Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya

18 May 2008 10:21:00

Perpustakaan

Judul : Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya
Penulis : Imam Subkhan
Penerbit : Impulse dan Kanisius
Tahun : 2007
Halaman : 142
Ringkasan isi :

Tahun-tahun belakangan ini pluralisme menjadi kata yang banyak diperdebatkan di Indonesia. Pada 27 Mei ini, misalnya, google mencatat 391.000 situs yang memuat kata ‘pluralisme Indonesia’. Pluralisme menjadi entri penting dalam kamus besar negara multikultural seperti Indonesia. Dan agaknya semakin penting di masa mendatang.

Perdebatan wacana pluralisme di negeri ini lebih terfokus pada masalah agama. Salah satu puncaknya adalah keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005 yang melarang pluralisme, bersama dengan liberalisme dan sekularisme.

Dalam konteks ini, Yogya tidak terlepas dari pusaran tarik-tolak antara pendukung dan penolak pluralisme. Apakah peran Yogya cukup signifikan dikaitkan dengan perdebatan ini? Setelah membaca buku Imam Subkhan ini, jawabannya ‘ya’.

Buku ini menuturkan bahwa dalam sejarahnya, Yogya menjadi tempat kelahiran sejumlah organisasi agama yang penting. Yang ‘klasik’ adalah Muhammadiyah (1912), Himpunan Mahasiswa Islam (1947), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (1947), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1962). Kemudian pada 1990-2000-an muncul Institut DIAN (Dialog Antar-Iman di Indonesia)/Interfidei (1992), Laskar Jihad – Forum Komunikasi Ahli Sunnah Wal Jamaah (2000) dan Majelis Mujahiddin Indonesia (2000).

Karena itu, yang menarik, menurut Subkhan, Yogya menjadi pusat gerakan yang dianggap radikal dan fundamentalis yang antipluralisme, juga sekaligus menjadi tempat berkembangnya gerakan ide dan praksis pluralisme. Ia mengibaratkan Yogya seperti sebuah hidangan prasmanan besar tempat segala menu gerakan sosial ada (h 75).

Imam --alumnus Pascasarjana UGM bidang antropologi, dan bekerja di Ombudsman Swasta Yogyakarta-- mengangkat profil dua organisasi keagamaan yang penting di Yogya sebagai studi kasus dinamika pluralisme di kota ini. Keduanya adalah Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) yang mengusung pluralisme, dan Front Umat Islam (FUI) yang antipluralisme. Selama ini keduanya terkesan tampil berseberangan.

FPUB

FPUB lahir pada 1997 di Pondok Pesantren Putri Nurul Umahat, Kota Gede sebagai keprihatinan atas berbagai kerusuhan dan perusakan rumah ibadah yang diklaim bermotifkan agama dan etnis, seperti kerusuhan di Surabaya, Situbondo, Tasikmalaya, Sambas dan Jakarta. Pada masa Orde Baru, organisasi ini sempat digolongkan rezim Soeharto sebagai OTB (organisasi tanpa bentuk), bagian dari gerakan makar terhadap pemerintah.

Slogan FPUB adalah “tumbuhnya persaudaraan sejati”. Bersaudara artinya ‘berse-udara’. Artinya, melihat sesama manusia tanpa melihat suku, etnis, bangsa dan agama.

Pluralisme yang melembaga dalam persaudaraan sejati melingkupi semua aktivitas FPUB dalam rangka mencapai visi dan misi mereka, yaitu menuju Indonesia yang damai yang berdasarkan penghargaan terhadap kemanusiaan, multikulturalisme, kebhinekaan dengan semangat sosial dan spiritualitas kebangsaan yang kuat (h 93).

Ketua FPUB KH Abdul Muhaimin menyebut keberagaman bangsa ini sebagai rahmat Allah SWT yang patut disyukuri. Seorang yang menolak pluralisme dan menginginkan keseragaman, menurutnya, menolak kodrat manusia itu sendiri, yang sudah diterangkan dengan jelas dalam kitab suci. Pendiri FPUB Romo Suyatno Hadiatmodjo mengibaratkan pluralisme di Indonesia sebagai taman. Bukan taman namanya kalau hanya ada satu macam tanaman (h 94).

Forum organisasi ini terdiri dari para pemimpin umat yang memiliki basis komunitas di lapangan, seperti kiai, pendeta, pastur, bhiku dan pedande, bersama dengan umat masing-masing. Kegiatannya lebih bersifat sharing pengalaman tentang dinamika hubungan antar-agama di tempat masing-masing, dan berefleksi bersama tentang pengalaman-pengalaman tersebut dalam bentuk komunikasi dialogis, doa bersama dan membentuk jaringan. Semua persoalan yang dulu dianggap tabu, dibuka dan didiskusikan dalam forum ini. Tempatnya bergantian di pusat komunitas umat masing-masing, baik gereja, pesantren, vihara, pura, maupun klenteng (h 78-79).

Ada dua cara yang ditempuh FPUB untuk mempraksiskan pluralisme. Pertama, mengkontekstualisasikan ajaran masing-masing agama dengan mencari ‘common ground’ dalam medan sosial. Pada perayaan Paskah, misalnya, pemuka agama lain terlibat dan ikut berkhotbah dalam peringatan itu. Paskah dimaknai FPUB sebagai kebangkitan bersama. Kedua, melakukan dan menciptakan ruang interaksi sosial antar pemeluk agama dan kepercayaan berbeda-beda. Orang Islam dibuat tidak canggung untuk membersihkan gereja, dan orang Kristen menjadi tidak ragu membersihkan masjid (h 95-96).

Sebagai organisasi lintas agama, FPUB tidak hanya berkutat pada persoalan hubungan antar-agama tetapi juga pada perjuangan dan komitmen sosial. Misal, memberi sumbangan saat krisis moneter 1997 --yang awalnya dicurigai sebagai upaya kristenisasi-- dan saat gempa bumi 2006 (h 82 & 87). FPUB juga menjadi inisiator pembentukan Tim Relawan Yogyakarta yang memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan reformasi damai 1998 di Yogya.

Sampai saat ini FPUB tetap kukuh menempatkan dirinya sebagai forum lintas agama yang gencar mempromosikan wacana pluralisme, praktik toleransi, dialog antar-agama dengan perspektif perdamaian (h 86). Menurut Subkhan, berkat FPUB, sekarang banyak orang menyadari bahwa persaudaraan sejati tidak sekadar berarti asal tidak ada perseteruan, melainkan sikap menerima dan menghormati kelompok-kelompok agama lain dengan tulus, tanpa mempedulikan latar belakang dan mengejawantah dalam pergaulan hidup sehari-hari mereka (h 96).

Kini, bermula dari FPUB, sejumlah organisasi serupa bertumbuhan di daerah lain, antara lain di Magelang, Kartasura Sukoharjo, Salatiga, Ambarawa, Malang, Surabaya, Purwodadi, dan Boyolali. Di Yogya sendiri, menurut Subkhan, FPUB mendapat dukungan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, setidaknya dari kehadirannya dalam beberapa acara FPUB. Pada tahun 2000, organisasi ini mendapat penghargaan Tasrif Award yang diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

FUI

FUI DIY dirintis sekitar tahun 1997. Ada dua versi tentang pendiriannya. Pertama, pendirian FUI terinspirasi dari tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta, seperti Yunan Nasution, Husain Umar dan Anwar Harjono. Kedua, FUI diinisiasi oleh MUI karena pada saat itu sudah ada prakarsa serupa di tingkat pusat, yakni Forum Ukhuwah Islamiyah MUI. Maka kemudian MUI memfasilitasi pembentukan FUI DIY pada akhir tahun 1990-an (h 108-109).

FUI merupakan forum lintas ormas Islam. Tujuannya adalah mewujudkan ‘ukhuwah Islamiyah’ dalam rangka untuk kemaslahatan umat Islam. Forum ini menjadi sarana untuk menyamakan pemahaman dan mengkoordinasikan aksi bersama untuk merespon kondisi-kondisi eksternal yang dianggap membahayakan akidah dan moral umat Islam. Ada tiga isu utama yang selalu mendapat respon dari FUI, yakni isu kristenisasi, isu anti-Amerika, dan isu moralitas (h 110).

Konsep yang dipegang FUI adalah konsep “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS Al Kafirun: 6). Ketua FUI Prof Dr Ahmad Mursyidi menjelaskan bahwa ia setuju dengan isu plural namun keyakinan orang Muslim tidak boleh pluralis. Untuk mengakui sebuah pluralitas, bersikap toleran dan menghargai pemeluk agama lain tidak perlu menjadi penganut pluralisme (h 122). “Isme Islam ya tetap Islam, isme Kristen ya Kristen,” tegasnya (h 120).

FUI juga melihat ormas besar, seperti Muhammadiyah dan NU, mulai banyak disusupi pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Mereka melihatnya dari sikap para tokoh ormas Islam yang permisif terhadap isu-isu yang mengancam akidah umat Islam, seperti kristenisasi (h 123).

Gerakan yang pernah dilakukan FUI antara lain adalah gerakan anti sekolah Nasrani, memerangi penyakit masyarakat, mendukung RUU Sisdiknas 2003, dan membatalkan Jogja Festival 2007.

Dalam gerakan anti sekolah Nasrani, FUI menyimpulkan bahwa sekolah non-Islam menjadi sarana efektif untuk melakukan pendangkalan akidah anak-anak dan generasi muda Muslim. Menurut catatan FUI pada tahun 2000, ada sekitar 16.000 siswa Muslim yang bersekolah di sekolah Nasrani di Yogya. Padahal, menurut mereka, makin banyak lembaga pendidikan Islam yang kualitasnya tidak kalah dengan sekolah Nasrani.

Selama tahun 2001-2003, FUI melakukan kampanye anti-sekolah Nasrani bagi siswa dan orang tua Muslim di Yogya. Selain menyelenggarakan lomba spanduk antar-masjid yang menyerukan anti-sekolah Nasrani, FUI membuat dan mendistribusikan direktori sekolah Nasrani yang tidak boleh dimasuki para siswa Muslim. MUI DIY kemudian juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan kaum Muslim bersekolah di lembaga pendidikan Nasrani (h 110-113).

Program lain adalah memerangi penyakit masyarakat, yang disingkat Pekat. Mereka memerangi peredaran minuman keras, praktik prostitusi, narkoba, pornoaksi dan pornografi, terutama menjelang bulan Ramadhan. Sebagai reaksi, Walikota Yogya mengeluarkan peraturan tentang pengaturan pembukaan hiburan malam pada bulan Ramadhan, yang juga mengatur dana bantuan kesejahteraan bagi pekerja tempat hiburan malam yang tutup selama bulan puasa sebesar 50%. Kini, menurut salah seorang tokoh FUI, Yogya sudah relatif bersih. FUI juga gencar melakukan lobi dengan para pengambil kebijakan, terutama DPRD (h 113-114).

FUI juga mendukung RUU Sistem Pendidikan Nasional pada tahun 2003 yang kontroversial itu. Pasal 13 RUU ini mengatur hak anak didik untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agamanya masing-masing (h 114).

Aksi FUI lainnya adalah memprotes Jogja Festival, yang rencananya diselenggarakan pada akhir Mei 2007. Acara ini merupakan event pengobatan massal oleh Dr Peter Youngren, penginjil kenamaan asal Kanada yang diyakini memiliki kekuatan spiritual menyembuhkan. Bagi FUI, acara ini merupakan bagian dari permutadan terselubung. Protes FUI diikuti oleh sejumlah ormas lainnya di Mapolda DIY, 29/5/07. Akhirnya Polda DIY tidak memberikan izin kegiatan Jogja Festival (h 115-117).

Ada tiga bentuk gerakan yang paling sering dilakukan FUI, yakni aksi demonstrasi, lobi dan membangun opini publik. Demonstrasi paling sering dilakukan, dengan tempat favorit di Gedung DPRD DIY. Lobi dilakukan secara formal dan informal dengan para pengambil kebijakan di Yogya, baik legislatif, eksekutif maupun kepolisian. Opini publik dilakukan melalui media massa dan forum-forum milik FUI. Dalam melakukan aksinya, FUI banyak terbantu melalui aliansi dengan organisasi Islam lainnya. Untuk dukungan massa, misalnya, utamanya diperoleh dari Forum Silaturahmi Remaja Masjid Yogyakarta (FSRMY).

Meski demikian aksi FUI bukan tanpa kendala dibandingkan pada awal pembentukannya. Pertama, melemahnya dukungan NU dan Muhammadiyah. Para tokoh kedua ormas ini yang bergabung di FUI tidak lagi membawa gerbongnya masing-masing. Begitu pula omas-ormas Islam yang ada di Yogya tidak memiliki jalur instruksi dengan FUI. Kedua, penurunan militansi generasi muda Islam yang selama ini menjadi ujung tombak gerakan FUI. Ketiga, tuduhan sebagai gerakan radikal yang cenderung memaksakan kehendak dan intoleran cukup menganggu mereka. Citra negatif ini dicoba diredam dengan mengurangi intensitas aksi konfrontasi, lebih mengutamakan pembentukan opini publik dan menggalang kesadaran umat Islam akan berbagai ancaman terhadap Islam melalui kajian, training, dan seminar (h 127-130).

Perbedaan pengertian

Imam Subkhan melihat silang pendapat pluralisme utamanya disebabkan adanya perbedaan penafsiran tentang pluralisme. Fatwa MUI mendefinisikan pluralisme sebagai paham yang mengajarkan bahwa “semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif.” Salah satu konsekuensi dari penyamaan itu, menurut MUI, adalah “berubahnya aspek-aspek baku dari suatu ajaran mengikuti ajaran yang lain” (h 31-32). Menurut Subkhan, pendefinisian MUI ini berangkat dari matra dogmatis, seperti juga FUI (h 132).

Subkhan melihat bahwa sebenarnya FUI menganggap pluralisme sebagai ‘indiferentisme’, yakni menganggap semua agama sama benarnya dan sama baiknya. Padahal seorang pluralis belum tentu penganut indiferentisme, sementara penganut indiferentisme pastilah seorang pluralis (h 132).

Sedangkan, kata Subkhan, sikap FPUB bukanlah mensikretiskan agama. Mereka tetap meyakini keimanan mereka masing-masing. Mereka hanya berupaya mengamalkan ajaran agama masing-masing tentang pentingnya kebersamaan, toleransi, penghargaan dan penghormatan pada perbedaan. Sikap terjang FPUB selama ini sebenarnya untuk menegaskan bahwa pluralisme yang mereka pahami adalah pluralisme sebagai sikap dan penjelasan keadaan sosial (h 133).

Yang menarik, Subkhan menyimpulkan bahwa FUI pun sebenarnya bersikap demikian meski mereka tidak mau menyebutnya sebagai pluralisme (h 133).

Subkhan menilai, ada tiga hal yang menjelaskan mengapa kedua kelompok ini dikonotasikan berseberangan atau berbeda dalam memandang pluralisme. Pertama, disadari atau tidak FPUB telah membangun simbol indiferentisme relijius. Kedua, FPUB dan FUI masih terjebak dalam proyek pluralisme yang berpusar pada matra dogmatis, belum serius ditarik ke dalam pusaran sosiologis. Padahal masyarakat di tingkat bawah sudah mempraktikkannya dalam tradisi keseharian yang tidak dilabeli pluralisme. Ketiga, pluralisme masih dipahami sekadar instrumen politik, bukan sebuah kesadaran sosial untuk hidup damai dengan yang lain. Mayoritas dan minoritas selalu dihadirkan sebagai ancaman (h 133-134).

Ada dua agenda besar yang perlu dilakukan, yakni membuka selubung prasangka dan membangun dialog semesta. Dua kelompok ini memiliki prasangka besar terhadap yang lain yang terkadang tidak sepenuhnya benar. Prasangka itu hanya dapat diruntuhkan dengan membuka ruang interaksi sosial yang memungkinkan kedua belah pihak membuka komunikasi intim (h 136).

Kembali ke praktik keseharian

Dalam pluralisme agama, menurut Subkhan, tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Karena itu, pluralisme tidak semata menunjuk pada kemajemukan. Seorang disebut pluralis jika ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut (h 29).

Untuk menyongsong pluralisme Yogya, Subkhan menawarkan jalan keluar yang terkesan sederhana, yang disebutnya sebagai ‘jalan kultural’, yakni kembali ke praktik keseharian. Menginjeksi kebersamaan dalam kehidupan dan praksis keseharian. Memusatkan pada relasi dan narasi kecil di sekitar kita. Yakni wacana dan relasi kemanusiaan yang kita alami sehari-hari yang sebenarnya punya peran besar dalam membangun kelenturan sosial. Ini narasi kecil yang harus diperhatikan. Sementara FPUB dan FUI adalah narasi besar yang datang kemudian, dan juga mulai melirik narasi keseharian yang selama ini terlupakan (h 137).

Dan budaya Jawa mungkin juga menjadi modal budaya keseharian Yogya dalam menyikapi kebe-ragam-an keber-agama-an ini.

a. barata




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta