taman Budaya Yogya, Jalan Sri Wedari 1. Dalam buku itu... more » - 03-04-14
Sensasi Blusukan den
Naik andong bagi orang kota tentulah merupakan sensasi tersendiri. Betapa tidak. Karena begitu kaki penumpang menginjak foot step, untuk bisa naik ke... more »