Lasja F Susatyo

Lasja F Susatyo

Membuat film itu butuh keleluasaan untuk mengembangkan naskah. Tanpa keleluasaan itu, ketika film ditonton bisa jadi gambarnya bagus tapi adegan atau dialognya kosong tanpa arti.

Begitulah Lasja Fauzia Susatyo, ketika menggarap sebuah film dari naskah yang ditulis oleh orang lain. Sutradara kelahiran 10 Oktober 1970 ini selalu ingin film yang ia buat punya arti dan berguna bagi orang yang menontonnya. Seperti ketika ia menggarap film “Langit Biru” tahun 2011. Film ini mengangkat tema bullying atau tindakan yang mengganggu orang yang lemah. Bagi Lasja, menyampaikan tema yang cukup berat bagi anak-anak adalah tantangan tersendiri. Apalagi sebagian pemerannya adalah anak-anak yang belum pernah syuting film. Dan apa yang ia tampilkan bukan dengan menunjukkan kalah menang tapi lebih kepada bagaimana mengajak orang untuk berani bicara, tidak diam saja jika tau atau bahkan mengalami tindakan bullying.

Pesan-pesan penting yang ingin disampaikan dalam bentuk film cerita memang selalu menjadi daya tarik bagi Lasja. Baginya menyampaikan sebuah tema penting melalui film adalah cara mendidik yang menghibur. Dengan hiburan, orang lebih mudah “disentuh” karena tidak ada kesan menggurui.

Lasja Fauzia Susatyo alumni Sastra Inggris Universitas Indonesia melanjutkan studinya di Towson University, Maryland, Amerika Serikat, jurusan Media Production, Liberal Arts, Karirnya di dunia film dari membuat video musik, film televisi serta documenter. Debut pertamanya di layar lebar adalah “Lovely Luna” (2004) , dilanjutkan dengan (Bukan) Kesempatan Yang Terlewat (2006), Dunia Mereka (2006), film antologi “Perempuan Punya Cerita” (2007), Bukan Bintang Biasa The Movie (2007), Langit Biru (2011) dan film omnibus Kita Versus Korupsi (2012).

Lasja F Susatyo

Bagi Lasja tantangan membuat film adalah bagaimana menyampaikan pesan dengan cara yang paling halus dan terlihat humanis sehingga bisa menyentuh nurani orang-orang yang menontonnya. “Untuk itulah saya selalu membuat film untuk orang-orang yang masih punya nurani”. Pernyataan tegas ini adalah sikap nyata. Bagi Lasja, percuma menyampaikan pesan moral kepada orang yang tidak punya nurani. Seperti yang ia lakukan ketika menggarap film “ Aku Padamu” dalam film omnibus K versus K. Film pesanan KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) yang diproduksi oleh “Cangkir Kopi” bersama 3 film lainnya.

Gaya pop urban dalam film yang ia garap sesuai dengan misi yang ingin disampaikan kepada generasi muda tentang perilaku yang bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Film “Aku Padamu” bercerita tentang sepasang muda-mudi yang ingin menikah tanpa harus repot lewat prosedur di kantor pencatatan sipil dengan bantuan calo.

Tema korupsi yang sebetulnya kompleks dengan cemerlang dituangkan dalam bentuk cerita yang pas untuk targetnya. Anak muda, yang menurutnya masih punya nurani. Ide cerita dengan tokoh sepasang kekasih yang batal mengambil “jalan pintas” karena si tokoh masih mendengar nuraninya. Logika ini menurutnya bisa inspiratif. Bagi Lasja, kalau tokohnya koruptor pasti ending yang diinginkan penonton si koruptor akan dihukum, jadi kayak film koboy, ada yang menang dan ada yang kalah. Karena pada kenyataannya menangkap koruptor sampai bisa memvonisnya tidaklah mudah. Itu sebabnya bicara target penonton yang akan disentuhnya adalah anak muda karena menurutnya, percuma dengan tokoh koruptor dengan harapan para koruptor akan tersentuh, “Percuma”, tegasnya. Kenapa ?, “ Karena koruptor pasti nggak punya nurani”. He…he…benar juga !!!

Temen nan yuk ..!

ypkris
foto dari berbagai sumber

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta