Tembi

Yogyakarta-yogyamu»YOGYA POLUSI IKLAN

01 Jan 2008 04:34:00

Yogyamu

YOGYA POLUSI IKLAN

Menyusuri Yogya pastilah akan bertemu beragam iklan. Sehingga, siapapun yang hendak menikmati estetika Yogya, mungkin akan terganggu terhadap display iklan. Bukan hanya di tengah kota “pertunjukkan iklan” itu bisa ditemukan. Di sudut ring road, khususnya di perempatan ring road, misalnya perempatan ring road jalan Parangtritis, jalan Bantul, jalan Godean, jalan Gamping, jalan Condong Catur, jalan Wonosari, iklan-iklan dalam ukuran besar tersebut mudah sekali dilihat. Pengendara kendaraan, dengan sendirinya melihat bermacam jenis iklan yang sifatnya demonstratif.

Tahun 1970-an, iklan-iklan yang mudah ditemukan kebanyakan adalah jenis spanduk. Sampai akhir tahun 1980-an, spanduk-spanduk melintang di tengah jalan. Hampir mudah menemukan spanduk dipasang di jalan-jalan utama kota Yogya. Misalnya, di kawasan jalan Maliobroo, di jalan Senapati, Jalan Sultan Agung, jalan Ahmad Dahlan, jalan Mataram, Jalan Sudirman dan sejumlah ruas jalan lainnya. Spanduk adalah trend iklan pada masa itu. Ada juga jenis baliho yang dibuat dari triplek. Biasanya jenis Baliho ini diletakkan di halaman luar Sport Hall Kridosono dan tempat-tempat lain yang space-nya tersedia cukup luas.

Namun iklan-iklan sekarang formatnya jauh lebih maju dan secara estetis memang bagus. Iklan-iklan sekarang lebih banyak full collour dan dibuat tidak secara manual, melainkan dalam bentuk print out. Jadi, secara teknis diolah melalui komputer, dan hasilnya berupa print out.

Kapan anda melewati jalan menuju kawasan Malioboro melalui jalan Abubakar Ali, Kotabaru, atau melalui kleringan, pastilah akan menemukan iklan yang ukurannya besar dan “menggoda” pandangan. Bahkan di kawasan Abubakar Ali memasuki malioboro terdapat videotron, yang tidak sepi dari iklan hidup dalam ukuran yang besar. Sehingga pengguna jalan yang berhenti di lampu merah biasanya akan melihat videotron itu. Di Perempatan jalan Sudirman, yang lebih dikenal dengan sebutan “perempatan Gramedia”, iklan-iklan besar mudah sekali dilihat dan menutupi bangunan dibelakangnya.

Polusi yang ada di Yogya tidak hanya udara, tetapi rupanya, iklan-iklan ukuran besar juga telah menjadi “polusi”. Orang tidak lagi bisa menebar pandangan secara lega. Sebab, ruang yang serasa lega telah diisi oleh iklan-iklan besar. Selain itu, iklan-iklan ukuran kecil bisa pula ditemukan, biasanya berjejer dan jumlahnya banyak. Jadi, iklan-iklan kecil dalam jumlah yang tidak sedikit adalah bagian dari “polusi” udara.

Orang tahu, iklan-iklan dalam ukuran besar itu adalah bagian dari kapitalisme. Publik “dipaksa” untuk “memperhatikan” produk iklan di satu kota, yang konon dikenal sebagai kota budaya dan telah “diisi” beragam jenis iklan. Dalam kata lain, iklan-iklan adalah cara lain untuk menyampaikan hasil produksi satu industri, termasuk iklan universitas, agar publik mengenali rupa produknya, untuk kemudian –ini yang diharapkan—menjadi relasi –untuk tidak menyebut pembeli—hasil produksi yang diiklankan tersebut.

Sebagai ruang publikasi, rupanya Yogya tidak berbeda dari kota-kota lain. Dan di mana Yogya kota budaya bisa diletakkan? Inilah problemnya.

Ons Untoro





Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta