Tembi

Yogyakarta-yogyamu»DARI BILIK WARTEL, MENYAPA DUNIA DARI YOGYAKARTA

01 Jan 2008 10:19:00

Yogyamu

DARI BILIK WARTEL:
MENYAPA DUNIA DARI YOGYAKARTA

Yogyakarta yang disebut orang sebagai kota budaya, memang tidak membiarkan warganya, baik pendatang maupun warga menetap, kesepian tinggal -meski sejenak-di Yogyakarta. Dari Yogyakarta pula orang bisa saling berkabar kepada orang lain di tempat yang berbeda.

Dalam perkembangan komunikasi, Yogyakarta memang tidak ketinggalan menyangkut perihal alat komunikasi yang berupa telpon. Karena proses pemasangan telpon amat rumit dan tidak mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, dan ini merupakan problem PT Telkom yang hingga kini tidak kunjung bisa teratasi, ada cara lain yang di tempuh, dan bisa juga di temui di kota-kota lain, yakni tersedianya wartel -warung telekomunikasi-baik di tengah kota maupun di sudut kampung dan di desa-desa. Pendeknya, wartel mudah di jumpai di kota Yogyakarta, di manapun tempat itu.

Fenomena wartel muncul di Yogyakarta awal tahun 1990-an. Pada awal kemunculannya, wartel memang hanya terdapat di tengah kota dan pengusaha wartel memiliki beberapa bilik, yang disebut KBU -kamar bicara umum--. Namun pada perkembangan berikutnya wartel menjadi usaha bisnis rumah tangga, sehingga ada wartel yang hanya menyediakan satu KBU dan itu pun di taruh di ruang garasi mobil misalnya, atau di teras rumah.

Sarana komuniaksi telpon rumah , di tengah semaraknya telpon seluler, memang tidak dimiliki oleh setiap rumah tangga, bukan yang utama karena warga tidak mampu memasang telpon rumah, meski hal seperti itu bisa juga terjadi, hal yang paling parah adalah dari pihak penyelenggara telekomunikasi dalam hal ini PT Telkom, tidak mampu melayani seluruh lapisan masyarakat, oleh sebab itu tidak sedikit rumah tangga yang membutuhkan fasilitas telpon, tetapi tidak memiliki, karena jaringannya belum masuk dan seterusnya. Biasanya, keluarga yang tidak mendapat fasilitas pemasangan telpon rumah, dia telah memiliki HP. Yang paling parah, seperti beberapa hari lalu seorang kepala rumah tangga didatangi pekerja lepas telkom, kepala keluarga itu ditawari membayar uang sebesar Rp. 2,5 juta dan segera akan di pasang. Padahal harga pasangnya hanya Rp. 500.000,-. Alasan yang diberikan khas: nomor sudah habis, yang ada tinggal untuk di jual. Pekerja lepas telkom tersebut, agaknya, merupakan representasi dari mentalitas karyawan telkom.

Tetapi baiklah, kalau tak ada telpon rumah dan tak ada pula HP masih tersedia wartel di banyak tempat. Di wartel ini, seperti juga sering bisa di lihat, terutama malam hari selepas pukul 21.00, ada warga asing menggunakan fasilitas wartel. Begitulah, dari bilik wartel, tidak harus orang asing, siapapun bisa menyapa dunia dari Yogyakarta, dan hanya dari ruang kecil yang disebut KBU dalam usaha jasa wartel.

Begitulah, sebagai kota kecil Yogyakarta tidak meninggalkan dunia. "Yogyakarta Never Ending Asia" kata Slogan. Itulah mimpi.

Teks: Ons Untoro
Foto-foto: Didit Priyo Daladi.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta