- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Temen»Cita Cita Luhur Si Nur
02 Oct 2011 10:55:00Panggil dia si Nur. Sesederhana itu. Sesederhana keseharian lelaki berusia 50 tahun ini. Di kantornya, di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan, dia bisa duduk di kursi antik lantai bawah yang biasanya digunakan untuk pameran macam-macam, bersama beberapa orang anak buahnya. Bercanda, ketawa riang tanpa batas. Tapi justru saat begitulah si Nur banyak menyemburatkan ide-idenya secara eksplisit. Dibahas di situ, dan selalu akan diakhiri si Nur dengan kalimat begini, ‘’Saya sudah kasih idenya, tinggal kalian mengantisipasi dan membuatnya menjadi konkret.’’
Itulah si Nur. Panjangnya, Norbertus Nuranto. Tidak mau pusing memikirkan apapun, tapi selalu menentukan taktik dalammenghadapi apapun. ‘’Tidak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan memelihara rasa ’pusing’,’’ tuturnya satu ketika. ‘’Dan, tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan kalau kita taktis,’’ tambahnya.
Sesederhana itu? Ya. Semua dia jalanani dengan konsisten. Mengikuti kata hatinya, dan mencoba mewujudkan mimpi-mimpinya terutama di bidang kebudayaan negeri tercinta.
Ketika beberapa tahun lalu dia mendirikan Tembi Rumah Budaya, di Yogyakarta, banyak orang bertanya-tanya. Si Nur ini arahnya mau ke mana? Di Tembi Rumah Budaya itu, dia buat satu ruang untuk menyimpan koleksi benda-benda bersejarah, dan banyak benda antik lainnya. Dia menyebut ruang itu sebagai musium kecil.
Dan, keseharian Tembi Rumah Budaya yang berdiri di Jalan Parangtritis km 8.4, Sewon, Bantul, Yogyakarta itu menjadi tempat peristirahatan unik dengan nuansa masa lalu Indonesia, termasuk keunikan restorannya yangmenyajikan menu warisan Serat Chentini dari abad ke-18.
Tembi Rumah Budaya ini pulalah yang meraih beberapa penghargaan, dan yang paling actual adalah meraih posisi finalis Cipta Award 2011 dalam kategori Daya Tarik Wisata Budaya bersama dua finalis lain Candi Borobudur dan Desa Budaya Kertalangu Bali yang diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Bagi si Nur, penghargaan bukanlah tujuan. Tapi ketika dia meraih itu, disikapinya dengan apresiasi yang setimpal. Menurutnya, penghargaan itu adalah tuntutan, bagaimana kita membuat ‘’lebih’’, dari apa yang pernah kita buat.
Sebuah falsafah yang sederhana pernah dilontarkannya. ‘’Bagi saya melakukan sesuatu bukan untuk ‘’menghasilkan apa’’, tapi ‘’akan ‘’menjadi apa’’. Menurutnya, ‘’menjadi apa’’ otomatis ‘’menghasilkan apa’’, tapi ‘’menghasilkan apa’’ belum tentu ‘’menjadi apa.’’
Galerinya di Yogyakarta maupun yang di Jakarta menjadi tempat yang punya ciri khas. Di mana para seniman, baik lukis maupun seni yang lain, secara bebas bisa berekspresi.
Pria lulusan Universitas Indonesia dan Cornell University, Ithaca, New York, AS untuk bidang sejarah Kotemporer Asia Tenggara itu, juga mencoba menerobos di jalur musik. Ketika musik di negeri ini dirajai industri, si Nur justru bergerak di jalur minoritas. Mengolah apa yang orang lain tidak berani olah.
Perkenalannya dengan salah satu pentolan kelompok musik gesek Sa’Unine, Oni Krinerwinto telah menggiringnya melakukan ‘’sesuatu’’. Mengangkat pemusik-pemusik Indonesia dalam satu wadah, menyajikan karya gemilang mereka dengan menggali karya-karya lama seniman musik Indonesia. Dan, hasilnya, tahun 2010 meluncurlah album bertajuk Masa Lalu Selalu Aktual. Disusul tahun 2011, Sa’Unine meluncurkan album bertajuk Buaian Sepanjang Masa.
Dua album ini benar-benar memesona. Seperti kata si Nur, ‘’Banyak karya lama seniman musik Nusantara yang begitu akrab ditelinga, tak pernah digarapdengan ide luar biasa. Saya menawarkan itu kepada Oni dan kawan-kawan. Hasilnya, kita bisa mendengar lagu-lagi Nusantara itu menjadi luar biasa.’’
Maka pertengahan bulan September 2011, si Nur membuat kejutan dengan memboyong Sa’Unine yang beranggotakan 45 pemusik keliling ke 6 kota: Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya dan Malang. Kelompok ini disebut si Nur sebagai Orkes Geseknya Indonesia. Sementara tur keliling mereka, ditemakan dengan Ngamen Tamasya. Dengan dua buah bis yang didesain sedemikian rupa, jadilah Ngamen Tamasya itu sebenarnya mengalahkan konsep-konsep tur keliling band-band industri.
Apresiasi, ini yang dibutuhkan. Makanya Sa’unine main di taman, dikampus atau di tempat-tempat khusus. Mereka mengharapkan penonton, pendengar yang memang apresiatif. Bukan hanya sekadar menguber hiburan dan hura-hura.
Benar, yang mereka dapatkan adalah decak kagum. Bahasa musik yang universal benar-benar kesampaian, ketika penonton yang heterogen itu bisa masuk dalam satu rasa saat menikmati musik berlirik bahasa apapun yang mereka mainkan.
Sekali lagi, si Nur menegaskan, ‘’Saya hanya mengantarkan ke pintu gerbang. Saya berharap siapapun, apapun yang saya antarkan kelak ‘’akan menjadi apa’’.
Begitulah si Nur yang berulangtahun pada 2 Oktober. Tetap tidak mau pusing, tapi mengaku selalu taktis menghadapi apapun. ‘’Saya tetap anak jalanan,’’ kata lelaki yang mengaku dalam perjalanan hidupnya, hanya sekolahnyalah yang paling benar. Selebihnya, dia tumbuh sebagai remaja sebagaimana umumnya.
‘’Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya anak seorang wartawan yang sejarawan. Yang menguntungkan buat saya, sejak SMP saya sudah banyak membaca buku koleksi ayah saya. Buku sejarah, filsafat dan apa saja,’’ kata si Nur.
Perjalanan panjang sudah dilaluinya. Banyak pekerjaan yang dilakoninya, tapi pelabuhan terakhir bermain dan serius di dunia kebudayaan ini nampaknya menjadi semacam tarian keseharian yang tidak bisa tidak dimainkannya. Sambil, melapas tawanya yang selalu sumringah.
Temen nan yuk ..!
hmb
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Ngamen Tamasya 2011(25/08)