Lapak Jawa Tahun 1930-an

Tampaknya dagangan yang dijual oleh pedagang dalam gambar tersebut berupa makanan. Mungkin gudeg dengan segala kelengkapannya. Tampak ada pembeli yang mungkin sedang menerima pengembalian sisa uangnya.

Lapak Jawa Tahun 1930-an

Istilah pedagang kaki lima mungkin bukan lagi menjadi istilah yang asing. Akan tetapi pada era tahun 1930-an hal ini tentunya belum populer sekalipun pada masa itu sesungguhnya telah ada pedagang yang menggelar dagangannya secara berpindah-pindah tempat, dan mungkin juga semi permanen. Namun pada saat itu, hal demikian masih dianggap sesbagai sesuatu yang biasa. Sesuatu yang wajar karena penduduk belum begitu padat, pedagang belum begitu banyak, dan dengan demikian ruang masih terbuka luas untuk siapa pun. Kondisi ini berbeda dengan zaman sekarang karena keberadaan ruang menjadi begitu penting seiring dengan tingkat kepadatan penduduk yang nyaris tanpa kendali.

Rumah atau pemukiman berimpitan dan berderet seperti tanpa jeda, Demikian pun kendaraan berderet seperti tidak ditemukan mana pangkal dan ujungnya. Pedagang di kota-kota tidak hanya menjual dagangannya di dalam kios, toko, rukonya, tetapi juga di lapak-lapak dan gerobak yang tidak saja menempati ruang yang memang diperuntukkan, namun juga segala macam ruang yang dapat ”diserobot” sekalipun untuk sementara. Trotoar dan ruas jalan adalah sasaran empuk dari pedagang model ini.

Tampaknya dagangan yang dijual oleh pedagang dalam gambar tersebut berupa makanan. Mungkin gudeg dengan segala kelengkapannya. Tampak ada pembeli yang mungkin sedang menerima pengembalian sisa uangnya. Tampak pula dua orang ibu-ibu di samping pedagang tersebut yang mungkin menjadi calon konsumennya.

Berikut ini disajikan foto tentang pedagang Jawa masa lalu yang menggelar dagangannya di atas lincak atau amben (balai-balai) bambu. Tampak bahwa amben tersebut tanpa diberi kaki. Untuk meninggikan posisinya amben tersebut diberi ganjal dari batu. Dagangan yang dijualnya cukup ditaruh di atas amben tersebut sementara pedagangnya cukup berjongkok di sisi amben. Pembelipun seperti pedagang kaki lima zaman sekarang, cukup merubung di seputar amben dengan berdiri atau berjongkok.

Tampaknya dagangan yang dijual oleh pedagang dalam gambar tersebut berupa makanan. Mungkin gudeg dengan segala kelengkapannya. Tampak ada pembeli yang mungkin sedang menerima pengembalian sisa uangnya. Tampak pula dua orang ibu-ibu di samping pedagang tersebut yang mungkin menjadi calon konsumennya. Selain itu ada pula seorang ibu yang tengah muncul dari kerimbunan pohon bambu. Mungkin ia adalah calon pembeli atau pelangganya juga.

Secara keseluruhan foto tersebut menyuguhkan suasana warung sederhana di desa (Jawa). Foto dibuat pada tahun 1930-an. Lapak dari balai-balai bambu itu menegaskan kesederhanaannya. Lebih-lebih ganjal dari batu yang menggantikan kaki balai-balai secara tidak terhindarkan menampilkan bahwa balai-balai itu dipajang dengan sekenanya saja. Asal berfungsi. Keletakan lapak dari balai-balai di pinggir jalan tanah (mungkin jalan kampung) dan di bawah naungan rumpun bambu semakin menguatkan kesan ”ndesa”-nya. Kebaya dan kain jarit yang dikenakan para wanita di foto tersebut juga mengesankan gaya berpakaian wanita Jawa di era 1930-an. Celana panjang dan rok saat itu belum begitu marak. Demikian juga dengan gaya rambutnya. Hampir semua wanita dewasa saat itu menggelung rambutnya dan tidak membiarkannya tergerai karena rambut yang tergerai dianggap sebagai tidak baik, urakan, dan bahkan liar.

Pembeli pria itu pun menegaskan kesederhanaan gaya pria Jawa masa itu. Kopiah sebagai penutup kepala mungkin memang sudah lazim. Demikian juga sarung dan selana kolor. Pada intinya foto ini menyuguhkan secarik coretan sejarah sosial Jawa masa lalu yang kini nyaris tidak mungkin kita temukan lagi.

a.sartono

Sumber: K.T. Satake, 1935, Sumatra, Java, & Bali, Middlesbrough: Great Britain by Hood & Co. Ltd.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta