Selva Marissa, Lebih Suka Gaul Sama Lelaki

Selva Marissa, Lebih Suka Gaul Sama Lelaki

Piawai memainkan perangkat drum rasanya tidak akan terjadi jika saja Selva menolak ajakan seorang temannya bermain ke sebuah studio Musik.

Selva Marissa, anak kedua dari 3 bersaudara, lahir di Palembang 19 Juni 1985. Di usia 4 bulanan, Muhammad Adjib, ayahnya yang bekerja di sebuah perusahaan minyak memutuskan memboyong keluarganya pindah ke kota Bogor karena mendapat pekerjaan baru sebagai PNS di sebuah instansi Pemerintah di Bogor.

Di Bogor mereka tinggal bersama keluarga besar dari ayahnya. Sehari-hari Selva bersama kakak dan sepupu-sepupunya dirawat oleh neneknya karena Ibu Selva, R.A. Zahara Rahayu (masih keturunan Raja Sriwijaya) bekerja sebagai buruh di pabrik “Great River”. Begitu juga orang tua sepupu mereka semua bekerja.

Selva dididik dengan sangat disiplin oleh neneknya, setiap hari jam 7 waktunya belajar bersama dan jam 9 malam mereka sudah harus tidur. Sebelum tidur mereka harus mengucapkan selamat malam kepada orangtua sebelum tidur. Saat sholat subuh menjadi batas waktu tidur mereka.

Meski keadaan ekonomi tidak berkelebihan, bagi Selva masa kecil tidak terasa berat. Meskipun harus membagi sepotong pizza untuk dimakan bersepuluh dan jalan kaki dari rumah ke sekolah pulang pergi sejauh 10km. Tidak ada yang meras berat saat itu. Selva sekolah di TK Bhayangkari dan sekolah di SDN 1 Cibulu. Di kelas 5 dan 6 SD Selva berprestasi sebagai atlet lari, sampai ke tingkat antar kabupaten se-Jawa Barat.

Lulus SD Selva melanjutkan pendidikan ke SMP 15 Bogor. Di SMP Selva ingat dirinya termasuk anak yang nakal, lebih suka bermain dengan anak cowok, ikut pencinta alam tapi juga aktif di paskibra. Masa SMP sepertinya jadi saat yang tidak kalah asyik dibanding masa sebelumnya, apalagi berteman dengan cowok membuatnya lebih bebas, tanpa basa-basi, “nggak reseh”, dan rasa aman justru lebih kuat karena selalu dilindungi.

Di masa SMP inilah keliaran Selva mulai muncul. Keliaran dalam arti suka mencoba hal baru seperti umumnya ABG yang mencari identitas diri. Di masa inilah Selva mulai mengenal narkoba. Bukan sebagai pemakai hanya sebagai orang yang punya teman pencandu narkoba. Bahkan beberapa kali Selva melihat temannya disaat “sakaw” sampai mati. Selva yang liar tapi tetap kritis, ketika ditawarkan temannya untuk mencoba narkoba, Selva tidak menolak langsung tapi bertanya,”kalo pake itu jadi pinter nggak?”, sebuah pertanyaan polos.

Selva Marissa, Lebih Suka Gaul Sama Lelaki

Bahkan kalau dibohongi sekalipun, Selva masih bisa melihat bahwa teman yang bohong itu terbukti tidak pintar dengan memakai narkoba.

Selva mudah percaya pada orang lain, dan sangat menjunjung hubungan persahabatan meski pernah disakiti atau dikhianati sebelumnya. Di usia semuda itu, Selva sudah bisa berpikir bahwa tidak semua orang jahat terlahir sebagai orang jahat. Itu dibuktikan saat jam tangan sang ibu yang diberikan kepada Selva dicuri sahabatnya sendiri. Meski terbukti jamnya dicuri, Selva memilih untuk tidak meminta balik karena tidak mau hubungan pertemanannya rusak. Selva mengorbankan dirinya kehilangan rasa percaya dari sang ibu.

Kelas 3 SMP Selva diajak Fajar, seorang temannya yang memiliki studio musik. Itulah saat pertama kali Selva belajar nge-drum. Dengan hanya bermodalkan ingatannya mengamati bagaimana Tyo, drummer band “Dewa” di televisi, Selva langsung bisa memainkan drum. Darah seni yang mengalir dari ayahnya sepertinya cukup kuat membuat Selva cepat memahami ketukan drum. Ayah Selva ketika muda adalah pemain orkes gambus.

Selva cenderung suka tentangan, mungkin itu yang membuatnya lebih suka mengamati drummer karena menurutnya drum adalah perangkat yang paling ribet dibandingkan gitar, bas atau keyboard.

Menyadari tidak mudah meminta untuk dibelikan barang pada orangtuanya, Selva menabung untuk bisa beli stik drum demi bisa latihan di rumah. Itupun sembunyi-sembunyi dari orangtuanya. Selva belajar ketukan dengan stik tanpa drum. Lagu-lagu “Sheila On7” dan lagu-lagu grup “Dewa” adalah lagu-lagu yang sering jadi bahan latihan untuk Selva di masa awal ia belajar drum. Selva belajar tanpa bimbingan, cuma bermodal ingatan.

Kecintaannya pada drum membuat Selva harus rajin menabung untuk bisa “nyogok” temannya sewa drum cukup dengan membayar 10 ribu sampe pegel.

Lulus SMP, Selva melanjutkan ke SMAN 2 Bogor. Di masa ini Selva semakin liar, liar dalam arti lebih banyak berkesperimen. Selva pernah memotong rambutnya sampai cepak seperti cowok dengan warna ungu sampai - sampai sang ayah begitu marah dan mengusir dengan ancaman : boleh pulang kalau rambut sudah panjang. Dasar anak kreatif, Selva tidak kehilangan akal, Selva memakai jilbab sampai rambutnya memanjang lagi.

Masa SMA seperti masa gemilang bagi Selva, prestasi akademiknya selalu tidak pernah keluar dari 5 besar. Di masa ini Selva sempat meninggalkan drum karena sibuk dengan olah raga basket, apalagi ia membentuk klub basket dan beberapa kali menjuarai kejuaraan basket “three on three” se-kabupaten Bogor.

Lulus SMA tahun 2004, Selva mendapat beasiswa untuk kuliah di Fakultas Olah Raga di Universitas Negeri Jakarta. Setelah semua tes fisik, psikotes dan berbagai tes lainnya ia lalui dalam waktu 2 minggu, Selva terpaksa harus menelan pil pahit karena kewajiban membayar biaya sebesar tiga juta rupiah sampai selesai S1 tidak bisa dipenuhi. Selva patah hati.

Selva Marissa, Lebih Suka Gaul Sama Lelaki

Meski pedih, Selva tidak kehilangan akal. Selva melamar pekerjaan di pabrik Sanyo. Sebenarnya ia diterima tapi ia ragu dan membatalkan niatnya bekerja di pabrik. Akhirnya Selva mengisi waktu kosong dengan bekerja di sebuah kafe. Selva menunjukkan resep minuman yang suka dibuat ayahnya. Selva bekerja di kafe “Teras” di daerah Bogor. Selva berkenalan dengan seorang pemusik yang bermain rutin sebagai band pengiring. Dari dialah wawasan musiknya bertambah.

Saat bekerja di kafe, seorang cowok yang ia kenal saat masih SMA ketika aktif di basket, Abid namanya. Abid sering menelpon, mereka sering ngobrol dan semakin dekat. Melalui Abid, Selva mendapat informasi jalan keluar untuk kuliah. Tahun 2005 Selva memilih kuliah desain grafis karena ingat ketika SMA suka membuatkan “tato-tato-an” untuk teman-teman cowoknya.

Selva menyelesaikan studi grafisnya tahun 2007 dan langsung mendapatkan pekerjaan di toko buku Kharisma selama setahun. Sejak bekerja Selva kembali main drum karena sudah punya uang untuk latihan. Selva membentuk band bersama teman-temannya yang ia kenal di sebuah studio. Di sini Selva sempat mematikan keinginannya untuk melanjutkan nge-band karena seluruh uang hasil patungannya sejumlah 200 ribu per orang dibawa kabur oleh seorang personil saat akan rekaman. Padahal saat inilah baru pertama kalinya Selva mengenal “metronom” . Selva baru tahu bahwa bermain drum harus mengikuti ketukan metronome. Selama ini ia hanya berdasarkan ingatan.

Semangatnya kembali bangkit ketika seorang rekannya mengenalkan Selva pada Imam seorang guru drum. Imam melihat bakat besar yang dimiliki Selva dan ia memberikan keringanan untuk belajar drum kapan saja Selva mau hanya dengan membayar 250 ribu sebulan, meski berat bagi Selva tapi ia maju terus. Di sini Selva juga baru mengetahui bahwa ia harus memiliki “pad”, semacam alat berbentuk bulat terbuat dari papan dengan bantalan karet diatasnya untuk melatih ketukan jika tidak ada punya drum sendiri.

Semangatnya makin berkobar, Selva sudah tidak lagi sembunyi-sembunyi melatih ketukan di rumahnya meski ibunya masih belum setuju Selva bermusik.

Hubungan Selva dengan Abid tetap dekat dan akhirnya mereka sepakat membentuk band dengan nama “Yes it’s you”. Mereka “memasang” karya mereka di sebuah situs “Myspace”. Karya mereka menarik orang-orang yang melihatnya. Banyak yang tertarik dan menawarkan diri untuk mengisi posisi gitaris dan bassist serta synthesizer. Akhirnya dari cuma berdua anggota personil bertambah jadi 5 orang.

Keberanian diri untuk memilih musik sebagai pilihan hidup sudah mantap ia jalani. Sambil mengisi waktu luang, Selva masih suka menerima permintaan mendesain. Meski saat ini belum memiliki set drum sendiri, tapi Selva masih ingin terus belajar. Selva cuek berkenalan dengan drummer-drummer. Kecuekannya membuahkan hasil. Selva berkenalan dengan Albert yang biasa Selva panggil Abed, seorang drummer yang besar perhatiannya untuk pengembangan kemampuan nge-drum dari sisi pengetahuan tentang sekolah musik. Abed ingin berbagi karena Abed mendapat beasiswa dari sekolah musik milik drummer “Potret”. Dari Abed Selva mendapat masukan, apa yang diinginkan apakah mau jadi entertainer atau ingin sekolah musik yang ingin jadi guru musik. Harus dipilih karena keduanya berat untuk dijalani. Jika ingin jadi guru, banyak tugas, bikin klinik dan lain-lain sehingga berat untuk mengisi waktu manggung atau rekaman. Begitu juga sebaliknya kalau memilih entertainer pasti akan sibuk dengan urusan panggung, rekaman, membuat lagu sehingga tidak mungkin mengerjakan tugas sekolah. Selva beruntung karena Abed menyediakan waktu untuk Selva belajar dan memberi masukan untuk menambah ilmu, bahkan ketika Selva tidak meminta, Albert dengan semangat memberi masukan. Dari dialah Selva makin yakin bahwa bakat alam saja tidak cukup, teori juga diperlukan. Dalam hati kecil, Selva masih ingin sekolah musik.

Selva Marissa, Lebih Suka Gaul Sama Lelaki

Targetnya dalam bermusik patut diacungi jempol. Go International karena menurutnya apresiasi musik di sini masih belum setinggi di luar, khususnya Inggris. Menurutnya, dengan “menguasai Eropa” bisa diibaratkan dunia seperti dalam genggaman. Meski seperti “gambling” tapi bagi Selva, semua impian harus dijalani. “Gimana kita bisa tau kalau nggak dicoba?” Setuju Sel!!

Temen nan yuk ..!




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta