Tembi

Yogyakarta-yogyamu»WISATA GUNUNG API PURBA NGLANGGERAN, PATUK, GUNUNG KIDUL, MENGGUNCANG ADRENALIN, MENGAGUMI KEAGUNGAN TUHAN

29 Apr 2009 08:19:00

Yogyamu

WISATA GUNUNG API PURBA NGLANGGERAN,
PATUK, GUNUNG KIDUL:
MENGGUNCANG ADRENALIN, MENGAGUMI KEAGUNGAN TUHAN
(1)

Nglanggeran adalah kawasan di wilayah Kecamatan Patuk Gunung Kidul yang akhir-akhir ini cukup terkenal. Terkenal karena wilayah yang kontur tanahnya berbukit atau bergunung-gunung ini menjadi salah satu objek wisata di wilayah Gunung Kidul, khususnya wisata alam. Dari puncak-puncak perbukitan di Nglanggeran ini pula pengunjung dapat menyaksikan panorama yang indah tentang lembah, jurang atau ngarai yang ada di lokasi itu serta dataran dan lembah-lembah Piyungan, Prambanan, dan Yogyakarta. Dari puncak bukit-bukit batu Nglanggeran ini pula kita dapat menyaksikan indahnya cekungan kecil di sisi timur laut kompleks pemancar stasiun relay televise swasta di bukit Patuk. Cekungan itu menjadi lahan pertanian yang dibuat berterasering. Paduan terasering dan kehijauan tanamannya menjadikan wilayah itu demikian indah jika dipandang dariu puncak-puncak bukti Nglanggeran. Perpaduan pemandangan alam yang indah, suasana pegunungan yang tenang, keramahan penduduk yang tulus serta udara yang bersih menjadi daya tarik tersendiri pula.

Formasi ketanahan Nglanggeran di Gunung Kidul ini pada intinya berbeda dengan formasi ketanahan Gunung Kidul pada umumnya. Jika hampir seluruh pertanahan Gunung Kidul terdiri atas formasi kapur, maka tanah Nglanggeran merupakan sisa formasi vulkanik purba. Tidak aneh jika ditemukan banyak bukit atau tanah di wilayah ini yang mengandung batu andesit atau batu kali yang merupakan material bekuan dari semburan magma gunung berapi. Formasi Nglanggeran yang berkontur sangat unik dan khas ini menurut para ahli merupakan formasi sisa aktivitas gunung berapi purba pada 60 juta tahun yang lampau. Jadi lebih dulu ada dibandingkan gunung berapi di DIY-Jateng (Gunung Merapi) sekarang. Dengan demikian kandungan batuan atau lapisan tanahnya secara umum justru berbeda dengan formasi tanah pada umumnya di kawasan Gunung Kidul.

Selain dapat dijangkau melalui jalan yang relatif bagus di jalur wisata, perbukitan Nglanggeran juga dapat dicapai melalui Dusun Terbah, Kalurahan Terbah, Kecamatan Patuk. Untuk menuju dusun ini diperlukan kendaraan dan stamina tubuh yang prima. Kendaraan pun harus berhenti dan parkir di depan Balai Desa Terbah. Dari depan balai desa ini pengunjung dapat meminta tolong jurukunci atau orang yang biasa mengantarkan ke perbukitan Nglanggeran yang keberadaan rumahnya tidak jauh dari Balai Desa Terbah. Orang tersebut bernama Ibu Wartinah (75).

Dari samping rumah Ibu Wartinah inilah pengunjung akan diantar mendaki bukit-bukit Nglanggeran. Untuk itu sungguh-sungguh diperlukan fisik yang prima karena medannya memang teramat sangat sulit dan berat. Selain itu tentu saja dibutuhkan semangat atau nyali yang kuat pula. Medan yang naik turun bukit, menerobos onak duri hutan, menuruni ( bahkan dengan cara merosot) lereng terjal dengan jurang-jurang dalam, mendaki bukit batu gundul dengan kemiringan 45-80 derajat, bergelantungan pada akar pohon dan kayu menjadikan pendakian di rute Terbah-Nglanggeran ini seperti mengaduk-aduk adrenalin dan menguras tenaga. Alhasil pendakian bukit atau Gunung Nglanggeran melalui jalur Dusun Terbah ini menjadi ujian fisik dan mental yang tidak main-main. Tembi yang mendaki seorang diri (ditemani Bu Wartinah) terus ngos-ngosan. Otot paha, betis, persendian dipaksa bekerja ekstra keras. Paru-paru serasa mau pecah seperti kehabisan oksigen, keringat bercucuran membasahi seluruh tubuh. Kaus dan celana basah kuyup seperti kehujanan. Tidak ada kata lain untuk mengomentarinya kecuali: luar biasa berat ! Tas mungil yang dicangklong Tembi dan hanya berisi kamera digital, pena, dan blocknote menjadi terasa berat di pundak sehingga pundak pun terasa ngilu. Pendakian yang sesungguhnya tidak terlalu jauh ini akhirnya menyita waktu yang cukup lama. Pendakian dari Dusun Terbah hingga puncak-puncak Nglanggeran ini ditempuh Tembi dalam rentang waktu 2 jam. Total Tembi membutuhkan kurang lebih 3,5 jam untuk waktu PP.

Anehnya, dalam kondisi yang demikian itu Ibu Wartinah merasa biasa saja. Sekalipun ia juga berkeringat, ia tidak merasakan kepayahan yang parah seperti yang dirasakan Tembi. Hebat. Di usianya yang 70 tahun lebih ia bisa naik turun gunung dengan lincah tanpa merasakan kepayahan seperti yang dirasakan Tembi.

bersambung ....

foto dan teks : a sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta