Tembi

Yogyakarta-yogyamu»AJAKAN DARI BANTARAN SUNGAI DI JOGJA

26 May 2010 10:24:00

Yogyamu

AJAKAN DARI BANTARAN SUNGAI DI JOGJA

Pada awalnya sungai merupakan cekungan memanjang yang di dalamnya mengalir air yang bersih. Kebersihan air sungai ini mungkin akan menjadi kotor hanya ketika terjadi banjir karena ia menerima limpangan air yang bercampur baur dengan kotoran dari permukaan tanah. Kemudian ketika pemukiman atau jumlah manusia menjadi memadat, ruang untuk tempat tinggal menjadi merapat, maka sungai menjadi sasaran utama sebagai “wadah” berbagai limbah. Orang tidak akan mau pusing-pusing membuang kotoran yang dibuatnya sendiri.

Pabrik, bengkel, rumah makan, pedagang kaki lima, pasar, rumah tangga, individu dengan segala aktivitasnya yang menghasilkan sampah atau limbah memandang sungai sebagai wadah terakhir dan paripurna dari limbah yang dihasilkannya. Lihat saja, ada begitu banyak saluran pengatusan (sanitasi) di kota maupun kabupaten-kabupaten semuanya bermuara di sungai. Konyolnya saluran-saluran ini yang semula untuk mengalirkan air untuk sanitasi, penggelontoran, dan lebih dikhususkan untuk benda cair juga dipakai untuk membuang limbah padat.

Sungai, khususnya di bagian hilir merupakan bagian yang menerima beban terberat dari kasus pencemaran. Jangan pernah berharap bahwa sungai di bagian hilir bebas dari unsur pencemar. Baik pencemar cair maupun padat. Orang-orang di hulu (dan semestinya di sepanjang aliran sungai) yang semestinya bisa menjaga perilaku untuk tidak mencemari sungai sudah sangat tidak bisa diandalkan dan dipercaya. Dengan demikian, air sungai sejak dari hulu hingga hilir demikian kotornya.

Satu contoh kasus adalah Sungai Code. Dulu di tahun 1970-1980-an air dari sungai ini masih demikian jernih dan bersih. Ikan masih banyak berkeliaran di dalamnya. Beberapa yang Tembi kenal misalnya wader cakul, wader pari, wader kepek, tempel watu, kotes, jabresan, lele (lokal), kepala timah, uceng pilek, uceng biasa, udang batu, udang kambang (galah), udang jaran, cethul, jembluk, sidat, kutuk (gabus), yuyu (kepiting), dan pelus. Demikian beberapa jenis ikan lokal yang hidup dengan relatif leluasa di Sungai Code pada masa itu. Kini, Anda jangan pernah berharap bisa melihat jenis-jenis ikan yang kami sebutkan itu. Jenis-jenis ikan itu hampir semuanya telah musnah dari Sungai Code. Pertama karena perburuan yang sungguh sangat liar dan rakus. Kedua karena pencemaran air.

Pemkot Yogyakarta yang memasang beberapa papan slogan atau peringatan akan pentingnya menjaga kebersihan sungai tampaknya tidak terlalu efektif hasilnya. Masalahnya, papan-papan tersebut hanya dipasang di tempat-tempat perlintasan kendaraan yang di kiri kanannya relatif padat penduduk. Mestinya papan-papan semacam itu dipasang juga di bagian hulu atau beberapa rusa sungai yang lain. Dengan demikian, kesadaran untuk menjaga kebersihan sungai itu bisa dibangkitkan di sepanjang aliran sungai.

Pemasangan papan-papan tersebut akan lebih baik lagi jika dipasang di bantaran-bantaran sungai yang padat penduduk atau kawasan yang padat kegiatan seperti pabrik yang dekat sungai, restoran, pasar, dekat perumahan, dan seterusnya. Tentu saja semuanya membutuhkan biaya. Secara tidak langsung pemasangan papan-papan peringatan tersebut juga dapat menajdi petunjuk bahwa kita sesungguhnya tidak atau belum memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga kebersihan sungai. Kita adalah makhluk yang hanya memikir untuk kesesaatan. Tidak pernah berpikir panjang untuk menjaga lingkungan bagi kenyamanan hidup anak cucu di kelak kemudian hari. Dari sisi ini kita bisa mengaca diri bahwa kita ini egois, serakah, tidak peduli, dan tidak mempunyai rasa sayang atau cinta pada lingkungan, yakni anugerah dari Tuhan sendiri yang semestinya kita manfaatkan untuk sebesar-besar kesejahteraan manusia dalam jangka yang sepanjang-panjangnya. Seawet-awetnya. Bukan untuk diri sendiri saat ini belaka.

a. sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta