Tembi

Yogyakarta-yogyamu»SADAR atau TIDAK SADAR PADA FUNGSI DRAINASE

14 Oct 2009 11:35:00

Yogyamu

SADAR/TIDAK SADAR PADA FUNGSI DRAINASE

Kota Yogyakarta memiliki keletakan tanah atau bumi yang cukup menguntungkan. Wilayah ini berada di bawah kaki Gunung Merapi. Pada sisi utara terletak Kabupaten Sleman. Sisi utara ini merupakan sisi yang lebih tinggi daripada keletakan tanah di selatannya. Apabila disimak sampai ke ujung selatan (Kabupaten Bantul), maka Kabupaten Bantul merupakan wilayah dengan keletakan paling rendah karena posisinya memang di bagian paling hilir (selatan). Jadi, Sleman-Kota Jogja-Bantul bisa dilihat sebagai rangkaian wilayah hulu-hilir.

Selain itu, sebagian besar tanah di ketiga wilayah itu terdiri atas jenis tanah berpasir akibat semburan material vulkanik yang berlangsung selama berabad-abad. Jenis tanah ini akan sangat cepat menyerap air. Keletakan wilayah-wilayah tersebut yang berada di bawah kaki Gunung Merapi juga menyebabkan wilayah ini memiliki banyak mata air (sumber) air terutama di wilayah-wilayah Sleman hingga Kota Jogja.

Berkaitan dengan hal itu sistem drainase, sanitasi, dan irigasi di wilayah-wilayah ini sudah semestinya bisa dikoordinasikan antarwilayah karena masing-masing wilayah itu berkaitan dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Wilayah hulu harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap wilayah hilir karena wilayah hilir selalu menerima akibat dari apa yang terjadi di wilayah hulu. Demikian pula wilayah hilir sering bergantung pada potensi yang terdapat di wilayah hulu.

Semestinya air yang berasal dari atas (hulu) bisa dikelola dengan baik sejak dari hulu hingga hilir. Demikian pula halnya dengan apa yang terjadi dalam sistem drainase, sanitasi, dan irigasi. Idealnya ketiga sistem yang berhubungan dengan urusan air bisa dipilahkan, drainase tidak disamakan dengan sistem sanitasi atau irigasi. Kalau toh tidak mungkin dipilahkan mestinya ketiga sistem itu mampu memberikan jaminan pada kelayakan atau pemenuhan kebutuhan akan kesehatan dan kelestarian lingkungan.

Dalam beberapa kasus (dan ini hampir selalu terjadi), ketiga sistem tersebut menyatu dalam satu fungsi tanpa pernah mengalami jaminan akan pemenuhan syarat-syarat kesehatan, kebersihan, dan kelestarian lingkungan. Salah satu hal yang dapat diamati adalah terdapatnya sistem drainase baik di kota maupun kabupaten yang multifungsi. Kecuali menampung luapan air hujan, sistem drainase itu juga dijadikan tempat sampah atau tempat buangan limbah yang memanjang sekaligus juga berfungsi sebagai irigasi. Akibatnya sistem yang dibuat untuk mengamankan permukaan tanah dari genangan air ini penuh dengan aneka macam limbah baik padat maupun cair yang menyebar hingga ke seluruh sudut atau pelosok yang dilaluinya.

Sampah atau limbah padat sering memampetkan saluran atau sistem drainase ini. Akibatnya, alih-alih mengamankan permukaan tanah dari genangan air, air justru membludak karena alirannya tersumbat. Kotoran padat maupun cair akhirnya juga menjadi menyebar kemana-mana dengan dampak kerugian yang juga menyebar. Umumnya daerah hilirlah yang menerima akibat paling parah.

Perlu dipikirkan dan dilakukan upaya agar pelimpahan air hujan tidak menjadi terbuang percuma. Kepadatan penduduk yang berujung pada kepadatan hunian, jalan, dan sebagainya menyebabkan tanah terbuka yang dulunya bisa difungsikan untuk menyerap air hujan kemudian tidak bisa lagi berfungsi demikian karena keberadaannya telah tertutup semen atau aspal karena kebutuhan akan bangunan atau jalan demikian mendesak. Untuk itu model sumur resapan mungkin merupakan solusi yang baik untuk penyelamatan atau penyediaan air bersih di kemudian hari. Dengan demikian pula limpahan air hujan tidak terbuang percuma dengan masuk ke saluran irigasi atau drainase dan langsung terbuang ke laut.

Sayang pula perilaku hidup kita masih belum bisa tertib diri. Kita banyak melihat bahwa saluran drainase atau juga irigasi penuh dengan sampah. Di berbagai ruas saluran-saluran yang demikian itu mampet dan akibatnya bisa dilihat atau dirasakan sendiri. Kita hanya mau enak sesaat dengan membuang limbah sembarangan tanpa memikirkan akibat berikutnya yang disangga oleh saudara-saudara kita yang ada di bagian hilir. Bantul maupun kota sering menerima akibat yang demikian itu. Hal itu bukan semata-mata karena perilaku pembuangan limbah dari atas/hulu atau Sleman, tetapi juga atas perilaku warga Kota Jogja maupun Bantul sendiri.

Salah satu ruas drainase yang cukup sering mengalami gangguan ini misalnya di daerah Menukan-Jl, Parangtritis. Barangkali karena ruas ini berhubungan langsung dengan ruas drainase hulu (kota). Kejadian mampet di ruas ini sudah sering terjadi sehingga jika hujan tiba, wilayah ini tergenang banjir. Jika kita cermati ruas ini sangat sering kedapatan sampah padat. Ketika dibersihkan sampah padat itu datang lagi. Demikian terjadi terus- menerus. Masuknya sampah padat ke saluran ini tidak bisa lain karena ulah manusianya. Apalah artinya drainase dibuat jika warga yang semestinya menjaganya justru mempergunakannya secara keliru atau bahkan tidak peduli.

Selain kasus yang demikian, drainase juga sering berpadu dengan sistem irigasi. Hal ini bisa juga menjadi baik sejauh warga mampu menjaganya untuk berfungsi baik dan benar. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Dalam beberapa kasus yang ditemui Tembi, saluran drainase dan saluran irigasi ini sering menjadi satu dan sering (hampir selalu) digunakan untuk membuang sampah. Akibatnya sawah atau ladang banyak dimasuki sampah padat, utamanya jenis plastik.

Hal demikian akan dengan mudah kita temukan di wilayah Bantul, khususnya sawah atau tegalan yang berdekatan dengan saluran-saluran irigasi. Bisa dibayangkan sendiri sawah yang kemasukan sampah plastik ini tentu tidak akan produktif, bahkan tanahnya akan menjadi rusak. Pada tingkat selanjutnya petani terpaksa menjadi tukang bersih-bersih sampah plastik di areal sawah dan saluran irigasinya. Sampah plastik yang terkumpul kemudian dibakar. Akibatnya polusi lanjutan pun timbul yakni polusi udara dan bau.

Residu dari hasil pembakaran plastik pun tidak akan bermanfaat apa-apa. Sekarang tinggal kesadaran dari masing-masing diri kita sendirilah yang diperlukan untuk menjaga saluran drainase atau irigasi dan sanitasi bisa berfungsi dengan benar. Jika kita tidak memulai dari diri sendiri bencana lanjutan pun tinggal menanti. Kualitas dan ketersediaan air bersih akan jauh menyusut, kita akan menikmati pencemaran yang kian pekat dan banyak, kita akan menghadapi sekian banyak kerepotan, kesulitan, ketidaknyamanan lingkungan, dan penyakit. Amatilah lingkungan Anda dan diri Anda sendiri, sudahkah Anda membantu penyelamatan lingkungan demi kehidupan anak cucu Anda yang lebih baik di masa yang akan datang ?

a sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta