Tembi

Yogyakarta-yogyamu»NASIB BIOSKOP TUA (PERMATA) DI YOGYAKARTA

04 Feb 2009 09:39:00

Yogyamu

NASIB BIOSKOP TUA (PERMATA) DI YOGYAKARTA

Bioskop di Yogyakarta hampir semuanya gulung tikar. Bioskop yang bertahan hidup seperti orang yang berjalan tanpa teman. Sendirian menapaki sepi. Sendirian menyongsong kesuraman. Masa-masa kejayaan, masa-masa kegemilangan itu telah berakhir. Orang bilang sic transit gloria mundi. Begitu cepatnya kegemilangan dunia itu akan berakhir.

Masa-masa kejayaan bioskop di Yogyakarta kira-kira berlangsung antara tahun 1970-1990-an. Pada masa-masa itu bioskop menjadi gaya hidup dan bahkan menjadi semacam kebutuhan bagi kawula muda. Banyak orang merasa belum modern jika belum pernah melihat film di gedung bioskop. Tidak mengherankan jika gedung-gedung bioskop bermunculan di Yogyakarta pada decade-dekade tersebut. Kita bisa mengingat ada gedung bioskop Soboharsono yang kini berubah menjadi Jogja Gallery, ada Ratih 1 dan 2, ada Royal, Rahayu, Widya, Arjuna, Yogya Theatre, Senopati, Mataram, Empire 1,2,3, 4, Golden, Galaxy, THR Theatre, Indra, Permata, BPK (sekarang: sebelah barat Mirota Kampus), Galaxy/Mitra, dan President.

Dari sekian gedung bioskop di Yogya itu kini hanya tinggal Indra dan Permata sajalah yang bertahan hidup (meskipun sekarang ada Atrium 21 Theatre di Ambarukmo Plasa). Indra dan Permata yang pernah ikut menikmati masa-masa kejayaan bioskop itu kini nyaris tanpa penonton. Ada sekitar 20-30-an orang yang nonton di bioskop-bioskop ini dalam setiap harinya. Tarif tiket untuk nonton di bioskop ini sebesar Rp 6.000,- per orang. Jika hal itu dikalikan jumlah penonton rata-rata dalam setiap harinya, maka akan diperoleh pendapatan Rp 6.000,- x 25 = Rp 150.000,-. Jika bioskop itu memutar filmnya sebanyak 3 kali dalam sehari, maka pendapatan rata-ratanya kurang lebih Rp 450.000,- per hari. Jika dihitung lebih pahitnya, maka pendapatan rata-rata perharinya adalah 20 x 6.000 x 3 = Rp 360.000,-. Itu pun pendapatan kotor (brutto). Belum dikurangi biaya operasional, pajak tontonan, dan lain-lain.

Menurut Subagyo A. , Direktur Gedung Bioskop Permata, gedung bioskop Permata tetap terus bertahan hidup karena ia merasa kasihan dengan pegawai atau karyawan yang telah puluhan tahun bekerja di tempat ini. Jika bioskop ini tutup, maka karyawan-karyawannya akan menjadi pengangguran yang tidak lagi memiliki penghasilan untuk hidup dan menghidupi keluarganya. Jadi, meskipun terseok-seok Subagyo A. selaku direktur Bioskop Permata tetap berusaha menghidup-hidupkan bioskop yang dipimpinnya. Bioskop Indra yang masih dalam satu grup dengan Permata juga terus dihidup-hidupkan. Semua demi kelangsungan hidup para karyawannya.

Bioskop Permata (dan Indra) itu lima-hingga sepuluh tahun terakhir memang secara khusus memutar film-film “panas”. Hal ini ditempuh karena film-film jenis ini merupakan jenis film yang masih diminati oleh kalangan tertentu yang agaknya memang cukup setia menjadi pelanggan di Permata maupun Indra.

Jika Anda berkesempatan menonton film bioskop di gedung bioskop seperti Indra dan Permata mungkin Anda akan diingatkan pada nostalgia atau katakanlah romantisme bisokop di masa lalu. Ketika Tembi mencoba menonton, memang masih terasa kenangan kejayaan bioskop masa lalu itu. Akan tetapi, suasanya sudah jauh berbeda. Gedung bisokop dengan kapasitas sekitar 350 kursi itu terasa demikian lengang. Tidak ada lagi tepuk tangan. Tidak ada lagi gumam dari banyak orang. Tidak ada lagi sorot lampu senter petugas yang mengantarkan penonton yang datang terlambat, tidak ada lagi tertawa, tidak ada lagi umpatan jika film tiba-tiba mati atau terputus.

Bahkan AC dan sound system yang baik juga tidak ada lagi di dalam bioskop ini. Kipas angina sebagai pengganti AC juga tidak mampu mengusir hawa gerah di dalam gedung bioskop (theater). Pendeknya, keceriaan dan kenyamanan di dalam gedung bioskop itu tidak bisa kita temukan lagi. Benar-benar sunyi seperti kesunyian orang tua yang tidak punya lagi sanak saudara. Duduk termangu menunggu sang maut menjemput. Tiada daya kecuali menjalaninya sampai ujung batas akhir daya hidup.

Bioskop Permata dulu memang pernah menjadi permata hari kawula muda Yogyakarta. Bioskop yang berlokasi di pertigaan Purokinanti, Paku Alaman ini juga telah turut mengantarkan ketenaran warung gudeg yang berjualan di sekitar lokasi gedung bioskop pada waktu malam. Sehingga terkenallah nama Gudeg Permata. Namun sebelum bernama Permata bioskop ini pernah menggunakan nama Luxor.

Orang-orang yang masih setia menjadi penonton di Bioskop Permata umumnya adalah orang-orang yang ingin terus mengenang sejarah dirinya sendiri, sejarah Bioskop Permata, mungkin juga sejarah suasana Yogya tempo dulu. Semuanya tali-temali dalam ikatan sejarah. Pendeknya adalah kenangan atau memori suasana perbioskopan itu ingin diulang, dihadirkan, dan dinikmati kembali. Keberlangsungan hidup bioskop Permata (dan juga Indra) mungkin hanya tinggal menghitung hari.

sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta